Menapaki perumahan elit bengkel kereta api kolonial Belanda di Medan

Teks foto: Perumahan elit bengkel kereta api Kolonial Belanda di Medan.

MAJALAHCEO.co.id, Medan — Sepi dan mencekam adalah kata pertama yang terlintas saat menapaki kaki di Jalan Bundaran, Kelurahan Pulo Brayan Bengkel, Kecamatan Medan Timur, Kota Medan, Sumatra Utara. Padahal saat itu matahari baru sedikit condong ke arah Barat.

Terdapat sejumlah rumah besar berlantai 2 di areal Jalan Bundar tersebut. Rumah-rumah bernuansa kolonial Belanda itu terlihat kusam dan tidak terawat. Ada juga rumah yang sudah hancur, tinggal dindingnya saja.

Kondisi jalan yang tidak diaspal dan becek, ternyata sudah tidak bisa dilalui kendaraan lagi karena tertutup semak belukar.

Sesuai namanya, Jalan Bundar berbentuk bundar. Jika ingin menyusuri semua sisi, kita harus masuk dari Jalan Pertahanan dan dari Jalan Bengkel/Jalan Lampu.

Kondisi rumah mewah di masanya itu sudah seperti tidak terurus. Di sekitar rumah yang tidak habis dihitung dengan jari itu terlihat banyak tumbuh rumput maupun pohon yang menambah kesan horor.

Selain itu, terdapat juga rumah-rumah yang berukuran kecil yang dari kondisinya juga sudah berumur. Rumah-rumah kecil itu seperti komplek perumahan yang tersusun seperti satu blok.

Dari rumah yang ada, PT KAI terlihat memiliki satu bangunan di lokasi itu yang diberi nama Mes Bundar. Mes itu berada di antara Jalan Bundar dengan Jalan Bengkel dan dirawat dengan baik.

Di sekitar lokasi, terdapat menara air yang cukup besar. Konon menara air tersebut digunakan sebagai penampungan air bagi perumahan karyawan bengkel kereta api di masa lalu dan saat ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Wali Kota Medan Bobby Nasution.

Menurut warga sekitar, Yusuf (63), rumah-rumah sudah lapuk dan kemudian ambruk. Yusuf sendiri telah tinggal selama 40 tahun di salah satu pintu masuk ke Jalan Bundar.

“Iya hancur, lapuk tumbang,” katanya, saat ditemui, Selasa (21/1/2025).

Banyak rumah di lokasi itu sudah tidak ditempati lagi. Yusuf tidak tahu pasti berapa jumlah rumah peninggalan kolonial Belanda di areal itu.

“Kira (hitung) saja, yang besar-besar itu, di depan ada, di sana ada,” ucapnya.

Sejarawan Universitas Sumatra Utara (USU), M Azis Rizky Lubis, mengatakan, keberadaan perumahan elit itu awalnya diperuntukkan bagi karyawan bengkel kereta api yang ada di sekitar lokasi di zaman kolonial Belanda. Namun, pembangunannya tidak bersamaan dengan perusahaan kereta Deli Spoorweg Matschappij terbentuk pada 1886.

“Jadi memang keberadaan komplek perumahan itu tidak terlepas dari pembangunan kereta api di Kota Medan, tetapi bukan berarti ketika saat Deli Maatschappij kemudian membentuk anak perusahaan namanya Deli Spoorweg Matschappij itu (perumahan) langsung dibangun,” kata Azis, Kamis (23/1/2025).

Rel kereta api yang menghubungkan Medan dengan Labuhan sendiri dibangun 1886. Namun komplek perumahan di Jalan Bundar baru dibangun pada 1919 saat pembentukan werkplaats atau bengkel kereta api di sekitar lokasi.

“Ketika pembangunan jalan kereta api pertama dari Medan ke Labuhan, itu pun belum ada lokasi. Itu dia dibangun seiring dengan pembentukan bengkel kereta api pada 1919 atau dalam bahasa Belanda itu werkplaats,” ucapnya.

Bengkel kereta api tersebut hingga kini masih beroperasi dan diberi nama Balai Yasa KAI Pulubrayan. Keberhasilan komplek perumahan bengkel itu disebut juga diperuntukkan bagi sekolah yang ingin mengunjungi bengkel kereta api di lokasi di masa lampau.

“Sehingga perumahan itu dibangun untuk karyawan-karyawan termasuk juga mess bagi sekolah perkeretaapian yang mau berkunjung ke situ,” ujarnya.

Di sekitar komplek perumahan bagi karyawan bengkel kereta api, ada juga beberapa komplek elit bagi orang Eropa. Sebab daerah itu disebut-sebut berdekatan dengan perkebunan Helvetia.

“Di sekeliling itu juga ada komplek-komplek perumahan lain yang pada umumnya didiami orang Eropa sehingga dapat dikatakan jugalah Brayan itu termasuk kawasan yang cukup elit, karena tidak jauh dari situ kan ada perkebunan Helvetia,” ujarnya.

Saat Jepang menduduki Indonesia, orang Eropa menjadikan areal perumahan itu sebagai camp mengungsi. Alasannya selain karena daerah perumahan orang Eropa, lokasi itu juga dekat dengan pelabuhan di Belawan.

“Kenapa mereka memilih basecamp-nya di situ? Karena di situ memang salah satu populasi orang Eropa selain yang di Polonia. Karena aksesnya juga lebih dekat ke Belawan,” tuturnya.

Di awal pembangunan rel kereta api Medan-Labuhan 1886, belum ada stasiun di Pulo Brayan. Saat itu masih ada semacam halte bukan stasiun seperti saat ini, seperti dikutip dari detikSumut, Minggu (26/1/2025) siang.

(KTS/rel)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *