Nafas Yang Tersengal

Foto ilustrasi Yogya Pos

Catatan D. Supriyanto Jagad N *)

Indonesia adalah negeri luhur yang memiliki keanekaragaman budaya. Kebanggaan kita terhadap Indonesia, harusnya lebih mengemuka, dan nasionalisme tertanam dalam hati. Tantangan yang timbul dan akan dihadapi bangsa Indonesia pun semakin nyata tampak di depan mata kita, sebagai dampak globalisasi dan seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat.

Dalam konstruk Indonesia, keanekaragaman tersebut sinergis dengan kebhinekaan dalam Pancasila. Kebhinekaan ini yang menjadi bagian dari Pancasila seharusnya memuat logos [kemampuan berfikir] patos [semangat hidup] dan etos [budi pekerti luhur]. Fakta menunjukkan, tiga hal yang semestinya padu tersebut, berjalan sendiri-sendiri, bahkan sebagian diantaranya nyaris tidak terlihat, terutama soal budi pekerti itu, Sungguh miris.

Memandang Indonesia dari kacamata budaya, seperti melihat kedua orang tua kita. Konsep orang tua yang saya maksud, terbagi pada dua kategori. Pertama, orang tua secara genetik. Kedua orang tua geografis. Sebagfaian orang tua lupa atau bahkan tidak mengajarkan budaya pada anaknya, sehingga budaya kita bagai nafas yang tersengal.

Perubahan budaya masyarakat terjadi karena banyak hal. Diantaranya kurangnya kesadaran masyarakat dimana budaya yang berlaku sebenarnya sebagai identitas yang harus terpelihara dengan lestari. Disamping itu, pola hidup yang tidak terkendali dan tanpa disadari mengikis jati diri. Bahkan, kemajuan teknologi ikut memancing pergeseran budaya, pengaruh asing dan erosi jati diri dalam berbudaya semakin memperkeruh runtuhnya kerajaan budaya.

Indonesia berada pada posisi silang percaturan era poleksosbud hankam dunia yang sangat rentan pengaruh. Zamrud katulistiwa berada pada garis geografis yang mempengaruhi karakter berbangsa. Di bagian utara terdapat China, India dan Pakistan. Sedangkan di bagian selatan terdapat Australia. Sementara, rancang bangun negara harus sinergis dengan gerak global negara-negara tersebut.

Tetapi posisi negara yang strategis ini tidak memanfaatkannya sebagai geografis yang menunjang pembangunan di dalam negeri. Sebaliknya, kandungan alam, iklim dan karakter budaya dalam negeri justru diwarnai dari yang seharusnya mewarnai. Begitu dominannya warna yang masuk ke jagad ini, pada akhirnya warna bangsa yang sebenar-benarnya hari ini tidak terlihat dengan sempurna. Penghuni zamrud ini telah meninggalkan budaya leluhurnya.

Faktor geografi juga muncul sebagai sisi lain dari konsep pembangunan manusia Indonesia. Begitu dahsyatnya proses akulturasi terhadap budaya tradisi, sehingga nilai-nilai luhur tergerus arus globalisasi. Masihkah hal yang seperti itu terus dibiarkan? Semua berpulang kepada hati nurani kita sebagai bagian dari bangsa ini. Patut kita merenungi dan menyadari bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menjunjung tinggi budayanya sendiri. Dari esensi budaya adalah pertanggung jawaban dalam kehidupan itu sendiri.

Oleh karena itu,  untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan kemauan yang sangat tulus untuk bangsa Indonesia, untuk melangkah menuju pola hubungan sosial antar individu untuk mau menerima kenyataan untuk mau hdup berdampingan secara damai satu sama lain dengan perbedaan-perbedaan yang melekat pada setiap wujud sosial, kerukunan hidup yang merupakan tujuan utama bangsa juga kerukunan sosial, kerukunan antara masyarakat dengan pemerintah. Jika hal ini dipadu dan sinergis, konstruksi kebangsaan kita akan lebih kokoh kembali.

Mari bangga menjadi Indonesia

*) Pekerja budaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *