Spirit  

Terlalu Materialistis

Pakar Pemberdayaan Diri , Syahril Syam

Oleh: Syahril Syam *)

Materialistis berarti bersifat kebendaan, atau memiliki paham materialis (orang-orang yang hidupnya berorientasi kepada materi). Dengan mengutip Wikipedia, paham materialis atau materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Dengan kata lain, satu-satunya yang ada (eksistensi) atau satu-satunya kebenaran adalah apa yang disaksikan secara empiris. Dalam tataran kehidupan, seseorang disebut materialistis adalah mereka yang sikap, keyakinan, dan nilai-nilai hidupnya menekankan atau mementingkan kepemilikan barang- barang material atau kekayaan material di atas nilai-nilai hidup lainnya. Memandang kebahagiaan dan kesuksesan hanya dari memperoleh materi semata.

Terlepas dari pemahaman di atas, mari kita lihat proses hadirnya perasaan pada diri kita. Saat kita melihat, mendengar, atau mengalami sesuatu, dan karenanya terpikirkan oleh pikiran kita, maka selain membuat neurotransmiter, otak kita juga membuat bahan kimia lain – protein kecil yang disebut neuropeptida yang mengirimkan pesan ke tubuh kita.

Tubuh kita kemudian bereaksi dengan memiliki perasaan. Otak kemudian memperhatikan bahwa tubuh memiliki perasaan, sehingga otak menghasilkan pikiran lain yang sama persis dengan perasaan itu yang akan menghasilkan lebih banyak pesan kimia yang sama yang memungkinkan kita berpikir seperti yang baru saja kita rasakan. Jadi berpikir menciptakan perasaan, dan kemudian perasaan menciptakan pemikiran yang setara dengan perasaan itu. Ini adalah lingkaran yang bagi kebanyakan orang, dapat berlangsung selama bertahun-tahun. Dan karena otak bertindak berdasarkan perasaan tubuh dengan menghasilkan pikiran yang sama yang akan menghasilkan emosi yang sama, menjadi jelas bahwa pikiran yang berlebihan mengikat otak kita ke dalam pola sirkuit saraf yang tetap.

Ketika lingkaran pemikiran dan perasaan dan kemudian perasaan dan pemikiran ini telah beroperasi cukup lama, tubuh kita mengingat emosi yang telah diberi sinyal oleh otak untuk dirasakan oleh tubuh kita. Siklus menjadi begitu mapan dan mendarah daging sehingga menciptakan keadaan yang akrab, yang didasarkan pada informasi lama dan berasal dari apa yang diserap oleh indra kita.

Pada konteks ini, apa yang dirasakan secara internal adalah hasil dari serapan indra. Atau berasal dari kenyataan eksternal. Apa yang dilihat, didengar, dan dialami menjadi sangat nyata di dalam diri. Sehingga semua perasaan yang dirasakan, lebih dominan disebabkan oleh kenyataan eksternal. Inilah keadaan ketika kenyataan eksternal lebih nyata dibandingkan kenyataan internal. Semua perasaannya dipengaruhi oleh berbagai peristiwa eksternal. Keadaan inilah yang disebut “terlalu materialistis”.

Studi terbaru dalam ilmu saraf menunjukkan bahwa kita dapat mengubah otak kita hanya dengan berpikir. Maka pertanyaan penting untuk ditanyakan kepada diri sendiri adalah apa yang sebenarnya kita habiskan untuk melatih mental, memikirkan, dan akhirnya mendemonstrasikan? Apakah pikiran yang sering muncul lebih banyak karena serapan indra dari kenyataan eksternal (dari apa yang dilihat, didengar, dan dialami sehari-hari), ataukah kita memiliki pemikiran yang jernih dari belenggu alam materi?

Sang Maha Sempurna adalah satu-satunya Wujud yang tidak terlingkupi oleh alam materi. Bahkan Dia yang melingkupi alam materi. Dan karenanya, pikiran kita tentang Sang Maha Sempurna adalah tentang Keagungan, Kemuliaan, Kesucian, dan Keindahan-Nya. Dan pemikiran ini murni bebas dari belenggu materi. Pada konteks ini ada pikiran dan perasaan tentang harapan, kebergantungan mutlak, rasa syukur, merasa cukup, kesabaran, ketaatan, kasih sayang, kepedulian, perasaan berlimpah, dan segala hal yang tidak berkaitan dengan materi. Keadaan mental ini bisa hadir tanpa dipengaruhi kenyataan eksternal yang serba materi.

Inilah kenyataan internal yang bisa kita ciptakan sendiri tanpa mesti bergantung pada indra kita, sehingga kenyataan internal mestilah lebih nyata dibandingkan kenyataan eksternal. Dan jika “terlalu materialistis” membuat seseorang akhirnya mengalami emosi-emosi destruktif, maka kenyataan internal membuat kita mengalami emosi-emosi konstruktif.

@pakarpemberdayaandiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *