Oleh : Syahril Syam *)
Saat kita baru terlahir ke dunia, otak kita pun mulai tumbuh sedemikian cepat. Terjadi hubungan antar sel otak yang begitu banyak dengan sangat cepat. Ini terjadi karena ada begitu banyak hal baru yang untuk pertama kalinya kita ketahui. Semuanya masuk melalui indra kita dan membuat otak kita bekerja dengan ekstra cepat. Seiring pertumbuhan masa balita kita, semakin banyak hal baru yang diperoleh.
Kita begitu semangat makan menggunakan tangan atau sendok, kita begitu semangat bisa merangkak, kita begitu semangat bisa belajar berdiri, dan ada begitu banyak aktivitas yang membuat kita begitu semangat menjalaninya. Hidup terasa begitu menyenangkan. Kehidupan menyenangkan ini kita rasakan karena merupakan hal baru bagi kita dan kita juga memperoleh umpan balik yang menyenangkan dari berbagai aktivitas tersebut.
Kita memperoleh kenyataan melalui indra kita. Dengan kata lain, apa yang kita rasakan nyata pada diri kita adalah karena berdasarkan kenyataan yang kita alami sehari-hari. Pada konteks ini, kenyataan eksternal lebih nyata dibandingkan kenyataan internal.
Semua yang kita persepsi melalui indra telah menjadi kenyataan bagi diri kita. Saat kita mengalami peristiwa yang membahagiakan, maka kenyataan eksternal itu menjadi nyata di dalam diri. Begitu pula saat seseorang mengalami peristiwa yang menyakitkan, maka kenyataan yang menyakitkan itu juga menjadi nyata di dalam diri. Artinya, apa yang terasa nyata pada diri, bergantung pada kenyataan eksternal.
Karena kehidupan yang dijalani adalah kehidupan yang cenderung berputar pada itu-itu saja (dan bukan lagi hal-hal yang baru), maka pada usia 35 tahun, kita akhirnya menjalani kehidupan yang membosankan. 95 persen dari siapa kita adalah seperangkat perilaku yang diingat, keterampilan, reaksi emosional, keyakinan, persepsi, dan sikap yang berfungsi seperti program komputer otomatis bawah sadar. Dan ini berasal dari umpan balik kenyataan hidup yang dijalani sehari-hari. Sungguh membosankan bukan?
Dan kehidupan yang membosankan ini juga berlaku pada orang yang super kaya sekalipun. Karena walau ia memiliki uang yang sangat banyak dan menggunakannya untuk membeli kenyataan hidup yang berbeda-beda setiap hari, pada akhirnya juga akan terasa membosankan. Seperti yang kami sebutkan di atas, kehidupan yang membosankan adalah karena kenyataan eksternal kita lebih nyata dibandingkan kenyataan internal kita.
Dengan kata lain, apapun yang dirasakan adalah cenderung berdasarkan pada apa yang dialami sehari-hari. Dimana peristiwa eksternal menentukan kenyataan internal. Dan kenyataan eksternal pada akhirnya akan berputar pada yang itu-itu saja,sehingga merasakan perasaan yang juga itu-itu saja.
Dengan demikian, untuk menghindari kehidupan yang membosankan, kita perlu menyadari bahwa kita juga memiliki kenyataan internal dan bisa kita ubah sesuai keinginan dan usaha kita, tanpa mesti dipengaruhi oleh kenyataan eksternal (peristiwa yang dialami). Diri (jiwa) kita adalah substansi yang bisa berubah melalui pikiran dan perasaan yang bisa kita ciptakan sendiri. Tidak mesti karena pengaruh peristiwa eksternal. Bahkan pada hakikatnya, shalat adalah sarana bagi kita untuk menciptakan kenyataan internal pada diri kita.
Melalui shalat kita bertransformasi; dan transformasi berarti terjadi penciptaan kenyataan internal yang terus mengalami perubahan, mengingat transformasi adalah tentang perpindahan level jiwa ke arah level yang lebih tinggi. Maka pada konteks ini, kehidupan tidak lagi membosankan. Karena kehidupan yang dijalani, walau banyak yang sama setiap hari, namun perspektif diri (jiwa) kita justru melihatnya dari kacamata yang selalu berbeda sesuai dengan tingkatan jiwa kita.
@pakarpemberdayaandiri