MAJALAHCEO.co.id, Jakarta – Usulan menjadikan Surakarta (Solo) sebagai Daerah Istimewa kembali ramai diperbincangkan, sebagaimana diungkapkan Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima pada April 2025.
Usulan ini mencakup pemisahan Solo dari Provinsi Jawa Tengah untuk membentuk provinsi baru bernama Daerah Istimewa Surakarta, dengan Solo sebagai ibu kota.
Alasan utama adalah kekhasan sejarah dan budaya Solo, termasuk peran Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran sebagai pusat kebudayaan Jawa, serta rekam jejak historis dalam perlawanan terhadap penjajahan.
Wilayah yang diusulkan mencakup tujuh kabupaten/kota: Solo, Sragen, Karanganyar, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, dan Klaten.
Terkait usulan tersebut, Komisi II DPR menilai belum melihat urgensi pembahasan ini.
Menyikapi usulan Kota Surakarta menjadi salah satu daerah istimewa, Anggota Komisi II DPR RI, Fraksi Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia menyatakan bahwa tidak pernah ada pemberian status daerah istimewa bagi suatu wilayah di Indonesia yang levelnya di bawah tingkat provinsi.
“Tidak pernah ada pemberian istimewa itu di level di bawah provinsi,” kata Doli di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, dikutip Jumat (26/4/2025).
Politisi Golkar ini memaparkan hanya ada beberapa daerah di Indonesia yang menyandang status kekhususan hingga keistimewaan. Misalnya, Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta yang kini telah berubah menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
“Kekhususan itu tetap dipakai karena dia punya sejarah pernah jadi ibu kota yang cukup lama. Itu kemarin kami sepakati kenapa tetap pakai kata khusus, tapi tidak pakai ibu kota karena ibu kotanya sudah dipakai Nusantara,” ujar Doli.
Doli juga menjelaskan Daerah Istimewa Yogyakarta menyandang status istimewa karena latar belakang sejarah, yakni pernah menjadi ibu kota negara pada tahun 1946.
“Karena punya sejarah yang kuat untuk kemerdekaan Indonesia. Ada kesultanan di sana waktu itu, yang memang betul-betul mem-back up kemerdekaan,” ungkapnya.
Sementara Aceh, lanjutnya, pernah menyandang status sebagai daerah istimewa karena faktor historis, yakni sumbangan rakyat Aceh untuk membeli pesawat angkut pertama Indonesia.
Karena masyarakat Aceh waktu itu pernah kumpulkan uang untuk bantu pemerintah beli pesawat, namanya pesawat Seulawah. Makanya waktu itu pertimbangan Aceh jadi daerah istimewa, walaupun sekarang (status) istimewanya sudah hilang ya, enggak ada lagi,” bebernya.
Ia juga mengatakan ada daerah yang diberikan status otonomi khusus dengan konsekuensi pula pemberian dana otonomi khusus, yaitu Papua dan Aceh.
“Satu, kayak Papua, dia merdekanya baru belakangan dibandingkan provinsi yang lain, yang kedua memang itu daerah potensi alamnya luar biasa. Kita juga membutuhkan peningkatan kualitas manusianya yang cepat,” kata Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI itu.
Berkaca pada hal di atas, ia menggarisbawahi bahwa tidak pernah ada daerah yang menyandang status istimewa di tingkat kabupaten/kota di Indonesia.
Untuk itu, Doli mengingatkan pemerintah harus berhati-hati dan mempertimbangkan dengan seksama apabila hendak memberikan status daerah istimewa bagi Kota Solo.
“Daerah istimewa apa? Dia mau jadi provinsi dulu atau kabupaten/kota? Kalau kabupaten/kota nggak dikenal daerah istimewa, dan kemudian alasannya apa? Punya latar belakang apa? Nah makanya menurut saya pemerintah harus hati-hati,” ungkapnya lagi.
Sebab, imbuhnya, penyematan daerah istimewa bagi suatu wilayah dapat menyebabkan kecemburuan bagi daerah lainnya di Indonesia sehingga akan mengundang daerah-daerah lainnya untuk mengajukan permohonan serupa.
“Karena ini akan nanti bisa memicu atau mengundang daerah lain akan ada permohonan juga keistimewaannya dengan alasan macam-macam, mungkin alasannya karena memang di sana punya sejarah dan keraton, budaya, dan segala macam,” pungkas Doli.
[Jgd]