Opini  

Batas Baru

Dr. Muhammad Alkaf, Dosen IAIN Langsa, Aceh

Catatan : Dr. Muhammad Alkaf, Dosen IAIN Langsa, Aceh

Jangan pernah mengingat peluang dari lemparan Pratama Arhan di menit terakhir pada perebutan juara ketiga di Piala Asia U-23. Memang demikian yang tersaji bahwa nyaris gol itu membuat pikiran melayang dengan pengandaian, “Andai saja tidak ada pemain belakang Irak di garis gawang.” Tentu, itu pengandaian yang mengada-ada. Hal yang nyata bagi kita adalah Indonesia harus melalui play off melawan Gunea tanggal 9 Mei nanti untuk merebut tiket terakhir ke Paris.

Apakah kita mengutuk skuad Shin Tae-yong karena belum menyegel tiket ke Olimpiade Paris? Apakah kita akan menumpahkan kekesalan dengan kerasnya kepada sebuah negara yang belum pernah berada di turnamen Piala Asia U-23 ini? Apakah pencapaian sampai babak semi final ini kita anggap seperti layaknya tradisi yang sudah lama, seperti tradisinya yang dimiliki oleh Jepang, Korea Selatan, Arab Saudi, atau Irak?

Menurut saya, kita harus kembali melihat lekat-lekat dari mana sepak bola kita datang, dan sudah sampai di mana posisinya kini, lalu akan ke mana batas yang bisa kita capai. Dalam konteks skuad asuhan Shin Tae-yong, apa yang dipraktikkan oleh Nathan, Hubner, Jener, Ridho, dan pemain-pemain lainnya sudahlah melebihi ekspektasi kita. Poinnya, kita bergembira melihat timnas bermain dengan apik, trengginas, dan tidak kenal menyerah.

Pertandingan terakhir di turnamen Piala Asia U-23 merupakan contoh terbaik bagaimana tim ini dibangun. Di babak pertama, hampir semuanya berjalan lancar, lalu sepertinya, tiket ke Paris akan didapat dengan mudah. Tetapi, sepak bola bukanlah matematika, Irak yang dikalahkan oleh Jepang ternyata menyimpan hulu ledak juga. Bola yang dibangun oleh Ivan Jener melalui kaki ke kaki, dibalas dengan efektivitas serangan dari pemain Irak. Hasilnya, Timnas Indonesia dipaksa berlari selama120 menit.

Melelahkan. Sangat melelahkan.

Pemain-pemain muda Indonesia hampir tidak sanggup berlari lagi. Kaki terasa berat. Yang tersisa hanya satu: semangat. Fisik dan mentalnya sudah habis terkuras. Namun, tidak ada amarah di wajah punggawa timnas, baik pemain, staf pelatih, bahkan oleh Shin Tae-yong.

Setelah pertandingan, pelatih Irak berjalan untuk menghampiri Shin Tae-yong. Keduanya bersalaman dan berpelukan. Shin Tae-yong tersenyum saja. Dia tidak lagi marah seperti pada pertandingan sebelumnya. Sepertinya, Shin Tae-yong mengetahui bahwa anak asuhnya sudah berada di batas kemampuannya. Tidak bisa lebih dari itu. Lalu setelah ini, Timnas Indonesia akan dibangun dari batas baru yang diperoleh dari turnamen ini. Perlahan, kita akan menyaksikan tim nasional yang lebih kuat dari hari ke hari, dari waktu ke waktu.

BA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *