Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ
Seratus hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah menjadi bahan evaluasi yang penting, terutama dalam konteks kebijakan ekonomi yang diusung.
Dengan skala kabinet yang besar dan berbagai program populis yang dicanangkan, muncul pertanyaan besar mengenai keberlanjutan fiskal dan keseimbangan beban ekonomi yang ditanggung oleh berbagai lapisan masyarakat, terutama kelas menengah.
Keberlanjutan Fiskal dan Peranan Kelas Menengah
Kelas menengah, sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia, menghadapi tekanan yang semakin besar akibat ambisi populis yang diterapkan oleh pemerintahan Prabowo. Program-program seperti Makan Bergizi Gratis, swasembada pangan, dan peningkatan belanja infrastruktur membutuhkan alokasi anggaran yang sangat besar.
Sementara itu, penerimaan negara yang didorong oleh target pajak yang tinggi membuat kelompok kelas menengah harus menanggung beban lebih berat dalam bentuk peningkatan pajak dan biaya hidup yang semakin tinggi.
Kebijakan MBG dan Kontroversi Lainnya
Salah satu kebijakan yang paling kontroversial dalam seratus hari pertama ini adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Program ini awalnya menargetkan 17,5 juta penerima manfaat, namun rencana ekspansi hingga 82,5 juta penerima akan membutuhkan tambahan anggaran hingga Rp100 triliun.
Anggaran ini, jika tidak dikelola dengan baik, dapat semakin memperlebar defisit anggaran negara. Ketika defisit membesar, jalan keluar yang paling sering diambil adalah dengan menaikkan pajak dan mengurangi subsidi di sektor lain, yang berpotensi semakin menekan daya beli masyarakat kelas menengah.
Tidak hanya program MBG, ambisi Prabowo dalam mencapai swasembada pangan juga membutuhkan tambahan anggaran yang cukup besar, yakni Rp505 miliar.
Hal ini merupakan kebijakan yang baik jika dilaksanakan secara efisien. Namun, jika tidak ada strategi yang matang dalam implementasinya, maka tambahan anggaran ini hanya akan menambah beban fiskal negara tanpa menghasilkan dampak jangka panjang yang berarti.
Selain itu, pembangunan infrastruktur, terutama yang terkait dengan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan pemekaran provinsi di Papua, juga menjadi salah satu faktor yang meningkatkan kebutuhan belanja negara.
Menteri Pekerjaan Umum mengusulkan tambahan anggaran sebesar Rp60,6 triliun untuk mendukung proyek ini.
Meskipun pembangunan infrastruktur penting untuk pertumbuhan ekonomi, anggaran sebesar ini seharusnya dipertimbangkan dengan matang agar tidak semakin membebani keuangan negara.
Salah satu faktor lain yang meningkatkan tekanan terhadap kelas menengah adalah kenaikan belanja pegawai negara.
Pada tahun 2025, anggaran belanja pegawai diperkirakan meningkat menjadi Rp521,4 triliun, naik Rp60 triliun dari tahun sebelumnya. Dengan bertambahnya jumlah pegawai dan besarnya kabinet, peningkatan belanja pegawai ini semakin mempersempit ruang fiskal pemerintah untuk memberikan insentif kepada sektor swasta dan masyarakat kelas menengah.
Defisit 2025 Diprediksi Membesar
Defisit APBN yang direncanakan sebesar 2,53% dari PDB atau Rp616,2 triliun diperkirakan akan melebar hingga 2,9% dari PDB atau sekitar Rp800 triliun.
Hal ini disebabkan oleh kenaikan belanja akibat program-program prioritas dan bertambahnya jumlah kementerian serta lembaga dalam kabinet Prabowo.
Untuk menutupi defisit ini, pemerintah perlu meningkatkan penerimaan pajak, yang berarti target penerimaan pajak pada tahun 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun harus tercapai. T
Tantangan terbesar adalah bahwa target ini memerlukan kenaikan 13,29% dari tahun 2024, yang tampaknya sulit tercapai mengingat pertumbuhan ekonomi yang belum menunjukkan pemulihan signifikan.
Kelas Menengah Dikejar-kejar Pajak
Bagi masyarakat kelas menengah, dampak dari kebijakan ini akan terasa dalam bentuk peningkatan pajak penghasilan dan berbagai beban fiskal lainnya.
Pada tahun 2024, realisasi penerimaan pajak penghasilan hanya mencapai 93,2% dari target, menunjukkan adanya kesulitan dalam mencapai penerimaan pajak yang diharapkan. Jika target pajak tetap tinggi, maka kelas menengah akan semakin terbebani oleh kebijakan fiskal yang kurang berpihak kepada mereka.
Realisasi belanja negara pada tahun 2024 yang mencapai Rp3.350,3 triliun juga menunjukkan kecenderungan pengeluaran yang lebih besar dari target, yakni Rp3.325,1 triliun.
Penyebab utama dari lonjakan ini adalah belanja kementerian dan lembaga yang mencapai Rp1.315 triliun, meningkat Rp120,6 triliun dari target awal APBN 2024.
Jika tren ini berlanjut, maka pemerintah harus mencari sumber pendapatan lain, yang kemungkinan besar akan berasal dari pajak dan pungutan lainnya.
Dalam konteks ini, kelas menengah semakin menjadi korban dari kebijakan populis yang diusung oleh pemerintah.
Dengan target pajak yang semakin tinggi, mereka dipaksa untuk menanggung beban fiskal yang lebih besar dibandingkan kelompok masyarakat lainnya.
Pemerintah harus mulai mempertimbangkan kebijakan yang lebih seimbang, di mana kebijakan populis tidak hanya menguntungkan kelompok masyarakat bawah tetapi juga tidak memberatkan kelas menengah.
Salah satu solusi yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melakukan efisiensi dalam belanja negara. Pemotongan belanja sebesar Rp306,7 triliun yang telah diinstruksikan oleh Presiden Prabowo merupakan langkah awal yang baik, tetapi harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih strategis.
Pengurangan biaya untuk upacara dan perjalanan dinas hanyalah sebagian kecil dari efisiensi yang diperlukan. Pemerintah juga harus mengkaji ulang efektivitas berbagai program populis yang telah dicanangkan agar tidak menimbulkan beban fiskal yang berlebihan.
Selain itu, perlu adanya reformasi dalam sistem perpajakan agar beban fiskal tidak hanya bertumpu pada kelas menengah.
Reformasi Pajak Tanpa Bertumpu pada kelas menengah: Batalkan Rencana Tax Amnesty Jilid III
Peningkatan penerimaan pajak bisa dilakukan dengan memperluas basis pajak, meningkatkan kepatuhan pajak, membatalkan ide tax amnesty jilid 3 dan mengurangi kebocoran dalam sistem perpajakan.
Pemerintah juga bisa meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agar dapat memberikan kontribusi lebih besar terhadap pendapatan negara tanpa harus meningkatkan beban pajak kepada masyarakat.
Dalam seratus hari pertama pemerintahan Prabowo, kebijakan populis yang diterapkan tampaknya lebih banyak memberikan tekanan terhadap kelas menengah dibandingkan dengan manfaat yang diberikan.
Jika kebijakan ini terus berlanjut tanpa ada upaya untuk menyeimbangkan beban fiskal, maka kelas menengah akan semakin terhimpit oleh kebijakan yang lebih berpihak kepada kelompok masyarakat tertentu.
Pemerintah harus segera mengambil langkah untuk menyeimbangkan kebijakan ekonomi agar tidak hanya menguntungkan satu kelompok, tetapi dapat memberikan manfaat yang lebih merata bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Kementerian Keuangan di Bawah Presiden Langsung
Penempatan Kementerian Keuangan langsung di bawah presiden bertujuan untuk meningkatkan koordinasi dan pengambilan keputusan yang lebih cepat dalam pengelolaan anggaran negara.
Namun, langkah ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai dampaknya terhadap transparansi dan akuntabilitas.
Perubahan ini diprediksi tidak akan berdampak signifikan terhadap pasar, namun penting untuk memastikan bahwa mekanisme checks and balances tetap terjaga guna mencegah potensi penyalahgunaan wewenang.
Secara keseluruhan, meskipun ada upaya untuk meningkatkan efisiensi pengeluaran dan implementasi program-program baru yang ambisius, tantangan dalam memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran tetap menjadi perhatian utama.