Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Pekerja gig economy di Indonesia mencakup jutaan orang yang bekerja melalui platform digital – seperti driver ojek/pengantar (ojol), kurir, desainer grafis, atau penulis lepas.
Pada 2019, Indonesia memiliki sekitar 2,3 juta pekerja gig economy, dan pada awal 2023, sekitar 32% angkatan kerja atau sekitar 46 juta orang bekerja secara freelance.
Meski sebagian menjadikan pekerjaan ini sebagai sumber pendapatan utama, mereka umumnya tidak diatur oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan konvensional.
Akibatnya, banyak dari mereka menghadapi kondisi kerja rentan: tanpa jaminan upah minimum, asuransi kesehatan, tunjangan pensiun, atau perlindungan kecelakaan kerja.
Saat ini, status pekerja platform dikategorikan sebagai “mitra,” bukan karyawan, sehingga mereka kekurangan perlindungan sosial.
Banyak pekerja platform menerima upah rendah dan hanya sebagian kecil yang memiliki akses terhadap asuransi kesehatan atau perlindungan sosial lainnya.
Realitas ini menegaskan urgensi regulasi khusus guna mencegah eksploitasi dan menjamin kesejahteraan pekerja gig di Indonesia.
Pelindungan Pekerja Platform di Negara Lain
Beberapa negara dan blok regional telah mulai melindungi pekerja platform melalui kebijakan progresif.
Uni Eropa, misalnya, mengadopsi Platform Work Directive yang menerapkan prinsip presumption of employment bagi pekerja platform yang secara de facto dikendalikan oleh algoritma platform.
Direktif ini juga menekankan transparansi dalam pengelolaan algoritma agar pekerja memahami kriteria kerja mereka.
Di Spanyol, UU “Riders” mengakui pengantar sebagai karyawan apabila terdapat kontrol kerja oleh platform, sekaligus mewajibkan perusahaan memberikan hak-hak ketenagakerjaan dan membuka akses terhadap informasi algoritma kerja bagi pekerja.
Di Amerika Serikat, meskipun belum ada kebijakan federal yang menyeluruh, aturan baru memperketat klasifikasi pekerja gig sebagai kontraktor independen.
Negara bagian seperti California telah menerapkan standar “tes ABC” dalam UU AB5 yang memperluas hak pekerja gig terhadap upah minimum, lembur, dan tunjangan biaya.
Pemerintah federal juga mulai mengakui bahwa pekerja yang “bergantung secara ekonomi” pada platform layak dikategorikan sebagai karyawan.
Australia telah memperbarui Undang-Undang Ketenagakerjaannya dengan memberi wewenang kepada Fair Work Commission untuk menetapkan standar minimum upah dan waktu istirahat bagi pekerja gig, termasuk hak untuk tidak aktif tanpa penalti.
Ini menandai upaya perlindungan tanpa mengubah status mereka menjadi karyawan penuh.
Di Asia Tenggara, Singapura memberlakukan Platform Workers Act yang mewajibkan kontribusi pensiun dan asuransi kecelakaan kerja bagi pekerja platform.
Mereka juga diizinkan membentuk asosiasi untuk berunding kolektif, memberikan jaringan pengaman sosial yang signifikan meskipun tidak diklasifikasikan sebagai karyawan.
Sementara itu, Meksiko belum memiliki regulasi khusus dan sebagian besar pekerja gig tetap dianggap wiraswasta.
Namun tekanan internasional dari lembaga seperti ILO dan G20 mendorong negara-negara seperti Meksiko untuk memperluas cakupan perlindungan sosial terhadap pekerja digital.
Kelemahan Opsi Klasifikasi Sebagai Karyawan
Mengklasifikasikan seluruh pekerja gig sebagai karyawan tetap memiliki kelemahan.
Model ini bisa mengurangi fleksibilitas dan meningkatkan biaya operasional platform hingga 30%, sehingga berisiko mengurangi jumlah pekerja yang dapat diserap atau menaikkan tarif layanan.
Kategori karyawan penuh juga tidak cocok untuk semua jenis pekerjaan platform karena sifatnya yang fleksibel dan berbasis tugas.
Di sisi lain, memaksakan klasifikasi tunggal justru bisa menciptakan kebingungan hukum dan menghambat inovasi.
Keterbatasan Status “Mitra” Tanpa Perlindungan
Sebaliknya, mempertahankan status “mitra” juga bermasalah.
Pekerja gig menanggung seluruh risiko kerja tanpa jaminan kesehatan, kecelakaan, atau pensiun. Banyak dari mereka tidak menerima upah minimum, dan beban biaya seperti bahan bakar atau perawatan kendaraan ditanggung sendiri.
Tanpa perjanjian kerja yang kuat, mereka juga mudah dihentikan sepihak oleh sistem algoritma tanpa kompensasi.
Ini menciptakan relasi kerja yang eksploitatif, dengan fleksibilitas semu tapi tanpa jaring pengaman sosial.
Implikasi untuk Kebijakan di Indonesia
Pengalaman global menunjukkan bahwa Indonesia perlu merancang kerangka hukum baru yang dirancang khusus untuk ekonomi gig.
Pendekatan terbaik bukanlah mengklasifikasikan semua pekerja sebagai karyawan, melainkan menciptakan kategori hukum baru yang menyeimbangkan fleksibilitas dan perlindungan.
Misalnya, pemerintah dapat mewajibkan kontribusi BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, menetapkan tarif minimum layanan, serta mewajibkan asuransi kecelakaan kerja bagi semua pekerja platform.
Prinsip primacy of facts bisa digunakan untuk menentukan hubungan kerja berdasarkan realitas, bukan label kontrak.
Indonesia juga telah menyatakan komitmennya dalam forum G20 untuk membangun sistem perlindungan sosial yang inklusif, termasuk bagi pekerja platform.
Maka dari itu, regulasi baru harus mencakup mekanisme penyelesaian sengketa yang cepat dan terjangkau, serta memastikan akses terhadap tunjangan sosial bagi pekerja gig.
Pekerja OJOL dan Pekerja Kreatif Harus Dilindungi Negara
Di tengah pertumbuhan ekonomi digital, posisi pekerja gig economy berada di tengah tarik-menarik antara fleksibilitas dan perlindungan.
Negara-negara lain telah bergerak cepat untuk merancang regulasi yang menjamin hak dasar pekerja tanpa mengorbankan fleksibilitas bisnis. Indonesia tidak bisa membiarkan status “mitra tanpa kewajiban” terus berlanjut.
Diperlukan pendekatan hibrida—seperti kewajiban kontribusi jaminan sosial dan perlindungan kerja dasar—yang dituangkan dalam UU Ketenagakerjaan baru.
Dengan cara ini, pekerja gig dapat menikmati perlindungan memadai sekaligus tetap mendukung ekonomi digital yang inklusif dan berkeadilan.
END