Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025 menegaskan pentingnya efisiensi dalam pengelolaan anggaran pemerintah, yang disambut positif oleh masyarakat sebagai langkah strategis untuk menghemat belanja negara.
Namun, di tengah kebijakan penghematan ini, tidak terdengar langkah serupa dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang justru mengalami peningkatan anggaran signifikan. Apakah ini mencerminkan fenomena “negara dalam negara” di mana lembaga independen tidak mengikuti prinsip efisiensi yang sedang diharapkan publik nasional?
Ketidakseimbangan Antara Efisiensi Pemerintah dan Otoritas Keuangan
Dalam beberapa tahun terakhir, seruan untuk efisiensi di tubuh pemerintahan semakin nyaring terdengar.
Presiden telah menginstruksikan pemangkasan anggaran yang tidak efisien untuk menekan belanja negara agar lebih produktif.
Namun, yang menjadi ironi adalah, ketika pemerintah melakukan berbagai upaya penghematan di sektor administrasi dan pelayanan publik, efisiensi yang sama tidak diterapkan di lembaga independen seperti BI dan OJK.
Kedua institusi ini memiliki peran signifikan dalam perekonomian nasional, terutama dalam mempengaruhi kondisi kelas menengah melalui kebijakan moneter dan pengawasan sektor keuangan, tetapi tren pertumbuhan anggarannya menunjukkan peningkatan yang mencolok.
Pertumbuhan Anggaran BI dan OJK yang Tidak Sejalan dengan Kondisi Ekonomi
Data menunjukkan bahwa anggaran operasional BI dan OJK mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Pada tahun 2022, anggaran operasional BI mencapai Rp28,42 triliun. Angka ini meningkat menjadi Rp29,75 triliun pada tahun 2024, dan direncanakan mencapai Rp31,49 triliun pada tahun 2025, dengan rata-rata pertumbuhan tahunan sebesar 5,26%.
OJK juga mengalami tren serupa dengan anggaran yang tercatat sebesar Rp6,30 triliun pada tahun 2022, naik menjadi Rp7,46 triliun pada tahun 2023, Rp8,03 triliun pada tahun 2024, dan melonjak drastis ke angka Rp11,56 triliun pada tahun 2025, dengan rata-rata pertumbuhan tahunan mencapai 23,34%.
Sementara itu, kondisi ekonomi masyarakat, khususnya kelas menengah, mengalami tekanan yang semakin berat. Penurunan daya beli menjadi indikator utama bagaimana tekanan ekonomi benar-benar dirasakan di lapisan masyarakat yang selama ini menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia menurun dari 57,33 juta orang pada tahun 2019 menjadi 47,85 juta orang pada tahun 2024, menunjukkan penurunan sebesar 9,48 juta orang dalam lima tahun terakhir.
Hal ini semakin diperparah dengan fenomena deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut hingga Oktober 2024, menandakan lesunya daya beli masyarakat. Deflasi berkelanjutan ini mengindikasikan penurunan permintaan barang dan jasa, yang berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Deflasi juga kembali terjadi pada Januari 2025, menambah kekhawatiran terhadap semakin lesunya daya beli masyarakat dan lambannya pemulihan ekonomi.
Ketimpangan Biaya Kredit dan Daya Saing Regional
Tingginya anggaran operasional BI dan OJK juga berbanding terbalik dengan kondisi perbankan nasional yang memberlakukan suku bunga tinggi kepada pelaku usaha.
Ketika di Malaysia dan Thailand, suku bunga pinjaman berada pada tingkat yang lebih rendah 2,5% dan 3.0%, di Indonesia pelaku usaha justru harus membayar lebih mahal (BI7DR 5,75%) untuk mendapatkan akses modal.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana kebijakan moneter yang diterapkan oleh BI benar-benar mendukung pertumbuhan sektor riil.
Suku bunga tinggi bukan hanya menjadi hambatan bagi dunia usaha, tetapi juga bagi masyarakat umum yang membutuhkan pinjaman untuk berbagai keperluan.
Ketika daya beli masyarakat terus menurun, biaya hidup terus meningkat, dan akses kredit semakin mahal, maka kelas menengah berada dalam kondisi yang sulit untuk berkembang. Kebijakan moneter yang tidak berpihak kepada mereka hanya akan memperparah ketimpangan ekonomi di Indonesia.
Urgensi Efisiensi dan Reformasi di BI dan OJK
Dengan hebohnya efisiensi pemerintah saat ini, desakan agar BI dan OJK meningkatkan efisiensi operasional menjadi sangat relevan.
Peningkatan anggaran yang signifikan seharusnya diiringi dengan upaya untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan memberikan manfaat maksimal bagi perekonomian dan masyarakat.
Apalagi, isu penyalahgunaan dana bantuan sosial (CSR) yang lebih banyak jatuh ke tangan elit politik dibandingkan masyarakat yang benar-benar membutuhkan semakin menambah urgensi tuntutan transparansi dalam penggunaan anggaran negara, termasuk oleh lembaga-lembaga independen seperti BI-CSR dan OJK.
Tanpa adanya transparansi dalam alokasi dan pemanfaatan anggaran, sulit bagi publik untuk mengetahui sejauh mana efektivitas belanja BI dan OJK dalam mendukung stabilitas ekonomi nasional. Oleh karena itu, ada beberapa langkah konkret yang harus diambil untuk memastikan efisiensi yang lebih baik di kedua institusi ini.
Langkah Menuju Efisiensi dan Akuntabilitas yang Lebih Baik
Optimalisasi sumber daya merupakan langkah pertama yang harus dilakukan oleh BI dan OJK.
Dengan kemajuan teknologi saat ini, otomatisasi sistem dan pemanfaatan kecerdasan buatan dapat menjadi solusi untuk memangkas anggaran yang tidak perlu, terutama di sektor operasional.
Banyak proses pengawasan dan pemantauan di sektor keuangan yang seharusnya bisa dilakukan secara digital, sehingga mengurangi kebutuhan akan birokrasi yang berbelit-belit dan mengurangi pengeluaran untuk biaya administratif yang tidak perlu.
Pengendalian biaya operasional juga menjadi hal yang mendesak untuk dilakukan.
Kenaikan anggaran yang terlalu besar harus dikaji ulang dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap kondisi perekonomian masyarakat. Evaluasi berkala terhadap anggaran yang diajukan harus dilakukan secara lebih ketat dengan memastikan bahwa setiap pengeluaran memang benar-benar diperlukan untuk mendukung fungsi utama lembaga, bukan hanya untuk memperbesar birokrasi yang tidak efisien.
Peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran juga sangat penting. Publik harus memiliki akses terhadap laporan penggunaan anggaran BI dan OJK secara lebih terbuka dan rinci. Dengan adanya transparansi yang lebih baik, masyarakat dapat lebih memahami bagaimana anggaran tersebut digunakan dan apakah benar-benar bermanfaat bagi perekonomian nasional.
Selain itu, penting untuk menetapkan indikator kinerja yang jelas dan terukur dalam menilai efektivitas program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh kedua institusi ini. Tanpa adanya tolok ukur yang konkret, sulit untuk memastikan apakah anggaran yang dialokasikan benar-benar digunakan secara efektif atau hanya menjadi beban bagi perekonomian negara.
Dampak Positif dari Efisiensi BI dan OJK
Jika langkah-langkah efisiensi di BI dan OJK diterapkan secara serius, dampak positifnya akan sangat besar bagi perekonomian Indonesia.
Salah satu manfaat utama adalah potensi penurunan suku bunga pinjaman yang akan mempermudah akses modal bagi pelaku usaha dan masyarakat umum.
Dengan beban bunga yang lebih rendah, dunia usaha dapat lebih berkembang dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja, yang pada akhirnya akan meningkatkan daya beli masyarakat.
Efisiensi juga akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap BI dan OJK.
Selama ini, persepsi masyarakat terhadap kedua institusi ini seringkali bersifat negatif karena anggapan bahwa mereka lebih banyak berorientasi pada kepentingan industri keuangan daripada kesejahteraan masyarakat luas.
Dengan menerapkan transparansi dan efisiensi yang lebih baik, citra kedua institusi ini dapat diperbaiki, dan kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan moneter dan regulasi keuangan dapat ditingkatkan.
Terakhir, efisiensi yang lebih baik akan memberikan kontribusi nyata dalam mendukung stabilitas ekonomi nasional.
Ketika BI dan OJK mampu menjalankan peran mereka dengan lebih efektif dan efisien, maka kebijakan yang dihasilkan akan lebih tepat sasaran dan benar-benar berdampak positif bagi masyarakat. Dengan demikian, kedua lembaga ini dapat berkontribusi lebih optimal dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
END