Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ
Banjir telah menjadi momok yang terus menghantui masyarakat Bekasi dan sekitarnya.
Banyak kebijakan telah diterapkan, salah satunya adalah mengubah status tanah sempadan sungai menjadi tanah negara dengan harapan dapat mengembalikan fungsi alami sungai sebagai daerah resapan.
Namun, jika ditelusuri lebih dalam, permasalahan banjir di Bekasi bukanlah semata-mata disebabkan oleh kepemilikan lahan sempadan.
Kesalahan dalam tata ruang—mulai dari ketidakjelasan peruntukan lahan, ketidakkonsistenan RDTR, hingga pembangunan yang tidak terintegrasi—telah memperburuk kondisi lingkungan dan meningkatkan risiko banjir.
Untuk itu, dibutuhkan solusi komprehensif yang tidak hanya mengatasi aspek hukum kepemilikan, tetapi juga membenahi sistem perencanaan dan pengelolaan ruang.
Kritik terhadap Kebijakan Pemanfaatan Tanah Sempadan Sungai
Kebijakan menjadikan tanah sempadan sungai sebagai tanah negara merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengembalikan fungsi ekologis wilayah tersebut.
Secara teoritis, langkah ini dapat mengurangi intervensi pembangunan yang merusak kapasitas resapan air di sepanjang sungai.
Namun, kebijakan ini masih terlalu sempit dan tidak mampu mengatasi akar permasalahan. Meski status kepemilikan diubah, jika lahan tersebut dibangun secara sembarangan tanpa perencanaan yang jelas, fungsi resapan air tetap hilang.
Oleh karena itu, solusi semacam ini tidak cukup; yang diperlukan adalah perbaikan menyeluruh dalam tata ruang yang mampu mengarahkan pembangunan ke jalur yang berkelanjutan.
Kesalahan Tata Ruang Bekasi Saat Ini
Salah satu penyebab utama banjir yang berkepanjangan di Bekasi adalah kesalahan dalam perencanaan tata ruang.
Sejak era pasca-kemerdekaan, bekas kawasan rawa telah diubah fungsinya menjadi permukiman dan kawasan industri tanpa memperhatikan kemampuan alami lahan untuk menyerap air hujan.
Banyak dokumen RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) yang telah disusun tidak konsisten, bahkan terjadi tumpang tindih peruntukan lahan antara zona industri, permukiman, dan ruang terbuka hijau.
Ketidakjelasan ini menimbulkan beberapa masalah kritis:
Pertama, pembangunan di atas lahan yang seharusnya berfungsi sebagai resapan air telah mengurangi kapasitas alami lingkungan dalam mengelola limpasan air hujan.
Daerah seperti Rawalumbu, Rawapanjang, dan beberapa bagian di Pondok Gede, yang asal-usul namanya mengacu pada kondisi rawa, kini telah diubah menjadi perumahan padat tanpa sistem drainase yang memadai.
Kedua, pengembangan infrastruktur dan proyek perumahan yang terburu-buru tanpa koordinasi lintas sektoral menyebabkan terjadinya pembangunan yang tidak terintegrasi.
Hal ini terlihat dari adanya pemukiman di area yang rentan terhadap banjir serta pembangunan jalan dan fasilitas umum yang tidak mempertimbangkan alur drainase alami.
Ketiga, revisi RDTR yang sering berubah-ubah mencerminkan lemahnya konsistensi dan komitmen pemerintah dalam menerapkan perencanaan tata ruang.
Ketika peraturan dan peta tata ruang tidak jelas, konflik antara kepentingan ekonomi dan perlindungan lingkungan menjadi tak terhindarkan.
Akibatnya, pembangunan di Bekasi cenderung berorientasi pada keuntungan jangka pendek, tanpa memperhatikan keberlanjutan jangka panjang.
Dampak Negatif dari Kesalahan Tata Ruang
Kesalahan dalam tata ruang tidak hanya menyebabkan banjir yang kerap terjadi, tetapi juga berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Infrastruktur yang rusak, terputusnya akses transportasi, serta kerugian ekonomi yang harus ditanggung oleh warga adalah beberapa contoh nyata dampak negatifnya.
Ketika lahan yang seharusnya menjadi daerah resapan berubah menjadi beton, tidak ada lagi ruang bagi air hujan untuk diserap, sehingga aliran air meluap dan menenggelamkan permukiman.
Selain itu, tumpang tindih fungsi lahan menyebabkan konflik penggunaan antara sektor industri dan permukiman, yang memperburuk kondisi lingkungan serta menurunkan kualitas hidup masyarakat.
Solusi Komprehensif untuk Mengatasi Banjir di Bekasi
Untuk menyelesaikan masalah banjir di Bekasi, diperlukan pendekatan yang menyeluruh dan terintegrasi.
Berikut adalah beberapa solusi komprehensif yang harus diimplementasikan:
Pertama, perbaikan dan penyusunan ulang RDTR harus menjadi prioritas utama.
Pemerintah harus melakukan evaluasi mendalam terhadap peta tata ruang yang ada, dengan melibatkan para ahli, akademisi, serta partisipasi masyarakat.
Hasil evaluasi tersebut harus menghasilkan peta tata ruang yang jelas, konsisten, dan mengintegrasikan fungsi ruang terbuka hijau, zona industri, dan permukiman.
Dengan adanya perencanaan yang jelas, pembangunan akan diarahkan pada kawasan yang tepat guna, sehingga fungsi ekologis seperti resapan air tidak terganggu.
Kedua, pengembangan infrastruktur hijau harus didorong sebagai bagian dari solusi jangka panjang.
Pembangunan taman kota, koridor hijau, dan revitalisasi daerah aliran sungai sangat penting untuk meningkatkan kapasitas lingkungan dalam menyerap air hujan.
Infrastruktur hijau tidak hanya berfungsi sebagai penahan banjir, tetapi juga meningkatkan kualitas udara dan memberikan ruang publik yang layak bagi masyarakat.
Investasi dalam pembangunan sistem drainase modern yang terintegrasi dengan infrastruktur hijau dapat membantu mengurangi risiko banjir secara signifikan.
Ketiga, pembangunan sistem drainase yang efisien perlu segera direvitalisasi.
Selain membangun saluran drainase baru, perbaikan dan pemeliharaan sistem drainase yang sudah ada harus dilakukan secara berkala.
Penggunaan teknologi digital, seperti sistem informasi geografis (GIS) dan peta interaktif banjir, dapat membantu pemerintah dalam memantau kondisi drainase dan mengidentifikasi titik-titik rawan banjir secara real-time.
Dengan demikian, respons terhadap banjir dapat dilakukan lebih cepat dan terarah.
Keempat, penerapan prinsip good governance dalam pengelolaan tata ruang sangat krusial. Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik harus menjadi landasan dalam setiap kebijakan dan keputusan pembangunan.
Pemerintah harus membuka ruang dialog dengan masyarakat, pengembang, dan LSM, sehingga setiap rencana tata ruang yang disusun mencerminkan aspirasi dan kebutuhan nyata rakyat.
Forum perencanaan regional yang melibatkan stakeholder dari berbagai sektor juga perlu dibentuk untuk menyamakan persepsi dan menyinkronkan regulasi tata ruang antar wilayah, terutama di kawasan metropolitan seperti Bekasi dan sekitarnya.
Kelima, penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran tata ruang harus diterapkan secara konsisten. Sanksi terhadap pembangunan yang melanggar aturan tata ruang harus diberlakukan tanpa pandang bulu.
Hal ini untuk memastikan bahwa setiap proyek pembangunan yang dilaksanakan di atas lahan yang seharusnya berfungsi sebagai resapan air atau ruang terbuka hijau akan dihentikan atau direvisi.
Evaluasi berkala terhadap implementasi kebijakan tata ruang juga diperlukan agar setiap kekurangan dapat segera diidentifikasi dan diperbaiki.
Pentingnya Kolaborasi Lintas Sektoral
Solusi komprehensif untuk mengatasi banjir di Bekasi tidak dapat diimplementasikan oleh satu pihak saja. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat harus bekerja sama secara sinergis. Kolaborasi lintas sektoral ini penting untuk menyusun strategi pembangunan yang holistik dan berkelanjutan.
Misalnya, pembangunan kawasan industri seperti Jababeka dan proyek perumahan seperti MM2001 harus diselaraskan dengan pengelolaan lingkungan yang baik.
Tanpa adanya koordinasi yang kuat, pembangunan sektor ekonomi akan terus menggerus lahan yang seharusnya berfungsi sebagai penampung air, sehingga meningkatkan risiko banjir.
Transformasi Sosial dan Kesadaran Masyarakat
Tak kalah penting, peningkatan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjaga lingkungan harus digalakkan.
Kampanye dan edukasi tentang tata ruang, pentingnya ruang terbuka hijau, serta dampak negatif dari pembangunan yang tidak terencana perlu dilakukan secara berkelanjutan.
Masyarakat yang sadar akan pentingnya menjaga lingkungan akan lebih mendukung kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Partisipasi aktif masyarakat juga dapat menjadi kontrol sosial terhadap pelaksanaan proyek pembangunan, sehingga setiap penyimpangan dari rencana yang telah disepakati dapat segera diketahui dan diperbaiki.
Keterlibatan masyarakat dalam forum perencanaan dan evaluasi kebijakan tata ruang menjadi kunci untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan.
Permasalahan banjir di Bekasi merupakan cerminan dari kegagalan dalam perencanaan tata ruang yang komprehensif.
Kebijakan yang selama ini hanya berfokus pada aspek legal seperti perubahan status tanah sempadan sungai ternyata tidak cukup untuk mengatasi masalah yang jauh lebih kompleks.
Kesalahan tata ruang saat ini—disebabkan oleh ketidakjelasan peruntukan lahan, tumpang tindih fungsi, serta pembangunan yang tidak terintegrasi—merupakan akar dari kerentanan wilayah terhadap banjir.
Untuk itu, solusi komprehensif harus melibatkan revisi menyeluruh RDTR, pengembangan infrastruktur hijau dan sistem drainase modern, penerapan prinsip good governance, serta penegakan hukum yang tegas.
Kolaborasi lintas sektoral dan partisipasi aktif masyarakat juga merupakan elemen penting dalam menciptakan tata ruang yang berkelanjutan dan melindungi kepentingan rakyat.
Dengan pendekatan yang holistik dan konsisten, Bekasi tidak hanya dapat mengurangi frekuensi banjir, tetapi juga membangun masa depan kota yang lebih aman, nyaman, dan layak huni.
Ini adalah bentuk nyata bela kepentingan rakyat, di mana setiap kebijakan pembangunan diarahkan untuk menjamin kesejahteraan dan keberlanjutan lingkungan, bukan semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa batas.
End