Opini  

Evaluasi Ekonomi Lebaran 2025 Menceritakan Keresahan

Setiap tahun, jutaan warga Indonesia melakukan perjalanan mudik sebagai bentuk pulang kampung yang tak hanya menyentuh sisi emosional, tetapi juga membangkitkan aktivitas ekonomi nasional. [Foto ilustrasi ayobandung]

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

Setiap tahun, jutaan warga Indonesia melakukan perjalanan mudik sebagai bentuk pulang kampung yang tak hanya menyentuh sisi emosional, tetapi juga membangkitkan aktivitas ekonomi nasional.

Lebaran bukan hanya soal silaturahmi, tapi juga arus besar uang yang bergerak dari kota ke desa, dari pusat ke pinggiran. Dari pedagang kecil di pasar tradisional hingga pemilik warung di gang sempit, semua merasakan denyut ekonomi yang melonjak saat musim mudik tiba.

Namun, Lebaran 2025 menyajikan cerita yang berbeda.

Data proyeksi survai dari Kementerian Perhubungan menunjukkan potensi penurunan jumlah pemudik hingga 24% dibanding tahun sebelumnya.

Dari 193,6 juta jiwa yang diprediksi akan bepergian pada 2024, kini angkanya hanya sekitar 147 juta.

Sinyal pelemahan ini diperkuat oleh fakta turunnya konsumsi BBM jenis bensin sebesar 6% dan avtur sebesar 4% sebagaimana dirilis oleh Direktur BBM BPH Migas Jumat 11/4. Dua indikator ini cukup menggambarkan bahwa mobilitas fisik masyarakat—sebagai refleksi daya beli dan semangat mudik—mengalami penurunan.

Angka yang Menceritakan Keresahan

Penurunan mobilitas ini bukanlah anomali semata. Ia adalah indikator yang mencerminkan realitas ekonomi masyarakat yang terhimpit.

Inflasi maret 1,65% (mom) terkesan melandai, namun harga-harga kebutuhan pokok tetap tinggi. Upah tak secepat itu mengejar lonjakan biaya hidup.

Dalam kondisi demikian, biaya mudik—yang meliputi transportasi, akomodasi, konsumsi, dan oleh-oleh—menjadi beban yang tidak ringan. Banyak keluarga yang akhirnya memilih untuk tetap tinggal di kota, menunda tradisi tahunan demi menjaga stabilitas keuangan.

Estimasi nilai ekonomi yang hilang akibat penurunan potensi pergerakan hingga 46 juta orang mencapai antara Rp 93 triliun hingga Rp 232 triliun.

Angka ini tidak main-main. Ia mencerminkan stimulus ekonomi yang gagal tersalurkan ke daerah-daerah, terutama desa dan kota kecil yang biasanya menjadi tujuan mudik. Warung makan, toko kelontong, penginapan, dan jasa transportasi lokal—semuanya kehilangan momentum.

Pergeseran Pola Konsumsi dan Tekanan Daya Beli

Konsumsi LPG naik 5,4% dan solar naik 11% menjadi penanda bahwa aktivitas domestik dan logistik masih berjalan.

Namun, ini tidak cukup untuk mengompensasi penurunan belanja dari sektor perjalanan dan konsumsi langsung di daerah tujuan mudik.

Pergeseran ini mencerminkan bahwa Lebaran tahun ini lebih banyak dirayakan di rumah, dengan aktivitas masak sendiri atau mengandalkan logistik, bukan di kampung halaman yang penuh interaksi ekonomi.

Penyebab utama dari fenomena ini adalah tekanan daya beli.

Upah yang stagnan, ketidakpastian lapangan kerja, serta harga pangan yang tetap tinggi membuat masyarakat lebih berhitung dalam membelanjakan uangnya.

Biaya tol, harga tiket transportasi, dan akomodasi Lebaran masih terasa mahal. Meski ada program mudik gratis, cakupannya terlalu kecil untuk mengimbangi skala kebutuhan masyarakat.

Kritik terhadap Kebijakan Publik yang Belum Menyentuh Akar

Pemerintah memang menunjukkan kehadiran lewat penyediaan uang tunai sebesar Rp 197,6 triliun oleh Bank Indonesia dan program mudik gratis.

Namun, langkah ini lebih bersifat simbolik ketimbang solutif.

Kebijakan yang benar-benar menyentuh persoalan harus mampu menurunkan beban biaya hidup, memperkuat jaring pengaman sosial, dan memastikan akses keuangan tetap inklusif—termasuk bagi masyarakat yang belum melek digital.

Transformasi digital yang didorong pemerintah, tanpa kesiapan infrastruktur dan literasi yang merata, justru menciptakan jarak antara sistem keuangan formal dan kebutuhan masyarakat akar rumput.

Persepsi pembatasan akses uang tunai, meski dibantah otoritas moneter, tetap menimbulkan kecemasan. Di banyak daerah, uang tunai masih menjadi andalan transaksi, terutama di sektor informal.

Momen Refleksi Keadilan Ekonomi

Lebaran 2025 menjadi cermin besar bagi arah pembangunan ekonomi nasional.

Ketika sebagian besar masyarakat tak mampu pulang kampung, itu bukan semata karena pilihan pribadi, melainkan cerminan ketidakmampuan ekonomi. Ini bukan sekadar masalah transportasi, tapi soal keadilan ekonomi yang belum sepenuhnya hadir di tengah masyarakat.

Pemerintah perlu bergerak dari respons seremonial menuju solusi struktural.

Subsidi BBM untuk angkutan umum, pembebasan biaya tol saat mudik, hingga penguatan program perlindungan sosial menjadi kebutuhan mendesak. Tradisi mudik yang luhur tak boleh tergerus oleh tekanan ekonomi. Ia harus dijaga, bukan hanya demi budaya, tapi karena ia adalah sirkulasi ekonomi yang adil.

Jika dibiarkan, kita berisiko kehilangan momen tahunan yang selama ini menjadi motor penggerak ekonomi rakyat.

Lebaran 2025 bukanlah sekadar catatan penurunan statistik. Ia adalah panggilan untuk memastikan bahwa pembangunan benar-benar berpihak pada mayoritas rakyat kecil. Ekonomi harus ikut pulang—kembali ke rakyat, kembali ke desa, kembali ke inti semangat Indonesia.

END

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *