Spirit  

Optimisme, Kesehatan dan Pilpres

Syahril Syam

Oleh: Syahril Syam *)

Martin Seligman – Bapak Psikologi Positif – awalnya meneliti tentang fenomena ketidakberdayaan sebagai hasil belajar, yang nantinya menjadi cikal bakal pemahamannya tentang pesimisme. Menurut Seligman, ketidakberdayaan dan pesimisme bukanlah bawaan keturunan atau suatu sifat yang tak bisa diubah, tapi lebih karena hasil pembelajaran. Artinya ada mekanisme kognitif yang terjadi pada seseorang saat menghadapi masalah dan tantangan sehingga akhirnya melahirkan ketidakberdayaan dan pesimis.

Dengan pola mekanisme kognitif yang sama, akhirnya diketahui bahwa kita juga bisa menjadi optimis. Jadi ada orang-orang yang memandang masa depan dengan pesimis karena ia belajar bahwa ia mesti pesimis, dan ada pula yang belajar untuk menjadi optimis dalam memandang masa depan. Proses belajar sebagai sebuah mekanisme kognitif yang dimaksud adalah tentang bagaimana kita menjelaskan pada diri kita sendiri saat menghadapi sebuah peristiwa. Ada yang memandang masalah secara universal, bahwa pada dasarnya ia selalu sial karena masalah selalu menimpanya. Ada juga yang memandang masalah secara parsial, bahwa ini hanyalah sebuah masalah yang harus dihadapi dan hanya terkait dengan kondisi saat ini, serta tidak berlaku umum kepada diri sendiri.

Terkait dengan kesehatan, ada perbedaan yang sangat jelas antara orang yang pesimis dengan yang optimis. Saat seseorang merasa sedikit nyeri pada bagian dadanya, maka orang yang pesimis cenderung memandangnya secara universal bahwa ia pada dasarnya mudah sakit. Bahkan nyeri dada dipikirkan secara universal menjadi penyakit yang lebih berat dari sekadar nyeri. Pikirannya mulai melayang bahwa ada kemungkinan bukan hanya sekadar nyeri dada, tapi bisa saja terkena penyakit jantung.

Berbeda dengan mereka yang pesimis, orang yang optimis memandang nyeri dada sebagai suatu keadaan yang biasa saja. Artinya, tanpa diagnosa yang jelas, pikirannya tidak akan dibuat melayang untuk memikirkan yang aneh-aneh terkait nyeri dada yang dirasakannya. Nyeri dada hanyalah nyeri dada yang bisa saja karena kontraksi otot dan bukan karena mengalami penyakit tertentu. Orang optimis juga cenderung merasa bahwa nyeri dadanya akan cepat berlalu.

Oleh sebab itu, berikut beberapa penelitian tentang manfaat optimis terhadap kesehatan kita. Orang yang optimis umumnya lebih sehat. Merasa lebih cepat pulih setelah melewati bedah bypass coroner, dan lebih kecil kemungkinannya untuk membutuhkan perawatan rumah sakit lagi setelah menjalani operasi. Orang yang optimis juga lebih panjang umur dan kecil kemungkinannya meninggal karena penyakit jantung. Selain berkaitan dengan kesehatan, ada suatu penelitian menarik yang dilakukan pada para calon presiden pada rentang tahun 1900 sampai 1984. Studi ini menunjukkan bahwa 18 dari 22 calon presiden yang optimis telah memenangi pemilu dan menjadi presiden Amerika.

Penelitian tersebut dilakukan oleh Martin E.P. Seligman dan J.M. Tennenbaum, bahwa terdapat hubungan antara pesimisme yang berlebihan, terutama dalam bentuk rumination, dengan kekalahan kandidat presiden. Mereka menyimpulkan bahwa pesimisme yang berlebihan, khususnya dalam bentuk rumination, bisa menjadi faktor yang mempengaruhi hasil pemilihan presiden.

Sebagai penutup, rumination adalah kecenderungan untuk terus-menerus memikirkan atau merenungkan masalah, peristiwa, atau pengalaman yang memicu emosi negatif, seperti kesedihan, kecemasan, atau kekecewaan. Ini seringkali melibatkan pemikiran yang berulang-ulang tentang masalah yang sama tanpa mencapai solusi atau pemahaman yang memuaskan. Nah, calon presiden yang kalah cenderung pesimis dan seringkali dalam bentuk rumination.

@pakarpemberdayaandiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *