Opini  

Pemilik Sejarah

Dr. Muhammad Alkaf, Dosen IAIN Langsa, Aceh 

Dr. Muhammad Alkaf, Dosen IAIN Langsa, Aceh

Dalam satu acara dialog sepak bola di televisi nasional, yang berujung gaduh, seorang pengamat sepak bola berusia muda memberi pernyataan berani. Dia mulai meragukan cerita kehebatan Indonesia sebagai kekuatan sepak bola Asia di masa lalu. Alasannya sederhana, jika memang Indonesia berada pada level itu, mengapa tidak pernah bermain di Piala Dunia.

Keraguan pengamat itu dipicu oleh pernyataan dari pemain timnas era tahun 1970-an, Anjas Asmara, yang membandingkan kondisi tim nasional di masanya, dengan tim nasional asuhan Shin Tae-yong. Anjas, dengan suara gaharnya, mengatakan bahwa generasi merekalah yang mengajarkan Jepang dan Korea Selatan bermain sepak bola. Lalu berturut-turut, dia menceritakan pertandingan-pertandingan di eranya dengan tim-tim besar.

Anjas Asmara tentu saja berhak mengutarakan itu. Tetapi, dia mengabaikan perubahan zaman pada dua hal: mudahnya mengakses informasi dari era mana pun dan berubahnya cara pandang generasi sekarang terhadap masa lalu, termasuk dalam urusan sepak bola.

Sekarang, kepakaran tentang sepak bola, tidak lagi menjadi miliki segelintir elite. Siapa pun, asalkan rajin, dapat menjadi narasumber dan produsen materi sepak bola. Dahulu tidak. Ketika zaman masih berada dalam gengaman pemimpin redaksi, opini olahraga ini masih dapat dikendalikan. Efek positifnya, kita memperoleh pengetahuan tentang sepak bola yang berkualitas.

Perubahan zaman ini tentunya tidak disadari oleh Anjas Asmara. Dahulu, setiap orang memberi rasa hormat dan memiliki perasaan kikuk ketika nama Ramang disebut. Ada aura mistik ketika dia diletakkan dalam puncak piramida sejarah sepak bola Indonesia. Atau, contoh-contoh lain dari setiap generasi timnas, baik dari generasi Iswadi Idris, Rully Nere, Ricky Yacoby, Robby Darwis, Kurniawan Dwi Yulianto, sampai ke Boas Salossa.

Lalu, setelah informasi dapat diakses oleh banyak pihak, pemilik opini menjadi tersebar, tidak lagi terpusat. Implikasinya, tidak ada lagi kualitas yang mengontrol pemikiran mengenai perjalanan sejarah sepak bola Indonesia. Hasilnya, generasi timnas sebelum era Shin Tae-yong mendapatkan penilaian miring.

Hal ini tentulah tidak baik. Sama dengan tidak baiknya pemain yang datang dari masa sebelumnya yang menghakimi timnas era Shin Tae-yong dengan sebegitu kerasnya. Yang harus dipahami bersama adalah Timnas Indonesia sedang berada dalam fase menanjak. Bukankah sejak dahulu hal ini yang kita inginkan. Namun, hal yang tidak kalah penting, langkah timnas berada di level ini haruslah dilihat dari keseluruhan perjalanan panjang sejarah sepak bola negeri ini, betapa pun dari masa lalu datang kisah pilu, tetapi bukankah dari masa lampau juga datang cerita yang membanggakan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *