Perang dagang AS-China Semakin Memanas, Ditandai Eskalasi Tarif Balasan Agresif Kedua Belah Pihak

Foto ilustrasi istimewa

MAJALAHCEO.co.id, Jakarta – Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China semakin memanas, ditandai dengan eskalasi tarif balasan yang agresif dari kedua belah pihak.

Presiden AS Donald Trump telah menerapkan tarif impor tinggi terhadap China, mulai dari 34% hingga mencapai 145% pada April 2025, sebagai bagian dari strateginya untuk mengurangi defisit perdagangan AS, mendorong investasi domestik, dan menekan dominasi ekonomi global China.

Tarif ini menargetkan berbagai produk China, dari barang elektronik hingga mainan, yang menyumbang sekitar 14% dari total impor AS.

Sebagai respons, China tidak tinggal diam. Beijing membalas dengan mengenakan tarif balasan, yang meningkat dari 34% menjadi 125% untuk barang-barang AS, termasuk produk pertanian seperti kedelai dan daging.

China juga mengambil langkah lain, seperti membatasi ekspor mineral langka yang vital untuk industri teknologi dan militer AS, serta meluncurkan penyelidikan antimonopoli terhadap perusahaan-perusahaan AS seperti Google.

Tak hanya itu, China juga mengajukan tuntutan resmi ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), menuduh AS melanggar aturan perdagangan internasional dan merusak sistem perdagangan multilateral.

Beijing menegaskan bahwa tarif AS adalah “intimidasi unilateral” dan menolak negosiasi yang merugikan kepentingan nasionalnya.

China juga menunjukkan sikap diplomasi yang tegas dengan mengajak Uni Eropa untuk bersama-sama menentang kebijakan tarif Trump, serta mengancam negara-negara yang bernegosiasi dengan AS dengan mengorbankan kepentingan China.

Namun, di tengah ketegangan ini, Trump mengindikasikan adanya komunikasi dengan China untuk mencari kesepakatan, meskipun belum jelas apakah dialog ini melibatkan Presiden Xi Jinping secara langsung. Trump bahkan menyatakan kemungkinan untuk tidak menaikkan tarif lebih lanjut atau menurunkannya, dengan syarat adanya niat baik dari China.

Eskalasi ini memiliki dampak global yang signifikan. Pasar saham dunia, termasuk di AS dan Asia, mengalami gejolak, dengan Wall Street mencatat penurunan indeks lebih dari 5% pada April 2025.

Negara-negara seperti Brasil dan Argentina diuntungkan karena China mengalihkan impor kedelai dan produk pertanian dari AS ke Amerika Latin. Sementara itu, negara-negara ASEAN seperti Vietnam juga mendapat manfaat dari relokasi investasi perusahaan yang menghindari tarif tinggi.

Namun, Indonesia menghadapi tantangan akibat gangguan rantai pasok global dan pelemahan nilai tukar rupiah, meskipun ada peluang untuk menarik investasi di sektor semikonduktor dan panel surya.

Secara strategis, perang dagang ini bukan sekadar konflik ekonomi, tetapi juga bagian dari persaingan geopolitik antara AS dan China. Trump bertujuan untuk melemahkan posisi China sebagai pusat manufaktur dunia dan memaksa reformasi ekonomi, sementara China berupaya mempertahankan kedaulatan ekonominya dengan diversifikasi ekspor dan penguatan konsumsi domestik.

Namun, banyak analis memperingatkan bahwa tidak ada pemenang sejati dalam perang dagang ini, karena dampaknya memperlambat pertumbuhan ekonomi global, meningkatkan inflasi, dan mengganggu rantai pasok.

Perang dagang antara AS dan China terus meningkat, dengan kedua belah pihak mengadopsi langkah-langkah lebih keras yang berpotensi mengubah dinamika perdagangan global. Konflik ini berlanjut dengan dampak ekonomi dan diplomatik yang jauh, yang bisa menyebabkan gangguan besar pada perdagangan dunia. Dunia menyaksikan kedua ekonomi terbesar dunia ini terlibat dalam konflik bernilai tinggi ini.

[jgd/red]

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *