Oleh: Syahril Syam*)
Ya Allah, Bagaimana aku menyeru-Mu,
Padahal aku pendosa?
Tetapi, Bagaimana aku tidak menyeru-Mu
Padahal Engkau Maha Pemberi Karunia?
Bagaimana aku bergembira
Padahal aku pendosa?
Tetapi, Bagaimana aku berduka
Padahal Engkau Maha Pemberi Karunia?
Ya Allah, Sungguh aku malu menyeru-Mu Padahal aku selalu mengulangi dosa-dosaku Tetapi, bagaimana mungkin seorang hamba tidak menyeru junjungannya Kemanakah pelariannya dan perlindungannya Jika Kau usir dia?
Ya Allah, Aku tidak mampu menjaga taubatku tanpa penjagaan-Mu
Aku tidak dapat menjauhi kesalahan tanpa kekuatan-Mu
Kuatkan daku dengan kekuatan yang memadai Perhatikan daku dengan penjagaan yang menghalangi
Setelah mencari petikan doa di internet untuk bahan Cemilan Otak (baca: tulisan pendek) kali ini, ditemukanlah petikan doa di atas. Petikan doa yang ternyata dari Imam Ali Zainal Abidin, salah seorang cicit Nabi Muhammad SAW. Dikutip untuk menggambarkan betapa dahsyatnya kenyataan mental pada diri kita; sebuah karunia dari Sang Maha Sempurna.
Jika kita melihat orang lain kesetrum listrik, maka melalui indra penglihatan dan pendengaran, akan muncul kenyataan mental pada diri kita bahwa betapa berbahayanya aliran listrik. Belum lagi jika melihat orang lain yang kesetrum dengan tegangan hingga ribuan volt. Dan lebih intens lagi perasaan kita (semakin intens perasaan maka semakin kuat suatu keyakinan), jika kita sendiri yang mengalami kejadian itu. Melalui panca indra akan terbentuk kenyataan mental – dengan hadirnya perasaan yang sangat intens – yang membuat kita sangat yakin bahwa aliran listrik itu berbahaya.
Namun kenyataan mental tidak hanya terbentuk melalui informasi yang masuk melalui panca indra. Tanpa indra sekalipun – bahkan tanpa pengalaman hidup – kita bisa menciptakan kenyataan mental kita sendiri. Otak yang bekerja dalam memikirkan, merenungi, dan memaknai sesuatu bisa menghadirkan kenyataan mental pada diri kita. Setiap kali otak kita bekerja dalam memikirkan, merenungi, dan memaknai sesuatu, maka akan selalu hadir perasaan di kenyataan mental kita. Karena kenyataan mental bisa berupa perasaan atau gambaran mental yang hadir.
Ketika kita membaca, merenungi, dan memaknai petikan doa di atas, akan muncul suatu perasaan (kesadaran) di kenyataan mental kita bahwa betapa Maha Agung, Maha Mulia, Maha Suci, Maha Pengasih, Maha Pemberi Karunia, dan Maha Pengampun Sang Maha Sempurna. Melalui Nama-nama-Nya kita mengenal Sang Maha Sempurna. Karena pada hakikatnya Sang Maha Sempurna sebagaimana Dzat-Nya tak dapat diketahui samasekali. Maha Kesempurnaan Dzat-Nya tak dapat dijangkau, bahkan oleh pikiran kita sekalipun. Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, serta tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.” (QS 112:1-4). Kita hanya tahu bahwa Sang Maha Sempurna itu Esa, tempat kebergantungan segala hal secara mutlak pada-Nya, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.
Inilah sisi Sang Maha Sempurna yang gaibnya gaib, yang tidak diketahui samasekali tentang Dzat-Nya. Karena kita samasekali buta akan Dzat-Nya dan mustahil menjangkau Dzat-Nya, maka kita hanya mengenal Sang Maha Sempurna melalui manifestasi Nama-nama-Nya. Maka melalui pemaknaan kita akan Nama-nama inilah kita membentuk kenyataan mental kita akan Sang Maha Sempurna. Itulah sebabnya, tingkat pengenalan setiap orang berbeda-beda, sebagaimana perbedaan intensitas kenyataan mental setiap orang dalam mengenal Sang Maha Sempurna.
Ketika kita merenungi dan memaknai petikan doa di atas, maka terbentang dengan sangat jelas betapa jauhnya jarak di antara sesama manusia dalam membangun kedekatan dengan Sang Maha Sempurna. Kenyataan mental akan Sang Maha Sempurna pada setiap orang akan terlihat berbeda ketika ia meminta dan memohon kepada Sang Maha Sempurna. Seperti halnya kenyataan mental setiap orang berbeda-beda dalam memaknai aliran listrik, yang kemudian meniscayakan adanya tingkatan keyakinan, maka kenyataan mental setiap dari kita pun berbeda-beda dalam memaknai Nama-nama Sang Maha Sempurna. Ada yang meminta kepada Sang Maha Sempurna seperti halnya meminta kepada pembantunya. Berikan saya ini dan berikan saya itu, permintaan yang dilakukan layaknya antar sesama teman. Padahal kita semua memiliki adab yang berbeda ketika berbeda pula level orang yang kita jadikan tempat meminta. Dan karenanya tingkat keyakinan kita pun berbeda-beda dalam pengenalan terhadap Sang Maha Sempurna. Yang dalam faktanya, manisfestasi dari Nama-nama-Nya pun berbeda intensitasnya pada kenyataan mental setiap manusia.
Itulah sebabnya, dapat kita renungi bahwa seseorang yang benar-benar secara mental merasakan kehadiran manifestasi Nama-nama Maha Agung, Maha Mulia dan Maha Indah dari Sang Maha Sempurna, maka adab doanya akan seperti petikan doa di atas. Sedangkan bagi yang kenyataan mentalnya bahkan masih terasa hambar saat menyebut Nama-Nya, tentu adabnya tidak akan seperti petikan doa di atas. Namun bukan berarti kita tidak bisa meniru petikan doa di atas saat bermunajat kepada-Nya. Karena melalui pengamalan doa-doa para Wali Allah, maka seseungguhnya kita secara perlahan membangun kenyataan mental kita sendiri di dalam mengenal Sang Maha Sempurna.
Walhasil, tidak dibutuhkan pengalaman indrawi di dalam mengenal Sang Maha Sempurna. Karena kita memiliki pengalaman mental dari kenyataan mental kita sendiri di dalam mengenal Sang Maha Sempurna. Tentunya kenyataan mental kita dalam mengenal Sang Maha Sempurna menjadi semakin intens dan nyata ketika dibarengi dengan ibadah dan amal shaleh. Dan karena pengalaman indrawi (kenyataan hidup) seringkali membuat kita melupakan kenyataan mental kita dan bahkan membentuk kenyataan mental kita, maka kita perlu belajar untuk melepaskan berbagai keterikatan hati kita dari kenyataan hidup. Seperti yang disampaikan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw, “Jalanilah kehidupan di dunia ini tanpa memikirkan dunia hidup di dalam dirimu, karena ketika perahu berada di atas air, ia mampu berlayar dengan sempurna, tetapi ketika air masuk ke dalamnya, perahu itu tenggelam.”
@pakarpemberdayaandiri