Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ
Subsidi LPG 3 kg adalah hak rakyat kecil, bukan belas kasihan negara.
Tetapi apa yang terjadi hari ini?
Bukannya memastikan subsidi ini tepat sasaran dengan cara yang tidak membebani rakyat, justru mereka yang paling lemah harus menanggung kerepotan.
Kenapa beban itu harus ditimpakan kepada rakyat kecil? Kenapa mereka yang harus bersusah payah untuk memastikan subsidi sampai kepada yang berhak?
Bukankah itu tugas para pembuat kebijakan, mereka yang duduk di atas sana dengan segala fasilitas dan kewenangan yang mereka miliki?
Sejak kapan urusan memastikan kebijakan berjalan dengan baik dibebankan kepada rakyat kecil? Ini kesalahan cara pandang yang fatal.
Seolah-olah mereka yang paling bawah harus bertanggung jawab atas ketidaktepatan distribusi subsidi, seolah merekalah biang keladi permasalahan ini.
Padahal masalah utama ada pada sistem yang dibuat oleh mereka yang berkuasa, yang selalu gagal memastikan kebijakan berjalan dengan baik tanpa membuat rakyat kecil makin menderita.
Kita lihat apa yang terjadi sekarang. Rakyat kecil dipaksa mengantre panjang, dipaksa mencari pangkalan resmi yang jaraknya lebih jauh dari rumah mereka, dipaksa menunggu lebih lama demi satu tabung gas yang seharusnya menjadi hak mereka tanpa ribet.
Semua ini dilakukan dengan alasan agar distribusi LPG 3 kg lebih tepat sasaran.
Tetapi apakah para pembuat kebijakan ini pernah merasakan bagaimana repotnya orang miskin hanya untuk mendapatkan sesuatu yang seharusnya mudah? Apakah mereka pernah merasakan berdiri di bawah terik matahari, membawa tabung kosong, hanya untuk bisa memasak?
Dulu, mereka bisa membeli LPG di warung-warung dekat rumah.
Warung-warung kecil itu menjadi penyelamat bagi rakyat kecil, memberikan akses yang cepat dan mudah.
Tapi sekarang, dengan kebijakan baru, pengecer dilarang menjual LPG 3 kg. Alasannya adalah untuk menghindari penyelewengan.
Tetapi yang jadi korban siapa? Lagi-lagi rakyat kecil! Karena pengecer dilarang, mereka harus pergi ke pangkalan resmi yang mungkin jaraknya jauh, dan harus mengantre lebih lama. Lalu di mana keadilan itu?
Seharusnya kebijakan dibuat untuk melindungi rakyat kecil, bukan malah menyulitkan mereka.
Kalau benar-benar ingin memastikan LPG 3 kg hanya untuk yang berhak, maka tugas pemerintah adalah memperbaiki sistem distribusi tanpa mengorbankan kenyamanan rakyat kecil.
Negara punya sumber daya, punya teknologi, punya birokrasi. Kenapa rakyat kecil yang harus menanggung kerepotannya?
Kenapa rakyat harus diharuskan mendaftar, membawa kartu ini dan itu, mengikuti prosedur yang berbelit-belit, hanya untuk bisa mendapatkan sesuatu yang sudah menjadi hak mereka?
Lebih menyedihkan lagi, ketika rakyat kecil bersuara, mereka dibilang tidak mau diatur, dibilang selalu ingin hidup enak dengan subsidi.
Ini narasi yang kejam! Siapa yang ingin hidup dengan susah payah hanya untuk sekadar memasak?
Siapa yang ingin bergantung pada subsidi kalau mereka punya pilihan yang lebih baik?
Jangan pernah menyalahkan rakyat kecil atas ketidakmampuan pemerintah dalam menegakkan aturan.
Jangan biarkan rakyat kecil menanggung kegagalan sistem yang dibuat oleh mereka yang duduk di atas kursi empuk, di ruangan ber-AC, yang bahkan mungkin tidak pernah tahu berapa harga LPG 3 kg di lapangan.
Jika pemerintah benar-benar ingin memastikan LPG 3 kg hanya digunakan oleh yang berhak, maka mereka yang harus bekerja lebih keras, bukan rakyat kecil yang harus beradaptasi dengan kebijakan yang menyusahkan.
Bagaimana kalau sistem distribusi diperbaiki dari hulu ke hilir?
Bagaimana kalau pengawasan diperketat di tingkat agen besar yang sering bermain-main dengan distribusi?
Bagaimana kalau teknologi digunakan untuk memastikan subsidi tidak bocor, tanpa harus membuat rakyat miskin mengantre dan kesulitan mendapatkan haknya?
Jangan pernah membebankan kegagalan kebijakan kepada mereka yang paling lemah.
Jika ada kebocoran subsidi, itu bukan salah rakyat kecil.
Jika distribusi LPG 3 kg tidak tepat sasaran, itu bukan tanggung jawab mereka yang hanya ingin memasak untuk keluarganya. Semua ini adalah tanggung jawab mereka yang diberi mandat untuk mengatur negara. Mereka yang seharusnya berpikir keras mencari solusi tanpa membuat rakyat kecil makin susah.
Rakyat kecil tidak butuh kebijakan yang berbelit-belit.
Mereka hanya butuh hidup yang lebih mudah, akses yang lebih gampang, dan jaminan bahwa hak mereka tidak akan diutak-atik dengan alasan “tepat sasaran”.
Kalau pemerintah serius ingin menyejahterakan rakyat kecil, maka tugas mereka adalah membuat sistem yang melindungi dan mempermudah.
Jangan biarkan rakyat kecil yang harus menanggung beban dari kebijakan yang dibuat oleh mereka yang bahkan tidak merasakan dampaknya.
Sadarlah, wahai para pemegang kebijakan! Ingatlah bahwa kekuasaan itu bukan untuk menekan rakyat, tetapi untuk melindungi mereka.
Tugas kalian bukan untuk menyulitkan hidup rakyat kecil, tetapi untuk memastikan mereka mendapatkan haknya tanpa harus bersusah payah.
Jangan buat mereka harus mengantre panjang, jangan buat mereka harus berjalan jauh, jangan buat mereka harus merasa dihukum hanya karena ingin mendapatkan sesuatu yang sudah menjadi hak mereka.
Jika kalian benar-benar ingin menata ulang sistem subsidi, lakukan dengan benar.
Jangan hanya mengambil jalan pintas dengan membebani rakyat kecil.
Jangan hanya mengandalkan kebijakan yang mempersulit tanpa solusi yang nyata. Jangan biarkan mereka yang paling lemah harus berjuang sendiri untuk mendapatkan haknya.
Kita tidak butuh kebijakan yang dibuat asal-asalan.
Kita tidak butuh aturan yang hanya membuat rakyat kecil makin sulit.
Kita butuh pemimpin yang benar-benar berpihak kepada rakyat, yang benar-benar paham bahwa kebijakan harus mempermudah, bukan menyusahkan.
Dan jika kebijakan yang ada sekarang masih terus menyulitkan rakyat kecil, maka jelas ada yang salah dalam cara pandang para pembuat kebijakan ini. Segera sadari, sebelum rakyat kehilangan kepercayaan sepenuhnya!
END
Jakarta, 3 Februari 2025