Opini  

Demokrasi Religius: Urgensi Kesalehan Bernegara

Prof. Dr. Muhammad Azhar, MA *)

Berita penangkapan beberapa penceramah yang dikonotasikan sebagai radikalis bahkan terduga teroris mewarnai berbagai media massa termasuk medsos. Pro kontra pun muncul, dan isu yang muncul menjadi perhatian khalayak ramai karena yang disebut radikalis dan teroris justeru menyasar ke tokoh agama, sesuatu yang naif tentunya dan di situlah letak kontroversinya.

Naif dan kontroversial sebab tokoh agama secara umum dinilai sebagai orang saleh. Sayangnya sebagian warga kurang menyadari bahwa kesalehan seorang figur agama tidak cukup direpresentasikan pada kesalehan ritual, termasuk kesalehan aksesoris lahiriah lainnya berupa atribut keagamaan yang dipakai.

Namun ada bentuk kesalehan lain yang tak kalah urgensinya yakni kesalehan ideologis dan politis, kesalehan ber-NKRI, kesalehan dan disiplin dalam bernegara dan berbineka tunggal ika. Kesalehan dalam berinteraksi dengan berbagai komunitas warga bangsa yang multietnis, multiprofesi dan multiagama.

Dalam sejarah Islam, figur Nabi Muhammad SAW telah memberikan keteladanan bahwa Nabi selain taat menjalankan ritualitas keagamaan, juga beliau memberi guidance bagaimana umat Islam juga dapat memberi contoh sebagai warga negara yang baik, taat pada pemimpin yang telah disepakati segenap warga bangsa dan – dalam khazanah politik modern – telah mendapat legitimasi yuridis sesuai UU dan konstitusi yang berlaku.

Secara faktual historis, Nabi Muhammad SAW pernah memerintahkan umat Islam untuk meruntuhkan masjid Dhirar. Alkisah, saat itu, Bani Amir membangun Masjid Quba’ di pinggiran kota Madinah, lalu mereka mengundang Nabi untuk shalat di sana, dan Nabi memenuhi keinginan mereka.

Adapun Bani Ghanim bin Auf, penggagas pembangunan masjid kaum munafik, mengundang juga Rasulullah SAW, tetapi ketika itu Rasul sedang bersiap-siap menuju Tabuk.

Pulang dari perang Tabuk, Nabi bersiap menuju masjid Dhirar untuk shalat. Sebelum terlaksana turun firman Allah surat At-taubah (9: 107), ”Dan orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan terhadap orang-orang Mukmin secara khusus, dan masyarakat secara umum, dan untuk kekafiran dan tujuan pengingkaran kepada Allah SWT serta untuk memecah belah antara orang-orang Mukmin…”

Akhirnya Nabi membatalkan niatnya berkunjung ke masjid Bani Ghani dan memerintahkan beberapa orang untuk merobohkan masjid tersebut. Lokasi bangunan masjid tsb dijadikan tempat pembuangan bangkai dan najis.

Kisah diatas menjadi inspirasi kontekstual bahwa ada dua kelompok kecil umat yang berpotensi merusak sendi-sendi kehidupan bernasyarakat dan bernegara, di sepanjang masa: kaum munafiqun dan kaum jahilun (yang kurang memiliki kecukupan dan keluasan wawasan atau pemahaman), dalam hal ini konteks keluasan paham agama terutama yang terkait dengan keutuhan persatuan umat, warga bangsa yang plural dan negara.

Bukankah syiar keagamaan sangat membutuhkan adanya stabilitas sosial, politik dan ekonomi?. Semoga umat dan warga bangsa Indonesia tidak mudah terpengaruh oleh berbagai hasutan yang dapat merusak tatanan bangsa dan negara, termasuk hasutan, ujaran kebencian dan provokasi dari figur yang kelihatan saleh secara aksesori keagamaan, namun jauh dari prinsip kesalehan dalam bernegara.

Peringatan dari Menag RI, Gus Yaqut agar warga bangsa berhati-hati terhadap figure yang melakukan politisasi agama – terutama menjelang pemilu mendatang – merupakan suatu pentingnya upaya terwujudnya kesalehan dalam konteks kenegaraan. Wallahu a’lam bisshawab.

*) Dosen FAI-Pascasarjana UMY dan LARI (Lingkar Akademisi Reformis Indonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *