Mengapa Mesti Menolak Pendidikan Otoriter?

Syahril Syam

Oleh: Syahril Syam *)

Paulo Freire (1921–1997), pendidik dan filsuf Brasil, menolak apa yang ia sebut sebagai pendidikan otoriter, yaitu model pendidikan yang berjalan satu arah, kaku, dan penuh tekanan. Dalam sistem ini, guru ditempatkan sebagai otoritas mutlak – seolah hanya guru yang tahu segalanya, sementara murid dianggap tidak tahu apa-apa. Murid tidak dipandang sebagai individu yang punya pengalaman, pikiran, dan potensi, melainkan sekadar wadah kosong yang harus diisi. Karena itu, tugas murid hanyalah patuh, diam, menghafal, dan menerima semua yang diberikan guru tanpa berhak bertanya, apalagi mengkritik.

Freire melihat pola ini bukan sekadar metode pengajaran, melainkan bentuk penindasan halus. Tujuan tersembunyinya adalah mencetak murid yang penurut, bukan murid yang berpikir kritis. Ciri-cirinya bisa dilihat dari suasana kelas: guru selalu dianggap benar, murid tidak boleh mempertanyakan. Pembelajaran hanya berfokus pada hafalan dan nilai ujian, bukan pada pemahaman dan keberanian berpikir.

Akibatnya, ruang untuk dialog, diskusi, dan kreativitas hampir tidak ada. Murid belajar dalam rasa takut – takut salah, takut dihukum, takut mendapatkan nilai jelek. Dengan kata lain, pendidikan otoriter membuat sekolah lebih mirip tempat “mengendalikan” anak daripada ruang untuk membebaskan pikiran.

Lantas mengapa mesti menolak pendidikan otoriter? Alasan utama menolak pendidikan otoriter adalah karena pendekatan ini tidak hanya menekan kebebasan berpikir, tetapi juga merusak kesehatan psikologis dan biologis murid. Dalam kelas yang otoriter, murid hidup dalam bayang-bayang ketakutan: takut salah, takut nilai jelek, dan takut dimarahi guru.

Kondisi ini menciptakan stres kronis yang membuat tubuh terus-menerus memproduksi hormon kortisol. Penelitian McEwen dan Morrison (2013) menunjukkan bahwa kadar kortisol tinggi dalam jangka panjang dapat merusak prefrontal cortex, yaitu bagian otak yang berfungsi untuk berpikir kritis, mengambil keputusan, dan merencanakan masa depan. Dengan kata lain, pendidikan otoriter justru melemahkan bagian otak yang seharusnya dipakai untuk belajar dan mengembangkan potensi berpikir kritis.

Sebaliknya, neurosains pendidikan membuktikan bahwa otak belajar lebih baik ketika murid merasa aman, didukung, dan dihargai. Dalam kondisi ini, otak melepaskan dopamin dan oksitosin. Dopamin berperan meningkatkan motivasi, semangat, dan rasa ingin tahu, sedangkan oksitosin memperkuat rasa percaya diri dan keterikatan sosial.

Lingkungan belajar yang hangat, dialogis, dan penuh dukungan akan menumbuhkan kedua zat ini, sehingga murid lebih mudah memahami pelajaran sekaligus berani bereksplorasi. Sebaliknya, suasana kelas otoriter yang penuh ancaman dan hukuman justru menghambat pelepasan dopamin dan oksitosin, yang pada akhirnya membunuh rasa ingin tahu alami murid.

Penolakan terhadap pendidikan otoriter tidak hanya relevan di sekolah, tetapi juga penting diterapkan di rumah dalam cara orang tua mendidik anak. Penelitian menunjukkan bahwa pola asuh otoriter – yang keras, menuntut kepatuhan mutlak, dan minim ruang dialog – dapat menghambat perkembangan otak dan emosi anak. Misalnya, penelitian Zhang et al. (2021) dalam jurnal Mind, Brain, and Education menggunakan teknologi EEG untuk mempelajari anak usia 8–11 tahun.

Hasilnya, semakin otoriter gaya asuh orang tua, semakin rendah kemampuan anak dalam executive control, yaitu kemampuan mengatur perhatian, mengendalikan impuls, dan merencanakan tindakan. Lebih jauh lagi, gaya asuh otoriter berhubungan negatif dengan frekuensi puncak alfa individual (iAPF) di otak, yang terkait dengan tingkat kesiagaan mental. Artinya, anak dari keluarga otoriter cenderung memiliki kesiapan mental dan kontrol diri yang lebih lemah.

Hal ini sejalan dengan temuan Blair dan Raver (2012) dalam Annual Review of Psychology. Mereka menemukan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh stres – baik karena pola asuh keras di rumah maupun suasana belajar yang penuh ancaman – menunjukkan fungsi eksekutif yang lebih lemah.

Padahal, fungsi eksekutif ini adalah inti dari kemampuan belajar: mengendalikan diri, fokus, dan berpikir kritis. Dampak gaya otoriter juga terlihat dalam hubungan sosial anak. Studi Li, Li, dan Zhu (2024) di China pada anak usia 3–6 tahun menunjukkan bahwa pola asuh otoriter menghambat kemampuan anak untuk berinteraksi dengan teman sebaya. Anak-anak tersebut cenderung lebih sulit membangun hubungan sosial yang sehat dan hangat.

Dari sisi emosional, penelitian Romero-Acosta et al. (2021) menemukan bahwa anak-anak yang menilai orang tuanya otoriter atau bahkan abai (neglectful) memiliki tingkat depresi lebih tinggi dibanding anak-anak dengan orang tua yang otoritatif (tegas tapi penuh kasih sayang). Pola ini cukup konsisten dalam berbagai studi: gaya asuh negatif berhubungan erat dengan risiko depresi dan masalah emosi pada anak.

Dengan demikian, baik di sekolah maupun di rumah, gaya otoriter terbukti merugikan perkembangan otak, emosi, dan sosial anak. Sebaliknya, pola asuh yang dialogis, suportif, dan penuh kasih sayang justru memperkuat fungsi eksekutif, meningkatkan kesiapan mental, dan membantu anak tumbuh sebagai individu yang percaya diri, sehat secara emosi, serta mampu menjalin hubungan positif dengan lingkungannya.

@pakarpemberdayaandiri

banner 400x130

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *