Achmad berpendapat, penilaian kinerja mata uang yang hanya berdasarkan depresiasi nominal di pasar nilai tukar asing (foreign exchange) bisa menyesatkan. Klaim kondisi rupiah lebih baik dibandingkan negara lain dianggap sebagai pendekatan reduktif yang mengabaikan faktor-faktor kompleks yang membentuk ekonomi suatu negara.
MAJALAHCEO.co.id, Jakarta – Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat mengingatkan pemerintah untuk bijak dan berhati-hati mengelola utang, terutama yang dilakukan dalam bentuk dolar Amerika Serikat (AS).
Menurut Achmad, prinsip kehati-hatian sangat penting lantaran mata uang dolar Amerika Serikat tengah berada dalam tren penguatan secara signifikan.
Achmat mengatakan, penguatan dolar AS sedianya telah membuat banyak mata uang negara-negara lain bertekuk lutut, tak terkecuali Indonesia. Karenanya, cermat dan teliti menjadi keniscayaan bagi pengelola keuangan negara sebelum memutuskan menarik utang berdenominasi dolar AS saat ini.
Pemerintah kerap menyatakan pelemahan rupiah yang terjadi masih dalam level yang belum begitu mengkhawatirkan. Hal tersebut diukur dari tingkat depresiasi nilai tukar yang dialami rupiah jika dibandingkan dengan negara lain.
Namun pernyataan pemerintah tersebut, menurut Achmad, justru dapat menjadi bumerang dan berpotensi menyesatkan.
“Pernyataan ini cenderung menyesatkan dan dapat mengurangi urgensi dalam menangani masalah fundamental ekonomi Indonesia,” kata Achmad melalui keterangan tertulis, dikutip Minggu, 28 April 2024.
Achmad berpendapat, penilaian kinerja mata uang yang hanya berdasarkan depresiasi nominal di pasar nilai tukar asing (foreign exchange) bisa menyesatkan. Klaim kondisi rupiah lebih baik dibandingkan negara lain dianggap sebagai pendekatan reduktif yang mengabaikan faktor-faktor kompleks yang membentuk ekonomi suatu negara.
Meski tampaknya pelemahan rupiah terlihat lebih minimal dibandingkan dengan mata uang negara lain, hal itu tidak serta merta diartikan bahwa kondisi ekonomi Indonesia lebih stabil atau lebih baik dari negara lain.
“Ketidakseriusan dalam menanggapi angka-angka ini menyebabkan kegagalan dalam mengatasi masalah yang lebih mendalam, seperti ketergantungan berlebihan terhadap utang luar negeri, defisit transaksi berjalan, dan ketidakseimbangan neraca perdagangan,” kata Achmad.
Achmad menuturkan, sejauh ini ekonomi Indonesia mengalami utang luar negeri yang terus meningkat, defisit transaksi berjalan yang membesar dan ketidakseimbangan neraca perdagangan yang persisten.
Ketiga faktor itu dinilai sebagai faktor fundamen yang menyebabkan nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp16.200 per dolar AS dan diperkirakan bisa mencapai Rp16.900 per dolar AS di akhir 2024.
Achmad berpandangan, ketidakseriusan dalam menghadapi pelemahan rupiah mencerminkan kegagalan dalam mengatasi masalah ekonomi yang lebih kompleks. Fokus yang sempit pada perbandingan nilai tukar dapat mengaburkan gambaran yang lebih besar, terutama masalah seperti ketergantungan yang tinggi terhadap utang luar negeri.
“Padahal utang ini membebani anggaran negara dengan pembayaran bunga yang besar, membatasi kemampuan pemerintah untuk berinvestasi dalam pembangunan ekonomi domestik,” jelas Achmad.
Perbaiki masalah fundamental rupiah
Karenanya, dia mendorong pemerintah dan otoritas terkait untuk bisa menyentuh masalah fundamental perihal kondisi rupiah.
Sebut Achmad, hal pertama yang dapat ditempuh ialah melalui diversifikasi pembiayaan pembangunan ekonomi dengan mengurangi ketergantungan utang luar negeri, baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Kedua, kata dia, reformasi kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal saat ini dinilai belum mengoptimalkan struktur pajak untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani sektor produktif.
Ketiga, kebijakan moneter yang proaktif. Koordinasi yang lebih erat antara pemerintah dan Bank Indonesia untuk menjaga inflasi dan stabilitas nilai tukar.
“Kadang BI terkesan sendirian menjadi guardian of rupiah, padahal seharusnya koordinasi dapat memperkuat rupiah tanpa kehilangan devisa Indonesia yang signifikan,” terang Achmad.
“Melalui pendekatan yang lebih holistik dan fokus pada kekuatan internal ekonomi, Indonesia dapat membangun fondasi yang lebih kokoh untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang inklusif dan berkelanjutan. Memperkuat nilai tukar rupiah bukan hanya melalui intervensi pasar, tetapi melalui pembenahan struktural yang akan memperbaiki ekonomi dari dalam,” lanjut dia.
Perlu mengelola utang secara bijak
Sementara itu, Analis Utama Ekonomi Politik dari Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45) Reyhan Noor menilai dalam jangka pendek, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan mempengaruhi pembayaran bunga utang luar negeri.
Peningkatan beban pembayaran utang memang sedang dialami oleh banyak negara, termasuk AS. Bahkan AS memiliki tagihan biaya bunga yang lebih tinggi dari anggaran pertahanannya.
“Hal ini perlu menjadi perhatian karena Indonesia memiliki beban tambahan berupa perbedaan nilai tukar,” kata Reyhan.
Pemerintah perlu mengelola utang secara bijak karena pelemahan nilai tukar juga berpengaruh signifikan terhadap kemungkinan defisit anggaran yang lebih besar.
Salah satu instrumen yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah adalah kebijakan Automatic Adjustment sehingga ruang fiskal dapat terjaga.
“Instrumen lainnya adalah pengelolaan extra budget yang bisa digunakan untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi di tengah keterbatasan ruang fiskal,” tambah dia.
Adapun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pengelolaan utang terus dilakukan dengan baik dan memerhatikan kondisi perekonomian di level dunia maupun domestik. Kehati-hatian dalam pengadaan utang juga menjadi prinsip yang dijalankan oleh Bendahara Negara.
Hal itu ditunjukkan dengan pengadaan utang yang mengalami penurunan. Per Maret 2024, pemerintah telah menarik utang senilai Rp104,7 triliun, turun 53,5 persen dari realisasi pengadaan utang di periode yang sama tahun lalu senilai Rp225,4 triliun. “Jadi kita ini cukup hati-hati,” tegas Sri Mulyani.
Realisasi pengadaan utang itu berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp104 triliun dan pinjaman neto Rp600 miliar. Utang dari SBN pada Maret 2024 tercatat turun 52,2 persen dari realisasi di periode yang sama pada 2023 sebesar Rp217 triliun. Sedangkan pengadaan utang melalui pinjaman tercatat turun 91,9 persen dari realisasi Maret 2023 yang mencapai Rp7,8 triliun.
“Ini adalah waktu yang cukup dinamis karena nilai tukar, suku bunga, yield, dan juga guncangan yang berasal dari AS, Eropa, Jepang, dan Timur Tengah. Empat hal ini yang akan menentukan terutama untuk instrumen global kita. Instrumen dalam negeri kita lihat antara retail dan institusional. Ini semua kita waspadai dan akan menentukan arah pembiayaan kita,” jelas Sri Mulyani.
[medcom/nug/red]