MAJALAHCEO.co.id, Jakarta – Rupiah sedang mengalami tekanan berat akibat kebijakan tarif Amerika Serikat (AS) yang baru-baru ini diumumkan.
Berdasarkan informasi terkini, Presiden AS Donald Trump pada 2 April 2025 mengumumkan penerapan tarif resiprokal terhadap mitra dagang AS, termasuk Indonesia, sebagai bagian dari upaya mengurangi defisit perdagangan global.
Indonesia dikenakan tarif sebesar 32%, yang merupakan salah satu angka tertinggi, ditambah dengan tarif tambahan 25% untuk mobil produksi di luar AS yang mulai berlaku hari ini, 3 April 2025.
Menurut analis Doo Financial Futures Lukman Leong, dikutip dari Antara, rupiah bakalan tertekan berat sebagai salah satu negara yang dikenakan tariff reciprocal besar.
“ Indonesia (mendapatkan tarif) 32 persen. Rupiah bakalan tertekan berat sebagai salah satu negara yang dikenakan tariff reciprocal besar,” kata Lukman di Jakarta, Kamis [3/4] dikutip dari Antara
Kebijakan ini memengaruhi nilai tukar rupiah karena Indonesia sangat bergantung pada ekspor ke AS, yang menyumbang porsi signifikan dari surplus perdagangan non-migas.
Dengan tarif yang tinggi, ekspor Indonesia ke AS berpotensi menurun drastis, sehingga permintaan terhadap rupiah berkurang dan tekanan pada nilai tukarnya meningkat.
Pagi ini, kurs rupiah di Jakarta sudah melemah 59 poin atau 0,36% menjadi Rp16.772 per dolar AS dari posisi sebelumnya Rp16.713.
Analis memprediksi rupiah bisa bergerak volatile dan berpotensi mencapai kisaran Rp16.600 hingga Rp16.900 dalam waktu dekat, dengan kemungkinan intervensi dari Bank Indonesia (BI) untuk menstabilkan pasar.
Selain itu, sentimen pasar global saat ini negatif, diperparah oleh volatilitas indeks dolar AS yang menguat akibat kebijakan tarif ini.
Jika situasi berlanjut, dampaknya tidak hanya terasa pada rupiah, tetapi juga pada stabilitas ekonomi domestik, terutama dengan melemahnya daya beli dan potensi anjloknya pasar saham seperti IHSG.
Situasi ini memang menantang, dan pemerintah serta BI perlu langkah strategis untuk meredam tekanan lebih lanjut.
[Jagad N]