Opini  

Banjir Jakarta Awal 2025, Salah Siapa: Alam atau Manusia di Atasnya?

Foto ilustrasi NUOnline

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ

Banjir besar yang melanda Jakarta pada akhir Januari 2025 telah menjadi salah satu bencana hidrometeorologi terbesar sejak tahun 1998, dengan curah hujan ekstrem mencapai 368 mm/hari di beberapa wilayah dan merendam lebih dari 54 RT serta 23 ruas jalan utama.

Berbagai kawasan ibu kota lumpuh akibat genangan air yang mencapai lebih dari satu meter di beberapa titik. Pemerintah daerah dan pusat kembali menjadi sorotan, mempertanyakan sejauh mana efektivitas kebijakan dalam menangani banjir yang semakin ekstrem.

Namun, pertanyaan mendasar tetap sama: apakah banjir ini semata-mata kesalahan alam, atau justru kesalahan manusia yang ada di atasnya?

Jika kita lihat dari berbagai aspek, faktor utama bukan hanya curah hujan tinggi akibat fenomena atmosfer tertentu, tetapi juga kebijakan penanganan banjir yang kurang efektif meskipun anggaran yang dialokasikan terus meningkat.

Kepemimpinan Pj Gubernur dan Ketidakefektifan Kebijakan Banjir

Sejak diberlakukannya kebijakan Pj Gubernur DKI Jakarta sebagai representasi pemerintah pusat, banyak yang berharap bahwa kedekatan mereka dengan Istana dan Kementerian Dalam Negeri akan mempercepat dan mempermudah koordinasi dalam menangani permasalahan klasik ibu kota, termasuk banjir.

Namun, kenyataannya jauh dari harapan.

Baik era Pj Gubernur Budi Haryanto (2023-2024) maupun Teguh Setyabudi (2024-2025), penanganan banjir tidak mengalami terobosan berarti.

Padahal, dengan kedekatan mereka dengan pusat pemerintahan di Jalan Medan Merdeka, seharusnya ada langkah-langkah strategis dan kebijakan inovatif yang bisa diterapkan secara cepat dan menyeluruh.

Sayangnya, hingga awal 2025, banjir masih menjadi momok besar bagi warga Jakarta.

Banjir tahun ini bahkan mencatat sejarah sebagai salah satu yang terbesar dalam hampir tiga dekade terakhir, menandakan bahwa kebijakan selama ini belum efektif.

Tidak ada perubahan signifikan dalam sistem drainase, pengendalian aliran sungai, atau perbaikan tata ruang kota yang semakin semrawut.

Akibatnya, banjir pada awal 2025 menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi masyarakat. Berdasarkan estimasi dari BPBD DKI Jakarta, total kerugian akibat banjir ini mencapai Rp4,2 triliun, dengan sektor perdagangan dan perumahan sebagai yang paling terdampak.

Hal ini menunjukkan bahwa kedekatan politik tidak selalu berbanding lurus dengan efektivitas kebijakan publik.

Anggaran Penanganan Banjir yang Terus Meningkat: Ke Mana Hasilnya?

Salah satu hal yang patut disoroti adalah bagaimana anggaran penanganan banjir di Jakarta terus meningkat setiap tahun, tetapi dampaknya terhadap pengurangan banjir justru tidak signifikan.

Berikut adalah rincian anggaran penanganan banjir di Jakarta selama lima tahun terakhir: Rp1,8 triliun (2021), Rp2,4 triliun (2022), Rp3,6 triliun (2023), Rp2,85 triliun (2024) dan Rp5,6 triliun (2025).

Sebagian besar dari anggaran ini digunakan untuk pengadaan infrastruktur fisik seperti pembangunan waduk, normalisasi sungai, sistem drainase, dan pengadaan pompa air.

Namun, kenaikan anggaran ini tidak serta-merta memberikan hasil yang sesuai ekspektasi. Jakarta tetap kebanjiran, bahkan dalam skala yang lebih parah.

Apa yang kurang dari kebijakan ini? Jawabannya adalah partisipasi publik dan pelibatan komunitas.

Selama ini, penanganan banjir di Jakarta masih bersifat top-down, di mana kebijakan dan keputusan diambil secara sentralistik oleh pemerintah tanpa melibatkan peran aktif masyarakat.

Kurangnya Partisipasi Publik dalam Penanganan Banjir

Banyak negara yang sukses mengurangi dampak banjir bukan hanya dengan infrastruktur fisik semata, tetapi dengan memperkuat keterlibatan publik dalam mitigasi dan respons terhadap banjir.

Sayangnya, di Jakarta, pendekatan ini masih minim. Kesadaran warga untuk menjaga lingkungan, mengurangi limbah plastik yang menyumbat drainase, serta mendukung inisiatif penghijauan masih belum optimal.

Padahal, komunitas masyarakat bisa menjadi mitra strategis dalam menangani banjir.

Contohnya, program drainase berbasis alam yang melibatkan warga untuk menanam pohon dan membangun sistem resapan air di pemukiman padat bisa menjadi solusi jangka panjang.

Namun, kebijakan yang ada masih lebih berfokus pada solusi teknokratik tanpa memperhatikan aspek sosial dan budaya masyarakat Jakarta.

Stabilitas Politik Tidak Berbanding Lurus dengan Efektivitas Penanganan Banjir

Stabilitas politik di Jakarta kini lebih kondusif dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Hubungan antara pemerintah pusat, Pemprov DKI, dan daerah-daerah penyangga seperti Bogor, Depok, dan Tangerang semakin harmonis.

Kerja sama dalam menangani banjir pun terus digalakkan. Namun, apakah ini cukup? Fakta di lapangan menunjukkan bahwa koordinasi antarwilayah masih belum efektif.

Salah satu contoh nyata adalah masih kurangnya sinergi dalam pengelolaan daerah hulu yang menjadi sumber banjir Jakarta.

Pengendalian banjir seharusnya tidak hanya fokus pada hilir (Jakarta), tetapi juga bagaimana pengelolaan air di daerah hulu seperti Bogor dan Depok dilakukan secara berkelanjutan.

Pendekatan Baru yang Harus Ditempuh

Jika pola yang ada saat ini terus berlanjut, Jakarta akan selalu menghadapi ancaman banjir besar setiap tahunnya. Oleh karena itu, perlu ada pendekatan baru yang lebih komprehensif, di antaranya:

Pertama, Pendekatan Berbasis Komunitas. Pemerintah perlu mulai melibatkan masyarakat dalam program mitigasi banjir. Kampanye kesadaran lingkungan, edukasi tentang pengelolaan sampah, dan pembangunan sistem drainase alami berbasis komunitas bisa menjadi langkah awal yang efektif.

Kedua, Transparansi Anggaran dan Evaluasi Kebijakan. Anggaran penanganan banjir yang terus meningkat harus disertai dengan transparansi dan evaluasi berkala.

Pemerintah harus melibatkan akademisi dan LSM untuk mengaudit efektivitas setiap program yang didanai oleh APBD dan APBN.

Ketiga, Pengelolaan Wilayah Hulu Secara TerpaduJakarta tidak bisa bekerja sendiri dalam mengatasi banjir. Kerja sama dengan daerah-daerah di hulu harus ditingkatkan dengan menerapkan kebijakan yang mendukung konservasi kawasan resapan air di Bogor dan sekitarnya.

Catatan Penting

Banjir Jakarta awal 2025 kembali mengingatkan kita bahwa masalah ini bukan hanya persoalan alam, tetapi juga kebijakan manusia yang masih belum efektif.

Kedekatan politik dengan Istana dan Kemendagri ternyata tidak serta-merta membuat solusi banjir lebih baik. Anggaran yang semakin meningkat pun tidak otomatis membuat banjir mereda.

Sudah saatnya pemerintah tidak hanya bergantung pada pembangunan infrastruktur fisik, tetapi juga mulai menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dan pendekatan berbasis komunitas.

Hanya dengan kerja sama yang lebih luas, serta kebijakan yang lebih inovatif dan transparan, Jakarta bisa terbebas dari bencana banjir yang terus berulang setiap tahunnya.

END

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *