Oleh Achmad Nur Hidayat, MPP. (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute)
Pemerintah Indonesia telah membuka opsi untuk memperpanjang kontrak Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) PT Freeport Indonesia hingga 20 tahun setelah berakhirnya kontrak saat ini pada tahun 2041.
Keputusan Pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan perpanjangan kontrak IUPK PT Freeport Indonesia tersebut menimbulkan kekhawatiran.
Ini bisa menandakan adanya potensi penambahan keuangan negara yang tidak optimal dari penambangan Freeport di Papua dan potensi konflik kepentingan dari para pihak yang terlibat dalam negoisasi perpanjangan freeport. Kritik tersebut menyoroti perlunya keseimbangan antara keuntungan ekonomi dan kedaulatan nasional serta konflik kepentingan dari para pemangku kepentingan.
Syarat utama untuk perpanjangan tersebut adalah penambahan 10% saham bagi Indonesia, yang saat ini sudah memiliki mayoritas saham di Freeport sebanyak 51%.
Selain itu, ada dua syarat tambahan yang harus dipenuhi oleh PT Freeport Indonesia, yaitu pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) baru di Papua dan penambahan divestasi saham sebanyak 10% ke pemerintah Indonesia.
Syarat utama perpanjangan kontrak Freeport, yaitu penambahan 10% saham bagi Indonesia, meski sudah memiliki mayoritas, menimbulkan pertanyaan kritis. Apakah ini langkah strategis atau sekadar manuver para pemburu rente (rent seekers) dari oknum negoisator perpanjangan tersebut?
Pembangunan smelter baru di Papua dan divestasi saham tambahan juga menuntut transparansi dan keadilan bagi masyarakat lokal. Kritik ini menggarisbawahi pentingnya memastikan bahwa kebijakan ini menguntungkan semua pihak, termasuk lingkungan dan masyarakat Papua.
Deal-Deal Khusus Soal Freeport? Perlunya Transparansi Negoisasi
Berdasarkan informasi dari laporan keuangan Freeport-McMoran Tahun 2022, PT Freeport-McMoran Inc mencatatkan pendapatan sebesar US$ 22,78 miliar pada tahun 2022, dengan 37% dari total pendapatan tersebut, atau sekitar US$ 8,43 miliar (Rp 126,39 triliun), berasal dari operasi di Indonesia.
Jika Indonesia menguasai 100% saham PT Freeport Indonesia tanpa perpanjangan kontrak, maka seluruh pendapatan operasional dari Indonesia, yaitu US$ 8,43 miliar, secara teori bisa masuk ke kas negara setiap tahun.
Dalam 20 tahun, tanpa perpanjangan kontrak dan dengan kepemilikan penuh, potensi pendapatan total adalah 20 tahun dikali US$ 8,43 miliar, yang berarti sekitar US$ 168,6 miliar.
Ini merupakan peningkatan signifikan dibandingkan dengan skenario kepemilikan 51%, di mana hanya sebagian pendapatan yang masuk ke kas negara.
Namun, perlu diperhatikan bahwa angka ini bersifat teoritis dan tidak memperhitungkan faktor-faktor seperti biaya operasional, investasi yang diperlukan untuk pemeliharaan dan pengembangan tambang, serta fluktuasi harga komoditas. Selain itu, ada juga pertimbangan terkait dampak lingkungan dan sosial yang harus diperhitungkan dalam pengelolaan tambang.
Perpanjangan kontrak Freeport hingga 2041 atau lebih, meskipun dengan penambahan 10% kepemilikan Indonesia, tampaknya kurang menguntungkan bagi keuangan negara.
Dengan kepemilikan 61%, Indonesia memang akan menerima bagian yang lebih besar dari pendapatan Freeport, namun tidak secara penuh.
Jika kita mempertimbangkan pendapatan operasional tahunan Freeport di Indonesia sebesar US$ 8,43 miliar, kepemilikan 61% hanya akan memberikan sekitar US$ 5,14 miliar per tahun kepada Indonesia.
Dalam jangka waktu 20 tahun, ini berarti total pendapatan sekitar US$ 102,8 miliar, jauh lebih rendah dibandingkan dengan potensi pendapatan total US$ 168,6 miliar jika Indonesia mengambil alih 100% operasi.
Selain itu, aspek penting lainnya adalah pengelolaan cadangan emas dan tembaga. Dengan kepemilikan penuh, Indonesia dapat mengelola sumber daya alam ini secara lebih optimal untuk kepentingan nasional, daripada membaginya dengan pemegang saham lain.
Mengingat nilai ekonomi yang signifikan dari cadangan ini, kontrol penuh atas sumber daya alam akan memberikan manfaat jangka panjang bagi ekonomi dan lingkungan Indonesia.
Dengan demikian, sebaiknya Indonesia tidak memperpanjang kontrak Freeport selama 20 tahun lagi.
Mengambil alih operasi sepenuhnya akan memaksimalkan pendapatan negara dan memberikan kesempatan bagi pengelolaan sumber daya alam yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Ini akan memastikan bahwa keuntungan ekonomi dari sumber daya alam dapat dinikmati sepenuhnya oleh Indonesia, mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan di masa depan.
Pentingnya Transparansi Negoisasi
Dengan mempertimbangkan perbedaan signifikan dalam potensi pendapatan antara kepemilikan penuh dan kepemilikan mayoritas dalam perpanjangan kontrak Freeport, muncul pertanyaan tentang transparansi negosiasi.
Perbedaan pendapatan yang mencapai puluhan miliar dolar menimbulkan kecurigaan tentang kemungkinan adanya kesepakatan yang tidak sepenuhnya menguntungkan kepentingan publik.
Situasi ini dapat menimbulkan spekulasi tentang adanya deal-deal gelap atau kepentingan tertentu yang mungkin berperan di balik keputusan negosiasi.
Penting bagi pemerintah untuk menjelaskan secara terbuka dan transparan mengenai dasar pertimbangan dalam negosiasi ini, agar publik dapat memahami dan menilai keputusan tersebut berdasarkan informasi yang lengkap dan jujur.
Transparansi dalam proses negosiasi sangat penting untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar mengutamakan kepentingan nasional dan keberlanjutan ekonomi Indonesia.
Pemerintah harus memperjelas, tanpa keraguan, bahwa Indonesia bukan lagi negara yang bisa dipersalahkan dalam hal pengelolaan sumber dayanya sendiri.
Apakah kita akan terus melihat kisah di mana Indonesia terlihat sebagai pion dalam permainan catur global, atau apakah kita akan menyaksikan bangkitnya kekuatan baru yang berdiri dengan kepala tegak?
Di tengah pertarungan antara kemandirian dan ketertutupan, satu hal yang pasti: rakyat Indonesia tidak akan lagi menerima setengah kebenaran dan janji-janji yang setengah hati.
Saatnya untuk mengambil kembali hak atas tanah dan kekayaan kita dengan transparansi dan ketegasan yang sesungguhnya. Saatnya Indonesia memegang kendali atas masa depannya.