Opini  

Profesor Zuly Qodir, Jejak Langkah Sang Petarung

Dr. Mahli Zainuddin Tago, M.Si. (Dosen FAI-Pascarjana UMY)

Oleh: Dr. Mahli Zainuddin Tago, M.Si. (Dosen FAI-Pascarjana UMY)

Banjarnegara, akhir 1980-an. Hari sudah sore dan seorang siswa MAN-1 terlantar di sekolahnya. Angkutan umum sudah tiga hari mogok kerja. Sang siswa harus pulang ke desanya. Naik ojek apalagi mencarter mobil di luar kemampuannya. Maka dia pun berjalan kaki menuju Kemiri desanya, 16 KM dari Kota Banjarnegara. Untungnya dia terbiasa beraktivitas fisik. Mencangkul dan ngarit tidak asing baginya.

Saat SMP dia terbiasa ke sekolah berjalan kaki sejauh delapan KM. Dia terlahir dari seorang ibu petani yang tangguh Kini sang siswa meraih puncak karir seorang akademisi. Pada 27 April 2024 dia dikukuhkan menjadi Guru Besar di UMY. Nama lengkapnya kini Prof. Dr. Zuly Qodir, M.Ag. Tentang dia, tentang kegigihan dalam menuntut ilmu, aku bercerita kali ini.

Profesor Zuly Qodir, selanjutnya ditulis Zuly saja, anak tokoh masyarakat. Mustofa Hadi ayahnya seorang pecinta ilmu. Beliau guru ngaji di kampungnya. Tamatan PGA 6 tahun ini sebelumnya guru Madrasah Ibtidaiyah yang berpindah-pindah tempat tugas. Pada 1979 beliau ditempatkan di kampung dekat rumahnya sendiri di Desa Kemiri Kecamatan Sigaluh.

Setelah itu beliau menjadi pegawai KUA. Siti Aminah ibu Zuly seorang petani tulen yang salihah. Kini pada umur 70 tahun Sang Ibu masih sanggup memanjat pohon memanen buah-buahan. Pada 1984 Pak Mustofa Hadi mendirikan Muhammadiyah Ranting Kemiri. Embrionya adalah pengajian rutin malam Kamis dan malam Sabtu yang beliau bina. Sang ayah lalu menjadi ketua Muhammadiyah dan sang ibu Ketua Aisyiyah. Zuly menjadi ketua Pemuda Muhammadiyah Ranting Kemiri sebelum kuliah ke Jogja.

Setamat MAN-1 Banjarnegara pada 1990 Zuly kuliah di UMY. Sebelumnya dia mendaftar dan tidak diterima di IAIN Sunan Kalijaga. Di UMY dia memilih fakultas paling murah yaitu Fakultas Agama Islam (FAI). Pada 1992 Sang ayah yang pecinta ilmu mengantar Zuly ke Pondok Al-Munawwir Krapyak.

Beliau ingin anaknya menguatkan kemampuan baca kitab kuning. Kyai Ahmad Munawwir pemilik pondok heran. Mengapa sang ayah yang ketua Muhammadiyah memasukkan anaknya yang mahasiswa UMY ke Pondok Krapyak. Jawaban sang ayah,”saya belum menemukan ada Pondok Pesantren Muhammadiyah di Jogja.” Sejak itu Zuly menjangkau UMY dari Krapyak-Mangkuyudan dengan naik Bis Kota jalur 15. Sedangkan di kampus Ustadz Yunahar Ilyas dan Ustadz Zaini Munir dosen Bahasa Arab kala itu mengenal Zuly sebagai mahasiswa yang bisa Bahasa Arab.

Di UMY mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah Ranting ini segera menjadi aktivis mahasiswa. Awalnya ikut IMM. Dia Darul Arqom dan menjadi anggota IMM Komfak FAI. Ternyata Zuly tidak puas dengan satu organisasi. Tahun berikutnya dia ikut Batra HMI-MPO dan menjadi sekretaris HMI Kormom UMY selama dua periode. Zuly juga menjadi aktivis Kelompok Sttudi Lingkaran yang banyak diisi aktivis HMI dan PII kala itu. Zuly bahkan menjadi sekrataris kelompok studi ini.

Di kelompok studi ini juga bergabung beberapa mahasiswa UMY non organisaasi kemahasiswaan ekstra kampus. Tahun 1993 Zuly merasa cukup di HMI dan mengikuti Batra PII. Disini dia banyak berinteraksi dengan mahasiswa UGM. Sebelum itu Zuly bahkan sempat ikut PMII di Marakom Fakultas Ushuluddin IAIN Suka. Disini dia banyak berinteraksi dengan mahasiswa IAIN Suka.

Perkenalanku dengan Zuly dimulai pada 1992. Dia mahasiswa semester empat ketika aku menjadi dosen baru di FAI UMY. Pertemuan kami terjadi di ruang kuliah. Aku masih asisten mata kuliah Aliran Moderen Dalam Islam yang diampu Pak Mushlih Fathoni, M.A. Zuly salah satu pesertanya. Aku mengingat Zuly sebagai mahasiswa yang aktif dalam kelas. Sedangkan Zuly mengenang aku, “Sampean asisten yang masih culun, duduk anteng di kursi paling belakang, sambil mencatat.”

Tahun berikutnya aku menjadi Pembantu Dekan bidang kemahasiswaan ketika Zuly menjadi Ketua Senat Mahasiswa (Sema) FAI. Maka kami makin sering berinteraksi. Pada suatu waktu aku mendampingi mereka bertanding olahraga di Kalimanah-Purbalingga. Pada kesempatan lain kami menghadiri pernikahan alumni di Mertisinga-Cilacap.

Mahasiswa FAI memiliki latar belakang beragam. Mereka juga bebas berafiliasi ke organisasi manapun. Itu membuat dunia kemahasiswaan di UMY sangat dinamus. Lembaga intra berupa HMJ, Sema, dan BPM menjadi ajang kontestasi antar aktivis dengan beragam afiliasi itu. Apalagi banyak dosen UMY juga mantan aktivis. Mereka menjadi patron yunior mereka mahasiswa UMY, secara terbuka maupun di belakang layar.

Pada satu waktu Sema FAI dibekukan Pimpinan FAI. Ada banyak cerita terkait ini. Tentu teman-teman pengurus Sema tidak terima. Maka Zuly dan pengurus lainnya menyidang PD-3 Si Dosen Yunior yang adalah aku si penulis ini. Aku tenang menghadapi teman-teman yang galak ini. Aku kan sebelumnya juga aktivis yang tidak kalah galak ketika menghadapi birokrat kampus. Kami akhirnya saling menghormati posisi dan tanggung jawab masing-masing.

Pada 1996 studi Zuly di FAI UMY selesai. Dia lalu bertarung dengan realitas kehidupan yang sebenarnya di luar kampus. Meski jarang bertemu fisik aku sering jumpa dia di dunia ide. Dia penulis produktif. Menulis juga menjadi mekanisme survivalnya. Tulisan-tulisannya mengalir deras di berbagai media. Lokal maupun nasional. Pada 1996 dia bekerja di Interfidei, lembaga lintas iman-agama. Dia mempertajam kemampuan menulis pada Th Sumartana dan Daniel Dhakidae. Zuly juga jadi banyak berinteraksi dengan orang Kristen. Dia sering keluar masuk gereja. Dia pun mulai memiliki panggilan baru Romo Zuly Qodir. Pada 1998 dia kuliah S2 di Prodi Ekonomi Islam UII yang sedang booming. Alasannya sederhana saja. “Kalau di Sosiologi saya tidak bisa kaya. Sejak S-1 miskin terus. Tetapi setelah lulus saya pikir tidak cocok menjadi pegawai bank. Cuma ngitung duit orang.”

Maka pada 2002 Zuly tidak mengambil kesempatan bekerja di Bank Muamalat. Dia kembali ke kampus dengan menjadi mahasiswa S3 Sosiologi UGM. Disertasinya dibimbing Prof Sunyoto Usman, Prof nasikun, dan Prof Amien Abdullah dengan topik Gerakan Islam Liberal di Indonesia. Ini nampaknya menyebabkan orang menstigma Zuly sebagai anggota Islam Liberal.

Pada 2002 ini memang berdiri JIL dan 2003 berdiri JIMM. Zuly meneliti Islam Liberal merunut sejak zaman Mukti Ali. Salah satu lembaga tertarik dengan penelitian Zuly yang merupakan satu-satunya tentang gerakan Islam Liberal di Indonesia. Riset Zuly lalu didanai untuk masa dua tahun. Selesai S-3 Zuly bekerja di Pusat Studi Perdamaian dan Keamanan UGM. Dia juga mengajar di Magister Studi Konflik dan Perdamaian Sekolah Pascasarjana UGM. Bahkan menjadi Sekrpodinya pada 2006-2009.

Dan sang waktu pun berlalu. Nasib baik mempertemukan kami kembali di UMY. Pada 2010 sebagai doktor sosiologi Zuly mendaftar menjadi dosen di FAI UMY. Menurut Zuly dia didorong Dekan FAI saat itu Buya Yunahar Ilyas. Tetapi selama dua tahun surat lamarannya tidak berbalas. Dalam pada itu dia diminta Pak Nurmandi Dekan Fisipol UMY dan Pak Haedar Sekretaris Umum PP Muhammadiyah untuk bergabung di Fisipol UMY. Lucunya satu minggu kemudian Zuly mendapat surat dari FAI UMY. Ditandatangani Pak Marsudi Iman dekan pengganti Yunahar Ilyas. Isinya ucapan terima kasih karena sebagai alumni Zuly sudah melamar menjadi dosen di FAI UMY. Namun karena tidak ada formasi maka Zuly dinyatakan tidak diterima. Mengetahui hal ini aku berkomentar, “Awakmu memang lebih tepat menjadi dosen ilmu poltik daripada dosen Agama Islam.”

Maka aku dan Zuly kembali sering berinteraksi. Kami kini sesama dosen homebase di Pascasarjana. Di struktural sebagai Wakil Direktur Pascasarjana dia atasanku. Aku kan hanya Kaprodi. Tetapi kami sering bertemu di lapangan. Bersama Bang Nurmandi kami anggota Tim Sepakbola Dosen-karyawan UMY. Bang Nurmandi sering menjadi pengatur serangan. Kadang lancar dan kadang tersendat di kakinya sendiri. Aku dan Zuly sesama striker. Ketika satu tim kami menjadi striker kembar dengan gaya permainan berbeda. Aku mencetak gol lebih karena lihai mencari posisi. Sedangkan Zuly petarung yang berani beradu fisik. Gaya bermainnya meniru Eric Cantona. Kalau dinakali lawan langsung dibalas. Tentang aku Zuly berkomentar, “Sampean kalau sudah dapat bola, dimakan sendiri. Tidak mau berbagi sesama striker.” Ketika bola sudah di kaki fokusku memang hanya gawang lawan.

Kampus Teradu UMY, Sabtu 27 April 2024. Ini hari bahagia. Pagi harinya Zuly Qodir dikukuhkan menjadi Guru Besar UMY. Undangan hadir dari banyak kalangan. Bakda zuhur dilanjut acara syukuran. Suasananya sangat meriah. Beberapa orang tampil meyampaikan testinomi: inisiator acara, teman main bola, teman sesama dosen, dan teman sesama Guru Besar. Tidak lupa Sri Roviana sang istri tercinta yang juga membongkar rahasia. Maka banyak fakta di belakang layar tentang Zuly Qodir terungkap. Bahwa sejak kecil dia memang pekerja keras dan petarung dalam menuntut ilmu. Bangun dinihari, shalat malam, membaca, dan menulis menjadi kebiasaannya. Sedangkan mengepel rumah menjadi hobinya. Sebagai sahabat aku sungguh bangga dan bahagia. Selamat Prof Zuly Qodir. Teruslah bertarung menebar manfaat untuk sesama. Di manapun berada dan apapun strata Anda.

Tamantirto, 12 Mei 2024
Mahli Zainuddin Tago

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *