Oleh: Syahril Syam*)
Tidak peduli pikiran apapun yang kita pikirkan, baik itu terkait dengan perasaan marah, sedih, inspirasi, gembira, atau bahkan gairah seksual, kita mengubah tubuh kita sendiri; kita juga membentuk diri (jiwa) kita sendiri. Semua yang kita pikirkan, apakah itu “Saya tidak bisa”, “Saya bisa”, “Saya tidak cukup baik”, atau “Saya mencintaimu”, memiliki efek terukur yang sama di dalam otak dan seluruh sistem tubuh. Makanya, suka atau tidak suka, sekali pikiran muncul di otak, selebihnya adalah sejarah.
Seperti yang pernah dikupas pada “cemilan otak” yang lalu, bahwa prinsip transformasi diri, yaitu yang kembali kepada jiwa hanyalah apa yang berasal dari jiwa; berupa niat, motivasi, hasrat, dan keyakinan. Artinya semua yang dipikirkan dan diyakini akan membentuk siapa diri kita. Dengan mengutip buku Change Limiting Beliefs, “Masih teringat dalam benak saya, ketika sang reporter mewawancarai seorang tim ahli tentang persoalan satelit yang bergeser keluar dari orbitnya.
Sang ahli itu berkata bahwa untuk memindahkan kembali Satelit Palapa ke orbitnya membutuhkan waktu beberapa hari karena untuk bergeser sejauh dua derajat saja satelit Palapa membutuhkan waktu satu hari. Jadi, pada waktu itu, perlu beberapa hari agar satelit Palapa kembali pada posisi orbitnya.
Sang reporter cukup kaget mendengar penjelasan sang ahli. Sang ahli pun berkata bahwa dua derajat itu mungkin terasa cukup dekat jika mengacu pada titik busurnya tetapi jika di tarik dua garis lurus dengan jarak dua derajat, maka pada posisi di luar angkasa, dua derajat itu akan menjadi sangat jauh. Jadi, walaupun jarak pindah orbitnya itu hanya sekian derajat saja tapi karena perbedaan derajat ini berada pada titik garis yang sangat jauh, maka jaraknya pun akan terlihat semakin besar.”
Jika kita menggambarkan titik start yang paling awal adalah saat kita lahir ke dunia ini, maka penting bagi kita untuk meyadari bahwa tak ada satupun yang melekat pada diri kita saat itu. Kita terlahir dalam keadaan kosong. Maksudnya, tak ada satupun keahlian yang kita bawa sewaktu lahir. Kita tidak lahir dengan membawa kebiasaan buruk atau kebiasaan baik. Kita pun tak lahir dengan membawa keyakinan yang menghambat diri termasuk keyakinan yang memberdayakan diri. Tidak ada yang melekat pada diri kita. Tidak ada suatu hal yang bersifat otomatis yang melekat pada diri kita saat lahir. Semua hal yang menjadi keyakinan kita merupakan hasil dari proses pembelajaran kita semenjak lahir. Sehingga apapun yang kita pikirkan dan rasakan, yang akan membentuk jati diri kita.
Saat memikirkan sesuatu, tubuh kita sedang mengalami sejumlah perubahan dinamis. Tiba-tiba pankreas dan kelenjar adrenal kita sudah sibuk mengeluarkan beberapa hormon baru. Seperti badai petir yang tiba-tiba, berbagai area otak kita baru saja melonjak dengan arus listrik yang meningkat, melepaskan sekumpulan zat kimia saraf yang terlalu banyak untuk disebutkan. Limpa dan kelenjar timus kita mengirimkan email massal ke sistem kekebalan kita untuk membuat beberapa modifikasi. Beberapa cairan lambung yang berbeda mulai mengalir. Hati kita mulai memproses enzim yang tidak ada beberapa saat sebelumnya. Detak jantung kita berfluktuasi, paru-paru kita mengubah volume sekuncupnya, dan aliran darah ke kapiler di tangan dan kaki kita berubah. Semua dari hanya memikirkan satu pikiran.
Semua perubahan pada pikiran, perasaan, dan tubuh juga membentuk kebiasaan kita. Umpan balik emosional yang kita peroleh dari lingkungan, dan dengan cara kita berpikir dan memandang sesuatu, tidak hanya mengubah struktur otak dan tubuh kita, tetapi juga mengubah diri (jiwa) kita. Pada dasarnya kita ber-transformasi setiap saat. Diri kita saat ini sesungguhnya berbeda dengan diri kita sedetik sebelumnya. Ini karena semua yang kita pikirkan, baik sadar maupun tidak sadar, akan selalu mengubah perasaan, tubuh, dan diri (jiwa) kita.
Begitu pula dengan puasa yang kita lakukan akan menentukan siapa diri kita, yang bergantung pada niat dan pikiran kita tentang puasa. Maka sangat penting bagi kita untuk secara sadar mengarahkan pikiran dan perasaan kita pada hal-hal yang konstruktif. Karena sesuai dengan prinsip dua derajat di atas, hal kecil apapun yang kita pikirkan, rasakan, dan lakukan, akan menjadi pembeda yang sangat besar di kemudian hari.
@pakarpemberdayaandiri