Oleh: Syahril Syam *)
Manusia memang luar biasa karena otaknya dirancang untuk membantu kita bertahan hidup, merasa nyaman dalam hubungan sosial, dan menghadapi berbagai tantangan. Kita diciptakan dengan otak yang mampu beradaptasi, belajar, dan berinteraksi dengan orang lain. Otak kita sebenarnya dirancang untuk mendukung kita agar tetap sehat secara mental dan mampu menghadapi tantangan hidup. Tapi, ada satu hal penting yang membuat perbedaan besar: kehendak bebas, yaitu kebebasan kita untuk memilih apa yang akan kita lakukan, karena merupakan kunci untuk mengaktualkan potensi ini.
Otak manusia adalah alat adaptasi yang sangat luar biasa. Otak tidak hanya dirancang untuk membantu kita bertahan hidup secara fisik, tetapi juga untuk menavigasi dunia sosial. Ia bekerja secara terus-menerus untuk memprediksi, menyesuaikan diri, dan merespons tantangan yang kita hadapi, termasuk stres, kecemasan, depresi, dan hubungan sosial. Namun, melalui kehendak bebas, manusia seringkali memilih jalan yang tidak mendukung kesehatan mentalnya, sehingga mereka menjadi tidak adaptif. Otak kita tidak bekerja secara pasif, tetapi berperan aktif dalam menciptakan pengalaman kita dan menyesuaikan tubuh agar dapat bertahan hidup secara efektif.

Otak memanfaatkan allostasis untuk menjaga keseimbangan tubuh. Misalnya, ketika seseorang menghadapi stres seperti tenggat waktu kerja, otak memprediksi kebutuhan tubuh (seperti energi tambahan), lalu menghasilkan hormon seperti kortisol untuk membantu kita fokus dan menyelesaikan tugas. Namun, kebanyakan orang memilih cara yang tidak sehat untuk menghadapi stres, seperti menghindari tanggung jawab, berlebihan dalam konsumsi makanan cepat saji, atau menggunakan media sosial untuk “melarikan diri”.
Pilihan ini bisa memperburuk kondisi karena otak tidak belajar menghadapi stres secara adaptif. Seorang mahasiswa yang stres menghadapi ujian memilih untuk mengisolasi diri dan merasa bahwa dirinya tidak cukup pintar. Akhirnya, ia semakin tertekan dan tidak belajar dengan efektif. Padahal, mahasiswa yang sama bisa menyadari bahwa stres adalah bagian dari prediksi otak yang bisa dikelola. Ketika ini yang menjadi pilihannya, maka ia bisa memilih untuk meminta bantuan teman belajar atau mencari dukungan emosional, sehingga rasa stresnya berkurang dan ia lebih siap menghadapi ujian.
Ketika merasa cemas, otak sebenarnya sedang mencoba melindungi kita dari bahaya yang mungkin terjadi. Kita cenderung merasa takut mencoba hal baru, seperti memulai bisnis kecil atau belajar keterampilan baru, karena otak memprediksi kita akan gagal dan merasa malu. Alih-alih tetap di zona nyaman dengan tidak memulai bisnis yang kita impikan atau menolak kursus karena takut gagal, sehingga membuat otak semakin yakin bahwa mencoba sesuatu yang baru adalah risiko yang berbahaya; bukankah kita bisa memulai dengan risiko kecil. Misalnya, mencoba menjual satu produk kepada teman atau bergabung dalam kelas gratis untuk keterampilan yang ingin kita pelajari.
Saat kita mendapat pengalaman positif, seperti umpan balik baik dari pelanggan atau memahami keterampilan baru, otak akan menyadari bahwa mencoba hal baru bukan ancaman besar. Otak kita selalu ingin melindungi kita dengan memprediksi potensi bahaya berdasarkan pengalaman sebelumnya. Namun, kita bisa melatih otak untuk membuat prediksi yang lebih realistis dan positif dengan memberikan pengalaman baru secara perlahan. Dengan cara ini, kita menjadi lebih adaptif dalam menghadapi stres, kecemasan, dan tantangan sehari-hari.
Otak kita sebenarnya dirancang untuk mencari kebahagiaan dengan bergerak, terhubung dengan orang lain, dan melakukan sesuatu yang bermakna. Hal-hal ini membantu otak memproduksi bahan kimia seperti serotonin, yang membuat kita merasa lebih baik. Alih-alih menarik diri dari teman, tidur sepanjang hari, atau tidak melakukan apa-apa, yang membuat otak sulit memproduksi serotonin, sehingga depresi semakin dalam; bukankah kita bisa memutuskan untuk bangun dan berjalan-jalan di taman, menelepon teman, atau mencoba aktivitas baru. Dengan begitu, otak kita mulai mendapatkan dorongan positif dan menciptakan pola baru yang lebih sehat.
Meskipun otak kita dirancang untuk beradaptasi dan mendukung kesehatan mental, seringkali manusia membuat pilihan yang tidak membantu. Kebanyakan orang cenderung memilih untuk tidak menghadapi masalah pekerjaan dan malah menunda-nunda. Akibatnya, otak tidak belajar cara mengelola stres dengan baik. Banyak orang sering memilih hal yang memberikan kenyamanan instan daripada berolahraga atau menghadapi tantangan baru. Pilihan ini mungkin terasa baik sesaat, tapi buruk untuk jangka panjang. Selain itu, banyak orang tidak tahu bahwa otak mereka bisa berubah (neuroplastisitas). Akibatnya, mereka merasa “terjebak” dengan pola pikir atau kebiasaan lama.
Setiap hari, kita selalu dihadapkan pada pilihan. Apakah kita mau menghadapi tantangan dengan cara yang positif, atau malah menghindar karena takut gagal? Apakah kita ingin membuka diri dan menjalin hubungan dengan orang lain, atau memilih untuk tetap menyendiri dan menjaga jarak? Apakah kita siap mencoba hal baru dan belajar dari pengalaman, atau tetap nyaman dengan kebiasaan lama meskipun itu tidak membantu kita berkembang? Pilihan-pilihan kecil yang kita buat setiap hari sangat berpengaruh, termasuk bagaimana kita mengelola stres, kecemasan, dan depresi. Pilihan-pilihan ini mungkin terlihat sederhana, tapi jika dilakukan terus-menerus, mereka bisa membentuk kebiasaan yang membantu kita lebih tangguh dalam menghadapi hidup.
Otak kita adalah alat yang luar biasa yang dirancang untuk membuat kita bertahan hidup dan berkembang. Ia bisa memprediksi, belajar, dan berubah berdasarkan pengalaman kita. Namun, pilihan kita menentukan apakah kita menggunakan kemampuan otak ini untuk mendukung kesehatan mental kita atau tidak. Kehendak bebas adalah anugerah sekaligus tanggung jawab.
Ketika digunakan dengan baik – dengan kesadaran diri, pola pikir yang positif, dan keberanian untuk berubah – kita dapat mencapai kesejahteraan mental dan emosional yang luar biasa. Sebaliknya, jika kehendak bebas diarahkan ke pilihan yang salah, potensi ini bisa tersia-sia, dan dampaknya adalah ketidakbahagiaan atau bahkan gangguan mental.
Ketika kita memilih untuk tidak memanfaatkan kemampuan adaptif otak, kita berisiko jatuh dalam pola pikir dan perilaku yang tidak sehat. Dengan memilih untuk belajar, beradaptasi, dan merespons secara lebih sehat, kita bisa menggunakan potensi otak kita untuk meningkatkan kesehatan mental dan menjalani kehidupan yang lebih baik. Pada akhirnya, otak memberi kita potensi, tetapi pilihan ada di tangan kita.
@pakarpemberdayaandiri