Catatan Dr. Muhammad Alkaf *)
Saya masih menahan diri untuk memberikan komentar mengenai “tangan tak terlihat” yang hendak membendung Indonesia menjadi negara besar sepak bola, sampai kemudian Sivakorn Pu-Udom menjadi wasit VAR pada partai perebutan juara tiga antara Indonesia vs Irak nanti malam, waktu Indonesia. Namun, sulit untuk mengatakan tidak terjadi apa-apa terhadap Timnas Indonesia selama turnamen Piala Asia U-23 kali ini setelah dengan mata telanjang terjadinya begitu banyak keputusan yang kontroversial.
Saya akan menanti dengan sabar apa yang akan terjadi ketika peluit pertandingan nanti dibunyikan. Secara detail, seluruh fan sepak bola, akan menyaksikan setiap keputusan wasit yang diambil. Keputusan yang sedikit banyaknya akan mempengaruhi situasi psikologis para pemain ketika disampaikan dengan cara yang membingungkan akal sehat.
Lihat saja ekspresi Witan Sulaiman ketika Rizky Ridho, pada semi final lalu, dikeluarkan oleh wasit karena melihat framing tayangan ulang VAR. Witan, yang kita kenal murah senyum dan tampil woles, memberikan gestur sarkas ketika melihat wasit mencabut kartu merah. Sebuah situasi yang tidak mengenakkan sekaligus membingungkan, sampai-sampai Pratama Arhan tidak menyadari kalau bola pantulan dari gawang sedang menuju Ernando, lalu dia membuangnya, yang sayangnya malah menuju ke gawang sendiri.
Tentu kita memahami kebingungan AFC, bandar judi, dan elite sepak bola Asia lainnya mengenai fenomena Timnas Indonesia belakangan ini. Timnas Indonesia, baik dari katagori senior maupun kelompok umur, mulai menimbulkan rasa nyeri bagi lawan-lawannya. Di Asia Tenggara, Thailand dan Vietnam sudah merasakannya. Lalu, naik ke level Asia, beberapa negara Asia Barat mulai memilih angkat bendera putih jika berjumpa Indonesia.
Keadaan ini tentu membingungkan, sekaligus menakutkan.
Bayangkan saja, beberapa tahun yang lalu, katakanlah empat sampai lima tahun yang lalu, Indonesia merupakan negara sampah dalam sepak bola. Tidak hanya di dunia dan Asia, bahkan di Asia Tenggara!
Indonesia menjadi bahan lelucon, tempat mengeruk keuntungan judi, dan korban dari tim-tim besar. Dengan populasi besar, keadaan demikian tentulah mengasyikkan bagi pihak-pihak yang ingin menikmati keuntungan, baik secara langsung dan tidak dari sepak bola Indonesia.
Lalu, datang seorang Erick Tohir. Dia mendapat restu dari Jokowi untuk memperbaiki sepak bola Indonesia, khususnya Timnas. Sampai saat ini, proses yang didorong olehnya mulai memberikan hasil. Peringkat Indonesia di FIFA mulai menanjak naik. Timnas Indonesia pun sudah mulai berada di turnamen elite, seperti Piala Asia. Bahkan, perjalanan Timnas Indonesia di kualifikasi Piala Dunia sepertinya akan berumur lebih lama. Keadaan ini tentunya tidak baik bagi negara sepak bola yang sudah eksis selama ini. Bahkan, yang lebih kacau, Indonesia tidak lagi bisa menjadi lahan subur untuk peredaran uang judi sepak bola.
Pikiran-pikiran di atas sudah mulai dibicarakan oleh publik sepak bola. Seperti biasa, pikiran tersebut akan menjadi bola salju yang akan menghancurkan apa saja yang akan dilewatinya. Sekarang, sebelum hal itu terjadi, kita berharap pertandingan penting untuk tiket ke Paris hari ini diselenggarakan dengan adil dan tanpa kontroversi.
Tidak perlu anda bersusah payah menghalangi sepak bola kami menjadi besar, karena itu perkerjaan yang sia-sia. Sejarah menghendaki Indonesia di pentas dunia.
*) Dosen IAIN Langsa, Aceh