Oleh: Syahril Syam *)
Saat seseorang sakit hati yang dibarengi perasaan marah, kecewa, benci, atau dendam, maka saat itu ia berada dalam kondisi terkunci oleh berbagai emosi destruktif itu. Merasa terzalimi, dihina, dan merasa dalam posisi benar, apalagi jika memang secara faktual dalam permasalahan itu ia tidak bersalah. Dan memang sudah seperti itu adanya sebuah posisi ketika mengalami konflik. Artinya saat dua orang mengalami konflik, maka hanya ada dua kemungkinan, yaitu salah satunya benar atau kedua-duanya salah. Karena mustahil terjadi konflik kalau keduanya sama-sama benar.
Sakit hati yang dirasakan akan cenderung membuat seseorang merasa bahwa ia tidak bersalah dan merasa bahwa ia mesti harus sakit hati. Akan terasa aneh rasanya jika ia tidak merasa sakit hati, sehingga sudah seharusnya ia merasa sakit hati. Terlebih lagi jika secara fakta ia di posisi benar dan karenanya ia merasa layak untuk sakit hati. Ia merasa bahwa sudah benar jika ia mesti sakit hati. Dan biasanya untuk membenarkan bahwa ia layak sakit hati, maka akan muncul berbagai alasan-alasan yang membenarkan bahwa ia layak untuk sakit hati. Hal ini wajar, mengingat otak akan bekerja mengeluarkan berbagai alasan atas perasaan yang dirasakan seseorang, hanya demi membenarkan bahwa perasaan itu layak dirasakan.
Namun yang mungkin tidak disadari adalah seseorang yang sering sakit hati justru mengalami derita jika ia masih berkubang ke dalam sakit hatinya. Yang susah adalah dirinya sendiri jika masih mempertahankan sakit hatinya dan membenarkan bahwa ia memang layak untuk sakit hati. Yang terjadi bukan hanya merasa menderita, melainkan juga tanpa sadar ia merusak kondisi tubuhnya. Terlalu sering merasakan emosi destruktif akan membuat seluruh sistem tubuh perlahan-lahan menjadi rusak. Sudah menderita akibat sakit hati, ditambah lagi tubuh ikut menjadi rusak (sakit).
Oleh sebab itu, kita sudah semestinya belajar untuk keluar dari kotak derita akibat sakit hati. Bahwa sungguh tidak ada gunanya membenarkan perasaan sakit hati yang dirasakan. Merasa benar dan membenarkan perasaan sakit hati justru membuat diri sendiri menjadi susah, menderita, dan akhirnya sakit mental dan fisik. Pertanyaan yang mesti ditanyakan kepada diri sendiri adalah “Untuk apa mempertahankan suatu emosi yang justru melemahkan dan merusak diri?”
@pakarpemberdayaandiri