Spirit  

Kesuksesan Yang Tidak Membahagiakan

Syahril Syam, ST., C.Ht., L.NLP

Oleh: Syahril Syam *)

Peningkatan krisis kebahagiaan berbanding lurus dengan tingkat kekayaan dan kemakmuran. Artinya semakin kaya tapi semakin tidak bahagia. Bahkan sangat sedikit orang-orang sukses yang bahagia. Mengapa bisa demikian? David Myers yang meneliti mengenai kekayaan dan kesuksesan dalam hubungannya dengan perasaan bahagia, mengungkapkan, bagaimana salah seorang mahasiswinya menggambarkan penderitaannya setelah delapan tahun hidup dengan ibunya dan ayah tirinya yang kaya tetapi suka melecehkannya.

Kepada David Myers, mahasiswi itu mengungkapkan, “Tidak perlu aku katakan bahwa situasinya tidak menyenangkan. Memang, ia (ayah tiri mahasiswi) mengendarai BMW dan baru saja membelikan untuknya Mercedes. Mereka memberi aku Mazda 626. Ia berbelanja di Bloomingdale dan memberikan untuknya jam Gucci. Dalam setahun, ia memberiku kapal pesiar. Setelah itu, ia membelikanku papan selancar angin sendiri. Rumahku punya 2 VCR dan 3 televisi Hitachi. Apakah semuanya itu membuatku bahagia? Sama sekali tidak. Aku ingin menukarkan semua kekayaan keluargaku untuk kehidupan keluarga yang penuh damai dan cinta kasih.”

Banyak orang bergerak dengan motivasi yang bersifat materialistis atau mentalitas destruktif. Mula-mula, mereka mendapatkan diri tidak memiliki yang diinginkan, dan dengan keadaan yang terpuruk itu, muncullah sekian impian untuk menggapainya. Baik dengan alasan kemiskinan keluarga (khususnya pada seorang suami yang merasa harus membiayai kehidupan istri dan anaknya) ataupun ingin membuktikan sesuatu kepada orang-orang yang telah mengejek dirinya lantaran miskinnya dan tidak berguna.

Alasan-alasan di atas yang membuat kebanyakan orang bergerak dalam meraih kekayaan dan kesuksesan tidaklah salah. Namun, pertanyaan berikutnya adalah: apa yang akan dilakukan setelah mendapatkan semuanya? Biasanya, itu semua berujung pada pencarian kesenangan dan memuaskan keinginan-keinginan. Jadi, pada awalnya hanya sekedar memenuhi kebutuhan keluarga atau ingin membuktikan keberhasilan diri pada orang lain, tapi berakhir pada sikap “just for fun”.

Secara biologis, manusia bisa memiliki fungsi yang tidak jauh berbeda dengan hewan/binatang. Hanya postur organ tubuh saja yang memiliki perbedaan. Namun, fungsi organ tubuh manusia hampir semuanya sama dengan hewan. Terdapat satu ciri khas pada manusia dan hewan, yang membedakannya dengan tumbuhan, yaitu kemampuan untuk bergerak/berpindah. Secara sederhana, dapat digambarkan dengan pertanyaan: ke mana manusia akan bergerak? Proses gerak yang dimaksud, tentunya, tidak hanya pada berpindah tempat, karena hewan pun dapat berpindah tempat. Jadi, hanya ada satu pengertian sederhana untuk defenisi gerak ini. Saya mendefenisikan gerak di sini dengan: Proses Menjadi atau Transformasi Kesadaran Diri.

Hidup ini bukan hanya sekadar makan, minum, dan memiliki tempat tinggal. Namun, lebih dari itu, setiap manusia memiliki tujuan. Untuk menggapai tujuan dibutuhkan “proses menjadi”. Artinya, untuk bisa meraih kebahagiaan sejati, maka seluruh aspek kehidupan dijalani demi terwujudnya “proses menjadi” pada diri kita. Karena pada dasarnya kehidupan adalah tempat bagi kita untuk melakukan Transformasi Kesadaran Diri. Dan ketika perjalanan kesuksesan tidak dibarengi dengan transformasi diri yang transenden, maka yang ada adalah kesuksesan yang tidak membahagiakan.

@pakarpemberdayaandiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *