Opini  

Profesor Abd Madjid, Banyak Akal Menaklukkan Berbagai Rintangan

Dr. Mahli Zainuddin Tago

Oleh: Dr. Mahli Zainuddin Tago *)

Jogja awal 1992. Aku dosen baru di FAI-UMY. Beberapa dosen tetap sebelumnya sudah aku kenal. Prof Yunahar dan Ustadz Muhsin aku kenal sejak 1985 saat aku staf dan beliau berdua guru Muallimin. Pak Khoiruddin dan Pak Yusuf  aktivis  IPM Pusat aku kenal ketika baru belajar berorganisasi di IPM Ranting SMA Muhi.

Beberapa dosen lainnya menjadi teman baruku: Bu Nurrohmah Watik pemegang NIK-01, Pak Said Tuhuleley, Pak Dwi Santosa, Pak Abd. Madjid, Pak Mas’udi, Pak Nawari, Bu Bahiroh, dan Bu Syamsiatun. Sebagian para senior ini sudah wafat, memasuki usia pensiun, atau berpindah kampus. Tetapi sebagian masih aktif. Bahkan masih lama. Antara lain karena jabatan akdemik yang diraih. Salah satunya adalah  Pak Abd. Madjid. Selanjutnya ditulis Pak Majid saja. Beliau menjadi ide cerita tulisanku kali ini.    Cerita tentang kecerdasan, ketekunan, dan kerapian dalam menaklukkan berbagai rintangan.

Aku cepat akrab dengan Pak Majid. Meski beliau senior dan kami beda Jurusan. Beliau di Tarbiyah aku di Dakwah. Ada banyak hal mendekatkan kami. Jumlah dosen FAI UMY tidak banyak, masih dalam hitungan belasan. Meja kerja kami dalam satu ruang yang sama. Sebagai sesama orang seberang yang merantau ke Jogja kami diikat sentiman teritori Jambi. Kerinci kampung halamanku kawasan paling barat Propinsi Jambi. Kampung halaman Pak Majid berdampingan dengan Tanjung Jabung kawasan paling timur Propinsi Jambi. Kami juga orang semendo (bermertuakan) orang Jawa Tengah: mertuaku dari Jepara dan mertua Pak Majid dari Bumiayu-Brebes.

Sebagai perantau kami juga masih sesama kontraktor. Alias belum memiliki rumah sendiri. Maka kami pernah berkeliling menjelajah banyak calon perumahan. Di ujung cerita kami akhirnya membeli tanah di kampung. Mencari suasana yang dekat dengan negeri asal kami yang juga di kampung .

Majid kecil menjalani pendidikan dasar di kampung halamannya Sungai Luar, Tembilahan-Riau. Di pantai timur Sumatera ini Majid masuk SD pada pagi hari dan MI  pada siang hari. Karena MI pindah ke pagi hari maka pada kelas  empat Majid berhenti dari MI dan lanjut lagi setamat SD. Sehingga Majid terlambat dua tahun saat masuk MTs pada 1976. MTs ini berada di kampung yang  cukup jauh dari rumah Majid. Dijangkau dengan tiga jam jalan kaki melalui jalan setapak dan beberapa jembatan parit di tengah kebun kelapa. Disini Majid tinggal di asrama  gubug kayu beratap daun nipah yang dibangun sendiri. Lengkap dengan dapur.   Maka sejak masa ini Majid sudah masak sendiri. Seminggu sekali dia mudik mengambil beras dan minyak goreng. Cerita Majid, “sayuran ditanam sendiri. Ikan dipancing dari sela-sela gubug di tepi kali. Ketika air kali surut dikeruhkan dengan lumpur. Maka udang yang mabuk mudah ditangkap. Amanlah lauk pauk satu bulan.”

Majid menamatkan MTs pada 1979. Ketika itu Surian kakak sepupunya kuliah di Fakultas  Usuhuluddin IAIN Suka. Surian menjadi inspirator Majid muda untuk juga sekolah di Jawa. Bersama tiga teman sesama alumni MTs  Majid  diterima di Pesantren Tambak Beras Jawa Timur.  Sebagai siswa yang haus ilmu Majid remaja tidak puas dengan pelajaran reguler di pesantren besar ini. Dia mengaji khusus pada seorang kyai bersama beberapa teman mengaji kitab Bidaayatul Mujatahid Wa Nihayatul Muqtashid. Karya Ibnu Rusyd ini berisi fiqih dalam perspektif muslim Eropa abad ke-9 M. Majid akhirnya lulus dari pesantren yang dikenal sebagai pesantren NU ini. Kakak kelasnya sesama alumni Tambak Beras adalah Dr. Hamim Ilyas, ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah kini. Adik kelasnya adalah Prof. Makmun Murod,  Rektor UMJ  Jakarta. Konon tiga alumni ini sudah diwakafkan para kyai Tambak Beras menjadi alumni pesantren NU yang mengabdi di Muhammadiyah.

Setamat Tambak Beras Majid muda mulai mengalami masa-masa sulit. Seseorang menyebarkan hoax di Tembilahan. Bahwa Majid sudah menikah di Jawa. Kabar bohong ini terlanjur mempengaruhi ayah Majid. Beliau tegas meminta anaknya pulang kampung saja. Tidak ada lagi sekolah lanjut. Karena merasa tidak melakukan kesalahan Majid bertahan di Jawa. Tetapi kini dia harus mandiri karena kiriman orangtuanya putus.

Atas kebaikan teman-teman Majid bisa mendaftar di IAIN Suka. Tetapi  kemudian Majid yang berada di Jombang  tidak tahu dia diterima atau tidak. Pengumuman dikirim ke alamat kos temannya di Jogja.  Maka nasib Majid pun tidak menentu. Dia luntang luntung di Stasiun Jombang. Lalu bertemu dengan kakak kelasnya sesama alumni Tambak Beras. Sang kakak kelas mahasiswi IAIN Suka. Orang baik ini  membiayai Majid ke Jogja.  Bahkan juga membantu Majid melewati masa-masa sulit di bulan-bulan awal menjadi mahasiswa di IAIN Suka.

Dua  hari yang lalu kami  menemukan jejak sang kakak kelas ini.  Kini beliau dosen Universitas Lampung. Nama lengkapnya Profesor Nunung Rodhiyah. Aku mengirim pesan WA. Beberapa jam kemudian beliau menelepon aku. Maka kami pun berbincang hangat. Nunung muda ternyata juga penuntut ilmu yang gigih. Dia dulu kuliah sambil menjadi guru mengaji dan bekerja sebagai asisten pengacara. Dua di antara murid mengajinya kini temanku sesama dosen UMY.

Ketika kuliah Nunung suka membantu orang lain. Majid muda salah satu yang merasakan bantuannya. Menjawab pertanyaanku  Prof Nunung  ingat memiliki adik kelas di Tambak Beras bernama Majid. Tetapi lupa wajah dan lupa juga pernah menolong Majid. Maklum itu persitiwa setengah abad kurang dua tahun yang lalu. Orang baik memang selalu melupakan kebaikan yang pernah diberikan. Tetapi selalu mengingat kebaikan orang lain yang pernah diterima.

Belakangan hubungan Majid dengan ayahnya  membaik. Maka Majid pun bisa lebih fokus belajar. Majid juga membantu orang tuanya dengan mencari penghasilan tambahan. Dia menjadi guru privat mengaji dan penjaga kios ibu kosnya. Kadang dia mendapat keuntungan dari jualan rokok ke temannya sesama mahasiswa.

Buku catatan kuliah Majid yang rapi juga menjadi sumber belajar teman sekelasnya.  Lina teman sekelas Majid yang kini tinggal di Pekanbaru mengaku terbantu oleh catatan kuliah Majid ini. Lalu terjadi simbiosis mutualisme.  Lina yang dermawan meminta Majid memfotocopy catatan kuliahnya. Tentu dengan biaya yang dilebihkan. Dua tahun lalu Lina ke Jogja, bertemu Majid,  dan mendengar banyak cerita Majid  pada masa perjuangannya dulu. Lina menegaskan pada penulis, “Majid layak untuk pencapaian ini. Dia orang hebat. Pintar, rajin, dan rapi. Dia berhasil melawan keterbatasan dan akhirnya menjadi Guru Besar.”

Di samping cerdas Majid memang banyak akal. Dia bisa menghadapi dosen yang unik dengan cara yang unik pula. Salah satu dosen  dikenal mewajibkan mahasiswa membeli bukunya. Bagi beliau tidak beli buku tidak bisa belajar maksimal. Keterbatasan  dana membuat Majid tidak membeli buku Sang Dosen. Maka dia tidak lulus ujian tertulis. Majid harus ikut ujian lisan. Tetapi Majid tetap tidak membeli buku Sang Dosen.

Majid beralasan selain buku Sang Dosen ada sumber belajar lain yaitu kitab-kitab fiqih yang dirujuk buku Sang Dosen. Majid lalu  menyebut beberapa kitab fiqih yang sudah dipelajarinya di Tambak Beras. Lalu sang  dosen bertanya bagian apa dari kitab-kitab itu yang dikuasai dan bagian mana yang tidak dikuasai Majid. Majid lalu bersiasat. Bagian buku yang dikuasai diakui tidak dikuasai. Sang dosen killer ini  lalu mencecar Majid dengan tiga pertanyaan pada bagian  ini. Maka luluslah Majid pada mata kuliah dosen sekaligus penjual buku itu.

Pada tahun 1988  Majid tamat dari Fakultas Tarbiyah IAIN Suka. Lalu beliau diterima menjadi dosen UMY. Pada sisi lain sebagai alumni berprestasi beliau diterima menjadi dosen PNS di IAIN. Tetapi ditempatkan STAIN Purwokerto. Tidak  di IAIN Suka almamaternya. Majid merasa diperlakukan tidak adil karena posisi di IAIN Suka justru ditempati temannya satu almamater yang prestasinya selalu di bawah Majid. Tetapi Majid tetap menjalankan amanat. Dia menjangkau Purwokerto dari Jogja.

Dalam masa inilah dia bertemu jodohnya Bu Nuraini  gadis Bumiayu. Setahun kemudian Majid memutuskan  memilih UMY sebagai tempat khidmatnya. Majid  meninggalkan statusnya sebagai dosen PNS. Keputusan ini ditentang keluarga  besarnya. Juga disayangkan para dosennya saat kuliah di IAIN Jogja. Nampaknya menjadi PNS, apalagi dosen, bagi mereka adalah cita-cita hidup tertinggi.

Ketika aku masuk UMY pada 1992 Pak Majid sudah menjadi dosen senior sebagai mana aku ceritakan di atas. Di UMY beliau berkembang pesat. Pada 1993 beliau menjadi dekan Fakultas Agama Islam (FAI)  UMY. Ini  gabungan Fakultas Dakwah dan Fakultas Tarbiyah sebelumnya.  Kami makin sering berinteraksi karena aku menjadi Pembantu Dekan bidang kemahasiswaan.

Pada masa pra Reformasi ini dunia kemahasiswaan UMY dan Jogja pada umumnya sangat dinamis. UMY dikenal sebagai salah satu sarang demonstran melawan kelaliman Orde Baru. Hampir setiap minggu ada demonstrasi. Pada suatu waktu Kampus UMY bahkan diserbu tentara. Pada waktu yang lain kami membekukan Senat mahasiswa FAI. Maka mahasiswa FAI pun bergejolak. Pak Majid tenang karena yang disasar mahasiswa adalah aku sebagai PD-3. Aku juga tenang dengan argumen aku hanya pembantu dekan. Aku berkata pada mahasiswa SK pembekuan ditandatangani Pak Majid.

Lalu tantangan lain masih membersamai Pak Majid. Pada 1995 beliau mendaftar kuliah di S-2 di IAIN  Suka. Pada saat pendaftaran ada dua nama Majid. Satu karyawan Fakultas Dakwah IAIN Suka dengan status PNS dan satunya lagi Majid dosen UMY dengan status pegawai swasta. Ketika pengumuman Pak Majid dinyatakan tidak diterima. Majid yang satunya diterima. Tetapi pada pengumuman Majid yang diterima berada pada kolom dosen. Padahal dia tenaga kependidikan. Ketika meminta penjelasan pada Direktur Pasca Sarjana Pak Majid malah dimarahi.  Maka Pak Majid berangkat ke Jakarta menemui Direktur Diktis Kemenag. Usaha Pak Majid membuahkan hasil. Pak Atho sang Direktur menegaskan bahwa  yang diterima adalah Majid yang dosen. Meski dia adalah dosen swasta. Pak Majid bahkan dinyatakan juga diterima  sebagai mahasiswa S-2 penerima beasiswa. Belakangan Pak Majid memperoleh gelar Doktor dari  UPI Bandung  pada tahun 2009.

Kampus terpadu UMY, Sabtu  25 Mei 2024. Ini hari bahagia bagi Prodi MIAI UMY. Sebagai Kaprodi aku tentu bangga. Dua dosen kami menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar: Prof Azam dan Prof  Majid. Sebagaimana biasa pidato pengukuhan menjadi forum kebanggaan sekaligus penuh keharuan.

Pak Majid yang menjadi inspirasi tulisan ini berhasil menghadapi berbagai tantangan dalam  proses menuntut ilmu. Beliau memang banyak akal. Sehingga berhasil mengatasi berbagai keterbatasan. Khususnya keterbatasan   finansial dan guru maupun dosen gaya lama yang otoriter. Kecerdasan, ketekunan,  dan kerapian baik berpikir maupun berpenampilan telah  menghantarkan Pak Majid pada level tertinggi seorang dosen. Selamat Profesor Abd.   Madjid, senior yang menginspirasi. Semoga makin banya tebar manfaat. Dari Sungai Luar-Tembilahan untuk dunia yang lebih luas.

Kampus Terpadu UMY, 24 Mei 2024

*) Mahli Zainuddin Tago, Dosen FAI-Pascarjana UMY

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *