Oleh: Freesca Syafitri – Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik/Dosen FEB UPNVJ/Wakil Direktur German Centre UPNVJ
Indonesia Tanpa Kuota: Visi Berani atau Risiko Tersembunyi?
Penghapusan kuota impor yang diumumkan oleh Presiden Prabowo mencerminkan paradigma baru dalam pengelolaan ekonomi nasional—yakni kepercayaan penuh pada mekanisme pasar bebas tanpa instrumen proteksi kuota. Ini adalah lonceng perubahan yang mengindikasikan bahwa pemerintah tidak lagi ingin menjaga produsen lokal melalui pagar kebijakan, melainkan mendorong mereka bertumbuh melalui daya saing sejati. Dalam teori ekonomi liberal, langkah ini dianggap mampu meningkatkan efisiensi pasar dan menurunkan harga, tetapi dalam praktiknya, hal ini harus ditopang oleh kesiapan struktural agar tidak menjadi bumerang.
Kebijakan ini bukan hanya refleksi dari keberanian politik, tetapi juga ujian atas kesiapan fondasi ekonomi nasional. Tanpa dukungan dalam bentuk penguatan teknologi industri, peningkatan daya saing tenaga kerja, serta perbaikan iklim usaha, pasar bebas bisa menjadi jebakan alih-alih peluang. Secara historis, negara-negara yang terlalu cepat membuka diri tanpa proteksi cerdas sering mengalami deindustrialisasi dini. Jika Indonesia tidak membangun daya saing sistemik dari hulu ke hilir, maka kebijakan ini bisa menjadi bencana ekonomi terselubung.
Secara teoritis, penghapusan kuota akan meningkatkan efisiensi pasar melalui kompetisi yang lebih terbuka. Konsumen diuntungkan karena mendapatkan akses terhadap produk yang lebih variatif dan lebih murah. Namun di sisi lain, pelaku usaha domestik akan menghadapi tantangan besar karena harus bersaing langsung dengan produk-produk asing yang umumnya diproduksi dalam ekosistem industri yang lebih matang dan efisien.
Negara-negara seperti India, Brasil, dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa liberalisasi pasar tanpa reformasi struktural cenderung menyebabkan deindustrialisasi dini. Ketika negara membuka pasarnya secara cepat tanpa dukungan terhadap sektor manufaktur, riset teknologi, dan pendidikan vokasi, maka produk lokal akan terpinggirkan, investasi domestik menurun, dan perekonomian tergantung pada konsumsi berbasis impor. Jika Indonesia tidak mempersiapkan strategi industri jangka panjang, maka kebijakan ini dapat berbalik menjadi bumerang ekonomi.
Gempuran Produk Asing: Siapa Siap, Siapa Tersingkir?
Ketiadaan kuota impor berarti bahwa pelaku industri lokal kini berada dalam arena terbuka, menghadapi pemain global dengan sumber daya yang jauh lebih besar. Produk dari Tiongkok, India, Eropa Timur, bahkan Vietnam, dapat masuk dengan harga yang lebih rendah namun kualitas kompetitif. Ketika konsumen mengejar harga terbaik, produsen lokal yang memiliki struktur biaya tinggi dan kapasitas produksi terbatas berisiko kehilangan pangsa pasar.
Dalam konteks ini, UKM menjadi pihak yang paling rapuh. Mereka tidak hanya berhadapan dengan persoalan klasik seperti akses pembiayaan dan teknologi, tetapi juga tekanan harga dari pemain asing yang bisa melakukan dumping. Dalam kondisi ekstrem, ini bisa menyebabkan gelombang PHK, matinya rantai produksi lokal, serta bertambahnya dominasi perusahaan multinasional.
Ancaman lain yang tak kalah serius adalah Indonesia menjadi pasar pelimpahan surplus global akibat perang dagang antarnegara besar seperti AS dan Tiongkok. Ketika produk mereka ditolak pasar utama karena tarif tinggi, produk tersebut akan dibuang ke negara berkembang seperti Indonesia. Situasi ini berpotensi menjadikan Indonesia sebagai “keranjang limbah produk dunia”, yang pada akhirnya memperburuk defisit neraca perdagangan dan menggerus daya saing industri nasional.
Strategi Bertahan: Kolaborasi, Inovasi, dan Digitalisasi
Dalam menghadapi tantangan tanpa kuota, pelaku usaha Indonesia tidak boleh mengadopsi strategi defensif semata. Yang dibutuhkan adalah transformasi radikal menuju model bisnis berbasis inovasi. Sektor swasta perlu mengembangkan keunggulan kompetitif yang tidak hanya berbasis harga, tetapi nilai tambah, kualitas, dan cerita di balik produk (brand storytelling).
UKM harus membangun ekosistem kolaboratif. Kolaborasi dengan startup teknologi, lembaga riset, universitas, hingga mitra distribusi internasional harus diperluas. Digitalisasi menjadi alat paling strategis: dengan e-commerce, pelaku usaha kecil bisa langsung menjangkau konsumen global tanpa harus membangun infrastruktur fisik yang mahal. Teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan blockchain juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi produksi dan transparansi rantai pasok.
Selain itu, Indonesia harus mengincar posisi strategis dalam rantai pasok global yang kini mulai bergeser akibat ketegangan geopolitik. Negara-negara seperti Vietnam dan Meksiko berhasil merebut peluang ini melalui reformasi kebijakan industri dan insentif investasi. Indonesia pun bisa menjadi pusat manufaktur alternatif jika mampu menawarkan stabilitas, tenaga kerja terampil, dan regulasi yang mendukung inovasi.
Jalan Tengah Pemerintah: Bebas Tapi Tetap Dilindungi
Pemerintah harus memainkan peran ganda: sebagai fasilitator pasar bebas, sekaligus pelindung industri lokal. Ini bukan berarti kembali ke proteksi mutlak, tetapi proteksi adaptif—fleksibel terhadap dinamika pasar global dan berbasis data sektoral.
Langkah konkret dapat mencakup tarif safeguard sementara untuk industri strategis, penguatan Badan Standardisasi Nasional agar produk luar tidak masuk tanpa kendali mutu, dan pemberian insentif pajak bagi perusahaan lokal yang berorientasi ekspor atau berinvestasi dalam teknologi. Skema pendanaan seperti kredit berbunga rendah untuk UKM, dana inovasi nasional, dan inkubator industri juga penting untuk menciptakan pemain lokal yang kompetitif secara global.
Secara geopolitik, pemerintah juga harus menyusun strategi untuk mengurangi ketergantungan ekspor pada negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok. Diversifikasi pasar, seperti menjajaki peluang di Afrika, Asia Tengah, dan Amerika Latin, adalah keharusan. Dalam konteks perang dagang global, negara yang mampu memposisikan diri sebagai mitra n etral dan fleksibel akan mendapat manfaat besar sebagai “jembatan dagang” antarblok ekonomi dunia.