Oleh Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Janji Pekerja Kembali dalam Dua Minggu: Solusi atau Hanya Retorika?
Pernyataan resmi dari Istana terkait rencana penyelamatan buruh PT Sritex menimbulkan harapan besar bagi ribuan pekerja yang terkena PHK.
Dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyampaikan bahwa dalam dua minggu ke depan, pekerja yang terdampak PHK akan dapat kembali bekerja melalui skema penyewaan aset kepada investor.
Ini tentu menjadi kabar baik, tetapi pertanyaannya: apakah ini benar-benar bisa terwujud, atau sekadar janji politik yang tak memiliki fondasi kuat?
Faktanya, janji pemerintah untuk menyelamatkan Sritex dalam beberapa bulan terakhir tidak dipenuhi, bahkan situasi semakin memburuk dengan keputusan PHK yang tetap diberlakukan oleh kurator.
Alasan utama di balik keputusan ini adalah keengganan kurator untuk menanggung beban pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) bagi para pekerja yang masih bertahan.
Wamenaker Noel menjanjikan Sritex akan diselamatkan saat berkunjung ke Sritex pada Januari lalu, ternyata sudah tidak tepat saat kurator memutuskan PHK 2 haru sebelum puasa Ramadhan.
Ini semakin menunjukkan bahwa skema penyelamatan yang dijanjikan sebelumnya tidak memiliki perencanaan matang dan hanya menjadi janji kosong yang gagal diwujudkan dalam realitas.
Ada beberapa faktor yang perlu dikritisi dalam janji tersebut.
Pertama, belum ada kepastian siapa investor yang akan menyewa aset Sritex, padahal kurator hanya memiliki waktu dua minggu untuk memutuskan.
Kedua, tidak dijelaskan bagaimana proses rekrutmen ulang para pekerja akan dilakukan serta dalam kondisi apa mereka akan dipekerjakan kembali.
Jika hanya sekadar janji tanpa dasar yang jelas, maka ini berisiko menjadi retorika belaka tanpa hasil konkret.
Bagaimana 8.000 Buruh Bisa Lolos dari PHK dan Kembali Bekerja?
Untuk memastikan para buruh benar-benar bisa kembali bekerja, ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh kurator dan pemerintah.
Pertama, proses penyewaan aset harus dilakukan dengan transparan dan segera mendapatkan investor yang serius untuk mengelola aset tersebut.
Kedua, harus ada jaminan bahwa investor baru benar-benar akan melanjutkan operasi produksi dengan model bisnis yang berkelanjutan, bukan sekadar memanfaatkan aset untuk kepentingan sementara.
Selain itu, kurator harus memiliki skema restrukturisasi bisnis yang matang. Jika Sritex kembali beroperasi, bagaimana kepastian soal bahan baku, distribusi, dan pasar? Apakah ada kepastian bahwa perusahaan akan kembali menguntungkan? Jika tidak, maka karyawan yang kembali bekerja pun akan berisiko mengalami PHK kembali dalam waktu singkat.
Skema Penyewaan Aset: Solusi Realistis atau Setengah Hati?
Salah satu langkah yang ditempuh kurator adalah menyewakan alat-alat dan aset Sritex kepada investor, dengan harapan produksi bisa berjalan kembali.
Namun, hingga saat ini belum ada investor yang menunjukkan ketertarikan konkret terhadap skema ini. Hal ini menunjukkan bahwa ada persoalan mendasar yang belum terpecahkan: apakah operasional Sritex masih menarik secara bisnis?
Jika aset hanya disewakan, maka pertanyaan berikutnya adalah: bagaimana dengan biaya operasional, termasuk pembayaran gaji 8.000 pekerja? Apakah investor hanya menyewa alat, atau juga bersedia mengambil alih seluruh proses produksi? Jika investor hanya menyewa aset tanpa memiliki kewajiban untuk membayar gaji pekerja, maka bisa jadi ujung-ujungnya pemerintah tetap harus turun tangan dengan memberikan suntikan dana, entah dalam bentuk pinjaman lunak atau subsidi tertentu.
Solusi penyewaan ini terlihat lebih seperti jalan pintas daripada solusi jangka panjang. Jika Sritex memang ingin dipulihkan, maka perlu ada skema investasi yang lebih jelas, bukan sekadar berharap pada investor yang mungkin tidak memiliki komitmen jangka panjang.
Jika Janji Dua Minggu Gagal, Apa Dampaknya bagi Pemerintah?
Jika dalam dua minggu ke depan pemerintah gagal merealisasikan janji untuk mengembalikan 8.000 pekerja ke Sritex, maka konsekuensinya bisa sangat buruk bagi pemerintahan Prabowo.
Kredibilitas pemerintah akan dipertanyakan, terutama terkait dengan janji-janji perlindungan tenaga kerja. Para buruh yang sudah menaruh harapan tinggi bisa merasa dikhianati, yang berpotensi memicu gelombang protes dan ketidakpuasan di kalangan pekerja.
Dampak lebih luasnya, ini bisa menjadi pukulan bagi citra pemerintah dalam mengelola krisis industri.
Jika pemerintah tidak mampu menyelesaikan persoalan Sritex, maka kepercayaan dunia usaha dan pekerja terhadap komitmen pemerintah dalam melindungi tenaga kerja akan merosot. Dalam jangka panjang, ini bisa menjadi preseden buruk bagi penanganan perusahaan lain yang mengalami krisis serupa.
Solusi Jangka Panjang: Jangan Sekadar Pemadam Kebakaran
Kasus Sritex seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk merancang strategi jangka panjang dalam menangani krisis industri dan perlindungan tenaga kerja. Sekadar mencari investor untuk menyewa aset bukanlah solusi yang berkelanjutan. Pemerintah perlu mempertimbangkan beberapa langkah strategis, seperti:
Pertama, Restrukturisasi Utang dan Model Bisnis Jika Sritex ingin bertahan dalam jangka panjang, maka perlu ada restrukturisasi menyeluruh terhadap utang dan model bisnis perusahaan. Pemerintah bisa memfasilitasi dialog antara kreditur, manajemen baru, dan pekerja untuk mencari solusi terbaik.
Kedua, Dukungan Finansial yang Tepat Sasaran Jika pemerintah harus mengintervensi, maka bentuknya harus jelas dan transparan. Apakah dalam bentuk pinjaman berbunga rendah, penyertaan modal, atau dukungan lain? Langkah ini harus dihitung dengan cermat agar tidak membebani APBN tanpa hasil konkret.
Ketiga, Penyelarasan dengan Industri Tekstil Nasional Krisis Sritex juga seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan industri tekstil nasional. Jika industri tekstil dalam negeri terus tertekan oleh impor murah dan lemahnya daya saing, maka kasus serupa bisa terjadi lagi di masa depan.
Keempat, Perlindungan Pekerja yang Lebih Kuat Selain upaya penyelamatan perusahaan, pemerintah juga harus memastikan sistem perlindungan pekerja lebih kuat, termasuk akses yang lebih mudah terhadap Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dan program pelatihan ulang bagi pekerja yang terdampak PHK.
Apresiasi Langkah Pemerintah, tapi Mohon Jangan Setengah Hati
Upaya pemerintah dalam menangani kasus kepailitan Sritex patut diapresiasi, terutama dalam hal kepedulian terhadap nasib pekerja. Namun, solusi yang ditawarkan sejauh ini masih bersifat jangka pendek dan belum memiliki kepastian konkret.
Jika dalam dua minggu janji ini gagal direalisasikan, maka akan menjadi pukulan telak bagi pemerintahan Prabowo dan menimbulkan krisis kepercayaan.
Oleh karena itu, pemerintah harus bergerak cepat, tidak hanya dalam mencari investor yang mau menyewa aset, tetapi juga dalam merancang solusi jangka panjang yang benar-benar dapat menyelamatkan industri dan tenaga kerja di dalamnya.
Jika tidak, janji manis ini hanya akan menjadi angin lalu yang memperburuk situasi ketimbang menyelesaikannya.
END