Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Usulan pembentukan Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK) yang digagas oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dan mendapat respons positif dari Presiden terpilih Prabowo Subianto, patut diapresiasi sebagai bentuk kepedulian terhadap potensi gelombang PHK di masa mendatang.
Ancaman dampak kebijakan tarif negara lain, seperti yang disebutkan terkait AS, memang perlu diantisipasi secara serius.
Namun, gagasan untuk membentuk sebuah “Satgas” baru perlu dikaji ulang secara mendalam, terutama dari perspektif efisiensi anggaran negara (APBN) dan efektivitas kelembagaan.
Kekhawatiran utama adalah potensi duplikasi fungsi dan penambahan beban belanja negara yang sebenarnya bisa dihindari.
Pertama, urusan ketenagakerjaan, termasuk pencegahan dan penanganan PHK, pada dasarnya sudah menjadi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) utama Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) beserta jajarannya hingga ke tingkat daerah (Dinas Tenaga Kerja).
Kemnaker memiliki Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang secara spesifik menangani isu hubungan industrial, termasuk perselisihan yang dapat berujung pada PHK.
Mekanisme seperti mediasi, konsiliasi, arbitrase, hingga penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial sudah tersedia dalam kerangka hukum dan kelembagaan yang ada.
Kedua, pernyataan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli sendiri mengindikasikan bahwa Kemnaker sebenarnya telah melakukan langkah-langkah antisipatif.
Pemetaan sektor industri, potensi penciptaan lapangan kerja (job creation), hingga analisis kebutuhan tenaga kerja (termasuk untuk program Makan Bergizi Gratis) disebut sudah berjalan.
Ini menunjukkan bahwa Kemnaker, dalam kapasitasnya saat ini, sudah memiliki instrumen dan sedang menjalankan fungsi analisis serta perencanaan untuk menghadapi dinamika ketenagakerjaan, termasuk potensi PHK.
Jika fondasi dan komponennya sudah disiapkan Kemnaker, mengapa perlu membentuk entitas Satgas baru yang terpisah?
Ketiga, pembentukan Satgas baru, apalagi jika disertai dengan pembentukan “posko fisik” seperti yang seringkali tersirat dalam konsep satgas, berpotensi besar menambah pos belanja baru dalam APBN.
Ini mencakup biaya operasional, infrastruktur (jika membangun posko baru), sumber daya manusia tambahan, dan koordinasi yang mungkin justru menambah kerumitan birokrasi.
Di tengah berbagai kebutuhan pembangunan dan program prioritas lainnya, penambahan beban anggaran untuk fungsi yang seharusnya bisa dioptimalkan oleh kementerian teknis yang ada terasa kurang bijaksana.
Keempat, koordinasi lintas sektor memang penting, namun tidak harus selalu diwujudkan dalam bentuk Satgas baru.
Usulan keanggotaan Satgas yang melibatkan APINDO, KADIN, Kemnaker, Kemenko, dan Serikat Buruh sejatinya bisa diakomodasi melalui forum-forum koordinasi yang sudah ada atau revitalisasi Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional dan Daerah.
Penguatan mekanisme koordinasi yang existing akan lebih efisien daripada membentuk struktur baru.
Satgas PHK Tidak Diperlukan Bila Kinerja Kemenaker Memadai
Jika Kemnaker telah mampu menjalankan seluruh fungsi ini secara optimal dan responsif, maka pembentukan Satgas PHK baru menjadi tidak relevan dan berpotensi tumpang tindih.
Satgas tersebut hanya akan menjadi duplikasi dari struktur dan fungsi yang seharusnya sudah melekat pada Kemnaker dan jajarannya di daerah (Disnaker).
Usulan pembentukan Satgas, alih-alih dilihat sebagai solusi pamungkas, mungkin lebih tepat dipandang sebagai sinyal atau bahkan kritik tersirat bahwa kinerja Kemnaker dalam mengantisipasi dan menangani isu PHK masih perlu ditingkatkan secara signifikan.
Oleh karena itu, fokus seharusnya diarahkan pada evaluasi mendalam dan penguatan kapasitas internal Kemnaker.
Memberikan dukungan sumber daya yang cukup, meningkatkan kualitas SDM, memperbaiki sistem kerja dan koordinasi, serta memastikan Kemnaker benar-benar menjalankan mandatnya secara penuh akan jauh lebih efektif dan efisien dalam jangka panjang dibandingkan membentuk sebuah satgas ad-hoc yang mungkin hanya bersifat sementara dan menambah kerumitan birokrasi serta beban anggaran.
Singkatnya, jika Kemnaker bekerja sesuai ekspektasi dan mandatnya, ia adalah “satgas” permanen yang sesungguhnya dibutuhkan negara untuk menjaga stabilitas hubungan industrial dan melindungi tenaga kerja Indonesia.
Merespons potensi ancaman PHK adalah sebuah keharusan. Namun, solusinya tidak harus selalu dengan membentuk lembaga atau satgas baru yang berimplikasi pada penambahan beban APBN.
END