Oleh: Syahril Syam *)
Richard Layard atau Prof. Lord Layard adalah salah satu ekonom pertama yang meneliti kebahagiaan. Sebagai seorang ekonom, Layard menggunakan bukti-bukti empiris untuk menunjukkan bahwa meskipun dunia mengalami kemajuan yang pesat dalam hal pendapatan dan standar hidup, kebahagiaan tidak selalu meningkat secara sebanding.
Banyak faktor lain – termasuk ketidaksetaraan sosial, stres, kecemasan, dan pengabaian hubungan sosial – menjadi penghalang untuk merasakan kebahagiaan yang lebih tinggi meskipun kemajuan material telah tercapai. Dengan kata lain, pendapatan suatu negara meningkat dan standar hidup masyarakat membaik, namun hal tersebut tidak berbanding lurus dengan peningkatan kebahagiaan. Inilah kenyataan yang paradoks.
Paradox of Progress adalah sebuah fenomena dimana kemajuan ekonomi dan material, meskipun membawa peningkatan standar hidup, tidak selalu membuat manusia lebih bahagia. Richard Layard menunjukkan bahwa meskipun pendapatan per kapita meningkat di banyak negara maju sejak pertengahan abad ke-20, ternyata tingkat kebahagiaan masyarakat tidak mengalami peningkatan signifikan. Bahkan, dalam beberapa kasus, kebahagiaan justru stagnan atau menurun. Hal ini terjadi karena manusia cenderung terjebak dalam beberapa jebakan psikologis dan sosial yang menyertai kemajuan modern.
Kemajuan seringkali diibaratkan sebagai pedang bermata dua, karena ia membawa manfaat sekaligus tantangan. Di satu sisi, kemajuan memberikan kita kemudahan hidup yang luar biasa. Dengan adanya teknologi yang semakin canggih, akses ke informasi yang cepat, dan fasilitas yang lebih baik, kehidupan sehari-hari kita menjadi jauh lebih mudah dan nyaman. Pekerjaan menjadi lebih efisien, komunikasi antar individu semakin lancar, dan kita dapat menikmati kenyamanan yang sebelumnya tidak terbayangkan. Semua itu memberi kita peluang untuk hidup lebih baik, menghemat waktu, dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.
Namun, di sisi lain, kemajuan juga membawa tekanan yang seringkali tidak kita sadari. Berikut adalah tiga jebakan besar yang sering dialami manusia modern: Pertama, Manusia Selalu Menginginkan Lebih. Ini menggambarkan salah satu sifat dasar manusia yang cenderung tidak pernah merasa puas dengan apa yang sudah dimilikinya. Sifat ini seringkali terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, setelah memperoleh pekerjaan yang lebih baik, seseorang mungkin merasa bangga dan puas pada awalnya, namun seiring waktu, ia mulai mencari pekerjaan yang lebih bergengsi atau lebih menguntungkan.
Kebanyakan manusia terus mencari kebahagiaan melalui pencapaian dan akumulasi lebih banyak, tetapi pada akhirnya, rasa puas tersebut hilang dan mereka kembali merasa kekurangan, meskipun mereka telah mendapatkan banyak hal. Manusia cepat beradaptasi dengan peningkatan materi, sehingga kebahagiaan dari pencapaian material hanya sementara.
Kedua, Perbandingan Sosial. Kebahagiaan seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang mereka miliki, tetapi juga oleh bagaimana mereka membandingkan diri mereka dengan orang lain. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun kebutuhan dasar seseorang mungkin sudah tercukupi – seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan – mereka bisa merasa tidak bahagia jika mereka merasa tertinggal dibandingkan dengan teman, tetangga, atau orang lain di sekitar mereka dalam hal pendapatan atau gaya hidup. Layard mengutip studi yang menunjukkan bahwa perbedaan relatif dalam pendapatan seringkali lebih berpengaruh terhadap kebahagiaan dibandingkan dengan jumlah pendapatan itu sendiri. Artinya, meskipun seseorang memiliki pendapatan yang lebih besar dari sebelumnya, jika mereka merasa masih kalah dalam hal pendapatan atau status dibandingkan dengan orang lain, kebahagiaan mereka tidak meningkat secara signifikan.
Hal ini mengarah pada kesimpulan bahwa kebahagiaan lebih bergantung pada perbandingan sosial daripada pencapaian absolut. Dengan demikian, kebahagiaan tidak hanya terkait dengan apa yang seseorang miliki, tetapi juga dengan seberapa baik ia merasa dibandingkan dengan orang lain. Faktor-faktor sosial dan psikologis ini menunjukkan betapa pentingnya untuk menjaga rasa cukup dan kepuasan internal, serta menghindari perbandingan sosial yang dapat merusak kebahagiaan kita.
Ketiga, Konsumsi Berlebihan dan Tekanan Materialisme. Kemajuan teknologi dan pemasaran telah menciptakan lingkungan yang mendorong konsumerisme dengan sangat kuat. Melalui kemajuan teknologi, seperti iklan digital yang sangat tersegmentasi dan media sosial yang mengutamakan citra kehidupan mewah, orang-orang semakin terobsesi dengan memiliki lebih banyak barang, meskipun mereka tahu bahwa kebahagiaan jangka panjang tidak terletak pada kepemilikan materi. Pemasaran yang canggih membuat seseorang merasa bahwa kebahagiaan datang dari memiliki produk terbaru, memperbarui gaya hidup, atau mengikuti tren tertentu.
Dengan standar hidup yang semakin tinggi dan tekanan untuk terus mengikuti gaya hidup mewah, banyak orang merasa harus bekerja lebih keras untuk membeli barang-barang yang “diperlukan” untuk mengikuti tren. Hal ini menciptakan ketegangan dan stres, karena mereka merasa harus memenuhi ekspektasi sosial, baik dari teman, keluarga, atau masyarakat pada umumnya. Fokus yang berlebihan pada konsumerisme juga menyebabkan orang kehilangan waktu untuk hal-hal yang lebih bermakna, seperti hubungan sosial, kesehatan mental, dan waktu untuk diri sendiri.
Selain ketiga jebakan di atas, kesenjangan sosial yang meningkat juga merupakan salah satu dampak sampingan yang seringkali menyertai kemajuan ekonomi, terutama di negara-negara maju. Meskipun ekonomi negara berkembang dan pendapatan masyarakat meningkat secara keseluruhan, namun keuntungan tersebut seringkali tidak tersebar merata. Sebaliknya, kesenjangan antara mereka yang berada di lapisan atas dan lapisan bawah semakin lebar. Di satu sisi, mereka yang berada di lapisan atas, seperti pemilik bisnis besar atau individu dengan gaji tinggi, semakin memperkuat posisi mereka. Mereka memiliki akses yang lebih besar ke sumber daya, pendidikan, dan kesempatan, yang memungkinkan mereka untuk terus meningkatkan kesejahteraan mereka.
Sebaliknya, mereka yang berada di lapisan bawah atau kelas pekerja seringkali merasa tertinggal. Meskipun pendapatan mereka mungkin sedikit meningkat, namun perbedaan yang semakin besar dengan lapisan atas menyebabkan mereka merasa kesulitan untuk mencapai standar hidup yang lebih baik.
Dampak psikologis dari kesenjangan sosial yang semakin lebar ini sangat signifikan. Ketika orang-orang merasa terasingkan atau tertindas karena perbedaan yang mencolok dalam status sosial dan ekonomi, hal ini menciptakan ketegangan sosial. Mereka yang merasa tertinggal cenderung mengalami perasaan frustrasi, ketidakpuasan, dan bahkan kemarahan terhadap sistem yang tampaknya tidak adil. Mereka merasa bahwa meskipun mereka bekerja keras, kesempatan untuk memperbaiki kehidupan mereka terbatas.
Kesenjangan sosial ini juga berkontribusi pada penurunan kebahagiaan kolektif masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, perasaan tidak setara ini seringkali memperburuk stres dan kecemasan, terutama bagi mereka yang berada di bawah garis kemiskinan atau kelas pekerja. Kesenjangan sosial yang meningkat tidak hanya berpengaruh pada aspek ekonomi, tetapi juga pada kesehatan mental dan kesejahteraan individu.
@pakarpemberdayaandiri