Spirit  

Manusia Sebagai Arena Konflik

Pakar Pemberdayaan Diri , Syahril Syam

Oleh: Syahril Syam*)

Jika kita menonton film bergenre laga atau drama yang mengangkat kepribadian manusia, maka seringkali manusia digambarkan sebagai makhluk yang pada dasarnya jahat. Bahkan ketika mengupas manusia dari sisi ambisinya akan uang, manusia selalu dinilai seperti serigala yang haus uang dan kekuasaan. Makanya manusia dinilai sebagai hewan buas dalam berbagai ambisinya, khususnya ambisinya di dunia politik. Thomas Hobbes, seorang filsuf politik Inggris, memandang manusia sebagai materialistis dan pesimistis, dimana motivasi manusia hanya demi kepentingan pribadinya. Pernyataannya yang terkenal berbunyi, “Manusia adalah serigala bagi manusia lain”.

Hobbes menolak pondasi-pondasi pasti etika dan memilih jalan sinisme dan menerima relativisme etika. Karenanya, stabilitas suatu negara hanya dapat dijamin melalui otoritas berdaulat yang kepadanya para warga negara menyerahkan hak-hak mereka; mengingat manusia adalah serigala pemangsa sesama, dan manusia secara fitrah adalah berdosa dan asalnya tidak suci. Ia menjadi antidemokrasi dan menjadi pendukung kuat sistem monarki absolut.

Berbeda dan bertentangan secara diametris dengan Thomas Hobbes, Jean-Jacques Rousseau memandang manusia sebagai makhluk merdeka, namun ia hidup dalam perbudakan di mana-mana. Manusia juga dipandang sama dalam hak-hak. Menurut Rousseau, manusia secara fitrah tidaklah berdosa, melainkan sebagai manusia yang sopan, berperilaku baik, berpikiran merdeka, dan mencintai perdamaian, tetapi masyarakatlah yang merusaknya.

Makanya manusia menjadi turun derajatnya ketika ia menjadi anggota masyarakat sipil dan melepaskan kemerdekaan sendiri. Seorang manusia mandiri tidak akan pernah memilih untuk menyerang orang lain dan melancarkan peperangan terhadap siapapun. Juga cenderung menjauh dari bahaya dan pada dasarnya ramah dan pemalu. Kebiasaan dan pengalaman yang diperoleh dari masyarakatlah, yang membuat manusia menjadi jahat.

Jadi menurut Rousseau, manusia memiliki fitrah suci dan menganggap masyarakat sipil sebagai perusaknya. Bahkan menganggap bahwa fitrah suci manusia kebal dari jenis cacat dan pelatihan serta pendidikan sebagai perusak fitrah. Masyarakat dan pemerintah inilah yang menodai fitrah manusia. Sebaliknya Hobbes memandang fitrah manusia dengan begitu pesimistis dan menganggap perlunya sebuah pemerintahan yang sangat kuat untuk menghalangi umat manusia dari saling menyerang.

Jika Hobbes dan Rousseau hanya menyimpulkan satu sisi manusia yang saling bertolak belakang, maka Al-Qur’an menyampaikan kepada kita sebuah riwayat, (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS 2:30). Dalam keberatan malaikat terdapat indikasi bahwa manusia adalah makhluk yang etikanya buruk. Dan Sang Maha Sempurna tidak menampik keberatan ini, namun disaat yang sama berfirman bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.

Artinya manusia secara jasmaniah memiliki bawaan yang cenderung bersifat hewani dan berperilaku berdasarkan kepentingan egois. Namun pernyataan umum yang disampaikan kepada malaikat itu merupakan fakta bahwa Sang Maha Sempurna juga mengetahui sisi lain dari koin eksistensi manusia. Sisi inilah yang tersembunyi dari pandangan malaikat, dan merupakah fitrah kemanusiaan manusia. Karenanya, manusia adalah kedua-duanya. Satu makhluk yang memiliki dua sisi. Dan disaat yang sama, manusia bukanlah semata-mata hanya satu sisi saja, baik sisi “ini”maupun sisi “itu”.

Pandangan Al-Qur’an ini bersifat realistis dan optimistis. Dan ini diaminkan oleh neurosains bahwa manusia memiliki kecenderungan emosional yang bersifat egoistis, namun juga memiliki otak besar yang tahu benar dan salah. Walaupun memiliki kesamaan dengan hewan yang memiliki atribut-atribut cinta diri, butuh makan-minum, menjauhkan diri dari bahaya, dan reproduksi, akan tetapi manusia tidak berhenti sampai di situ. Karena kita memiliki kapasitas untuk melampaui sisi hewani dan mencapai kesempurnaan-kesempurnaan spiritual.

Dua sisi manusia ini tergambarkan dalam Al-Qur’an, (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang dibentuk. Maka, apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)-nya dan telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS 15:28-29). Yakni manusia memiliki dua unsur pembentuk dirinya: langit dan bumi. Manusia memiliki asalnya di bumi dan tangannya terentang menuju langit. Manusia merupakan garis penghubung antara hewan dan malaikat. Dan sekaligus membedakan manusia dari malaikat maupun hewan.

Karena kondisi manusia yang memiliki dikotomi eksistensial, maka akibatnya, manusia selalu mengalami peperangan terbesar pada dirinya. Seluruh peperangan terbesar dalam sejarah sesungguhnya merupakan gaung-gaung dari peperangan batiniah tersebut. Hewan hanya membunuh ketika harus makan, dan tidak pernah membunuh hanya untuk kepentingan atau bersenang-senang. Namun manusia bisa lebih rendah daripada hewan. Dalam neurosains, kondisi ini terjadi ketika dorongan emosional telah menguasai otak berpikir.

Prefrontal korteks adalah bagian otak yang bisa memutuskan apa yang harus dilakukan dengan pertimbangan benar atau salah. Bagian otak ini juga membantu kita untuk menyadari keadaan diri kita sendiri. Bahwa ada pertempuran melawan diri sendiri, dimana yang dimaksud “diri sendiri” adalah hasrat dan insting hewani. Pertempuran ini bermakna menempatkan dan menundukkan semua hasrat dan insting hawa nafsu di bawah akal sehat dan menggunakannya untuk mengabdi kepada Sang Maha Sempurna dan menyempurnakan diri ke arah kesempurnaan transendental. Inilah tugas kita sebagai manusia dalam menjalani kehidupan di dunia dengan berbagai peran, baik sebagai anak, orang tua, suami, istri, teman, pekerja, atasan, bawahan, hingga kehidupan sosial. Semuanya dalam rangka menundukkan “diri” agar mengabdi kepada-Nya.

@pakarpemberdayaandiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *