Kebijakan Trump dan Dampak Signifikan Terhadap Perekonomian Nasional

Foto ilustrasi RMOL

MAJALAHCEO.co.id, Jakarta – Kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang diterapkan pada masa kepemimpinannya yang kedua, memiliki potensi dampak signifikan terhadap perekonomian nasional Indonesia.

Para pakar menilai berbagai dampak  berkaitan dari kebijakan tarif baru Trump diantaranya:

Tekanan pada Nilai Tukar Rupiah

Penguatan dolar AS sering kali menyertai kebijakan ekonomi Trump, seperti pemotongan pajak atau peningkatan tarif yang mendorong arus modal kembali ke AS. Penguatan dolar dapat melemahkan nilai tukar rupiah, meningkatkan biaya impor barang dan jasa, serta menambah beban utang luar negeri Indonesia yang denominasinya dalam dolar. Inflasi juga berpotensi naik akibat kenaikan harga barang impor.

Pelemahan rupiah akibat kebijakan Donald Trump, khususnya terkait pengenaan tarif impor, telah menjadi sorotan sejak ia kembali berkuasa pada 2025.

Melansir dari  Bisnis.com, Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk. (BDMN) Hosianna Evalita Situmorang meyakini kebijakan tarif baru Trump berpotensi membuat nilai tukar rupiah melemah.

Alasan lemahnya nilai tukar rupiah, menurut Hosiana, ketidakpastian global akan meningkat akibat menurunnya pendapatan ekspor banyak negara.

Senada dengan Hosiana, ekonom senior dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Didin S. Damanhuri menyatakan bahwa kebijakan tarif resiprokal sebesar 32% yang dikenakan oleh Donald Trump kepada Indonesia memiliki dampak signifikan terhadap pelemahan nilai tukar rupiah.

Menurut Didin, dampak paling langsung adalah depresiasi rupiah, di mana pada hari ini, Kamis 3 April 2025 telah mencapai level Rp16.700 per dolar AS.

Didin memperingatkan bahwa dalam beberapa hari ke depan, nilai tukar rupiah bisa melampaui Rp17.000 per dolar AS, dengan ketidakpastian seberapa jauh pelemahan tersebut akan berlangsung.

“Tidak mustahil dalam beberapa hari ke depan akan melampaui Rp17.000 per dolar AS. Entah sampai berapa dalam lagi depresiasi rupiah tersebut akan terjadi,” ujar Didin, Kamis (3/4/2025).

Kebijakan tarif ini, kata Didin, menciptakan tekanan ekonomi, terutama karena banyak perusahaan di Indonesia yang bergantung pada dolar AS dalam operasionalnya.

Hal ini dapat memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal sebagai respons rasional korporasi terhadap meningkatnya biaya. Selain itu, ia juga menyoroti potensi sentimen pesimisme di kalangan pelaku usaha, baik UMKM maupun perusahaan besar, serta pemerintah, yang turut memperparah situasi ekonomi.

Untuk mengatasi dampak ini, Didin menyarankan pemerintah melakukan pergeseran pendanaan besar-besaran dari program jangka menengah dan panjang ke stimulus jangka pendek guna membangkitkan pasar dalam negeri, khususnya untuk UMKM dan daerah.

Ia juga menekankan perlunya menghentikan pengeluaran APBN dan APBD yang tidak esensial serta meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi kenaikan tingkat kriminalitas akibat melemahnya daya beli masyarakat. Pandangannya mencerminkan kekhawatiran mendalam akan efek domino kebijakan Trump terhadap stabilitas ekonomi Indonesia, khususnya melalui pelemahan rupiah.

Ancaman PHK Massal

Dampak lain terhada kebijakan Trump, berpotensi terjadnya PHK massal.

Menurut Hosiana, sekto riil dalam negeri juga akan merasakan dampak nyata dari kebijakan tarif baru Trump.

Sektor-sektor yang selama ini mengekspor barang ke AS akan terancam seperti tekstil, elektronik, dan alas kaki.

“Perusahaan-perusahaan AS mungkin juga menahan investasinya di Indonesia,” lanjut Hosianna, Kamis (3/4/2025), dikutip dari Bisnis.com.

Sejalan, juga dikatakan Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi. Menurut dia, sektor-sektor padat karya seperti tekstil, furnitur, dan alas kaki Tanah Air sangat bergantung pada harga kompetitif di pasar AS.

Kenaikan tarif bea masuk ke AS akan menaikkan harga jual sehingga mendorong pembeli berpaling ke negara lain. Akibatnya, Syafruddin mengkhawatirkan Indonesia berisiko mengalami kontraksi ekspor.

“[Ini] memicu risiko pemutusan hubungan kerja massal di dalam negeri,” jelas Syafruddin, Kamis (3/4/2025).

Penurunan Ekspor ke Amerika Serikat

Trump dikenal dengan pendekatan proteksionisme “America First,” yang mencakup pengenaan tarif impor tinggi terhadap barang dari berbagai negara. Jika tarif ini diterapkan pada produk Indonesia—seperti tekstil, alas kaki, elektronik, atau komoditas seperti minyak sawit dan karet—harga barang Indonesia di pasar AS akan menjadi lebih mahal. Akibatnya, permintaan bisa turun, mengurangi volume ekspor Indonesia ke AS, yang merupakan salah satu mitra dagang utama. Penurunan ekspor ini berpotensi menekan pendapatan devisa negara dan memengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Gangguan Rantai Pasok dan Perlambatan Ekonomi Global

Kebijakan perang tarif Trump, terutama terhadap negara-negara besar seperti Tiongkok, dapat mengganggu rantai pasok global. Jika ekonomi global melambat, permintaan terhadap komoditas Indonesia (misalnya nikel, batu bara, dan minyak sawit) dari pasar lain seperti Tiongkok juga bisa menurun. Hal ini diperparah oleh potensi resesi global yang diprediksi oleh beberapa analis, yang akan berdampak pada stabilitas ekonomi Indonesia sebagai negara yang bergantung pada ekspor komoditas.

Peluang Diversifikasi Pasar

Di sisi lain, kebijakan proteksionisme Trump dapat mendorong Indonesia untuk mencari pasar ekspor alternatif, seperti negara-negara di Asia, Timur Tengah, atau Eropa. Jika dikelola dengan baik, ini bisa menjadi peluang untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS dan memperkuat hubungan dagang dengan mitra lain, termasuk melalui keanggotaan di BRICS yang baru-baru ini diperluas.

Respons Kebijakan Domestik

Pemerintah Indonesia perlu merespons dengan langkah strategis, seperti memperkuat industri lokal untuk substitusi impor, meningkatkan daya saing produk ekspor melalui inovasi, dan menjaga stabilitas makroekonomi. Cadangan devisa yang kuat (tercatat 155,7 miliar dolar AS pada akhir 2024) dan inflasi yang terkendali (1,57% pada 2024) menjadi modal penting untuk mitigasi dampak negatif.

Secara keseluruhan, dampak kebijakan Trump terhadap perekonomian nasional Indonesia bergantung pada sejauh mana proteksionisme diterapkan dan bagaimana Indonesia mengantisipasinya.

Tantangan seperti penurunan ekspor dan tekanan rupiah dapat diatasi dengan diversifikasi pasar dan penguatan ekonomi domestik, sehingga dampaknya mungkin tidak sebesar yang dialami negara lain yang lebih bergantung pada AS.

Optimisme tetap ada, didukung oleh ketahanan ekonomi Indonesia yang telah terbukti pada 2024 dengan pertumbuhan 5,03% hingga triwulan III.

[ Jagad N ]

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *