Opini  

Menegakkan Kembali Marwah Jurnalis

Foto ilustrasi pixabay

Catatan D. Supriyanto Jagad N *)

Akhir-akhir ini kasus intimidasi terhadap jurnalis di Indonesia cenderung meningkat dan menjadi sorotan.  Sejumlah kasus mengemuka, dan membuat keprihatinan kalangan pekerja pers. Kasus terkini yang mencuat ke publik seperti jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana, menerima teror berupa pengiriman kepala babi tanpa telinga pada 19 Maret 2025, diikuti bangkai tikus pada 22 Maret 2025. Kasus ini juga disertai serangan digital seperti doxing (penyebaran data pribadi) yang menargetkan identitas gendernya.

Kasus lainnya, pada 5 April 2025, jurnalis foto LKBN Antara, Makna Zaezar, mengalami kekerasan fisik oleh ajudan Kapolri saat meliput di Stasiun Tawang, Semarang. Insiden ini memicu kecaman dari organisasi jurnalis seperti AJI dan PFI, serta permintaan maaf dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Kekerasan dan teror terhadap jurnalis merupakan isu serius yang mengancam kebebasan pers dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi. Di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, jurnalis sering menghadapi ancaman, intimidasi, hingga kekerasan fisik saat menjalankan tugas mereka, terutama ketika meliput isu-isu sensitif seperti korupsi, konflik lingkungan, atau kritik terhadap kekuasaan.

Tindakan intimidatif tersebut, dipandang sebagai upaya sistematis untuk membungkam pers yang kritis. Berdasarkan data yang dihimpun, menunjukkan tren peningkatan kekerasan terhadap jurnalis dalam beberapa tahun terakhir. Bentuk kekerasan mulai dari serangan fisik, teror verbal, hingga serangan digital. Pelaku kekerasan pun beragam, termasuk aktor negara seperti aparat keamanan, aparat pemerintah, hingga kelompok non-negara seperti organisasi masyarakat atau perusahaan.

Dampak dari kekerasan dan teror ini sangat luas. Jurnalis yang terintimidasi cenderung melakukan swa-sensor, sehingga informasi penting tidak sampai ke publik. Ini melemahkan demokrasi, karena pers yang bebas adalah pilar utama transparansi dan akuntabilitas. Di Indonesia, meskipun ada perlindungan hukum melalui UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, penegakan hukum sering kali lemah, dan pelaku kekerasan jarang diadili, menciptakan iklim impunitas.

Sebagai pekerja media, saya sangat prihatin dengan kondisi yang terjadi belakangan ini. Jurnalis seakan dipandang sebelah mata.

Pandangan sebelah mata terhadap jurnalis sering muncul karena persepsi bahwa mereka hanya “penutur berita” atau rentan bias dalam laporan. Padahal, jurnalis berperan krusial dalam menyampaikan fakta, menggali kebenaran, dan menjadi pilar demokrasi.

Faktor seperti tekanan komersial, polarisasi media, atau kasus jurnalisme yang kurang etis bisa memperburuk citra jurnalis. Namun, jurnalis yang profesional, dengan integritas dan komitmen pada kebenaran, tetap mendapat respek tinggi. Masyarakat perlu lebih memahami tantangan profesi ini, seperti risiko keamanan dan tekanan politik, agar tidak memandang remeh jurnalis.

Profesi jurnalis harus dikembalikan marwahnya. Karena itu, semua bentuk kekerasan terhadap wartawan merupakan pelanggaran hukum yang pelakunya harus ditindak. Bahkan kekerasan terhadap wartawan dalam melaksanakan tugas jurnalistik merupakan ancaman terhadap kemerdekaan pers.

Menegakkan Kembali Marwah Jurnalis

Menegakkan kembali marwah jurnalis memerlukan upaya kolektif untuk mengembalikan integritas, independensi, dan profesionalisme dalam profesi jurnalistik, yang sering kali tergerus oleh tantangan seperti tekanan komersial, politik, atau intimidasi.

Pekerja pers [jurnalis] harus memegang teguh kode etik, seperti yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers di Indonesia, yang menekankan independensi, akurasi, dan menolak segala bentuk suap atau intervensi.

Untuk menegakkan kembali marwah jurnalis, harus dibarengi dengan upaya meningkatkan profesionalisme, melalui pelatihan jurnalistik, termasuk penguasaan kaidah jurnalistik klasik dan adaptasi terhadap media digital, dapat memperkuat kualitas kerja jurnalis. Dewan Pers dan organisasi seperti Reuters telah menyelenggarakan pelatihan untuk memastikan jurnalis mampu menghasilkan karya yang kredibel di era digital.

Melawan Intimidasi dan Kekerasan

Kasus seperti teror terhadap jurnalis Tempo dengan pengiriman bangkai hewan menunjukkan ancaman nyata terhadap kebebasan pers. Dukungan dari Dewan Pers, penegakan hukum yang tegas, dan solidaritas masyarakat sipil diperlukan untuk melindungi jurnalis.

Dengan berkaca pada sejumlah kasus kekerasan, pekerja media, baik cetak maupun elektronik, agar menaati Kode Etik Jurnalistik, menjalankan Standar Perilaku Penyiaran, mengedepankan sikap independen, dan tidak partisan dalam melaksanakan tugas peliputan.

Hal tersebut sangat membantu untuk mengurangi potensi kekerasan terhadap wartawan di lapangan. Profesionalisme wartawan itu sejalan dengan perintah UU tentang Pers. Pasal 7 UU Pers menegaskan wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Itu artinya pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik tidak semata pelanggaran etika atau moral, tapi juga pelanggaran atas kaidah hukum. Ketaatan atas Kode Etik Jurnalistik telah diperintahkan UU Pers.

Memperkuat Independensi Media

Media harus menghindari praktik berpihak atau mengikuti kepentingan pemilik. Dewan Pers menekankan bahwa independensi adalah kunci untuk menjaga kepercayaan publik, terutama di tengah maraknya media online yang kurang profesional.

Tantangan seperti penurunan kualitas jurnalisme akibat kejaran klik atau tekanan eksternal memang besar, namun dengan komitmen pada etika, perlindungan hukum, dan dukungan publik, marwah jurnalis dapat ditegakkan kembali. Solidaritas dari semua pihak, termasuk pembaca, sangat penting untuk memastikan jurnalisme tetap menjadi pilar demokrasi yang independen dan bermartabat

Selain itu, independensi media akan memengaruhi taat-tidaknya wartawan pada Kode Etik Jurnalistik dalam menulis berita. Hanya media yang betul-betul independen yang dapat ‘memaksa’ wartawannya untuk tetap komit menulis berita yang memenuhi kode etik profesi.

Persoalannya apakah semua media massa (cetak, elektronik, dan daring) di Indonesia benar-benar independen? Bagi media yang menunjukkan keberpihakan, sangat mungkin berita yang dihasilkan berpotensi menimbulkan ketegangan atau gesekan di tengah masyarakat.

Jadi, ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik dapat menjadi salah satu solusi untuk meminimalkan kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan.

Meningkatkan Literasi Publik

Masyarakat perlu diedukasi untuk membedakan berita valid dari hoaks, sehingga tekanan terhadap jurnalis untuk menghasilkan konten sensasional berkurang. Dukungan publik melalui langganan media kredibel juga dapat memperkuat ekosistem pers yang sehat.

Edukasi ini perlu dilakukan terus-menerus, terutama di era media sosial yang memudahkan penyebaran hoaks.

Peraturan seperti yang dikeluarkan Dewan Pers tentang pengelolaan akun media sosial perusahaan pers dapat membantu menekan penyebaran berita tidak valid di platform digital, sekaligus menjaga marwah jurnalistik.

Untuk menegakkan kembali marwah jurnalis dan meminimalisir kasus kekerasan terhadap jurnalis, pemerintah perlu memperkuat implementasi UU Pers No. 40 Tahun 1999 untuk melindungi jurnalis, termasuk mengecualikan aktivitas jurnalistik dari UU Perlindungan Data Pribadi.

Media dan jurnalis disarankan menggunakan perangkat penilaian risiko sebelum liputan, terutama pada isu sensitif.

Publik dapat mendukung kebebasan pers dengan mengawal kasus-kasus kekerasan dan menolak normalisasi intimidasi.

Mari kita tegakkan marwah jurnalis, kita bersama-sama membangun bangsa ini ke arah yang lebih baik melalui karya jurnalistik.

Tanjung Barat, medio April 2025

*) D. Supriyanto Jagad N, pekerja media, Sekretaris Jenderal DPP Persatuan Wartawan Republik Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *