Oleh : Syahril Syam *)
Puasa intermiten bukanlah diet dalam pengertian tradisional melainkan sebuah metode mengatur waktu makan. Fokus utama puasa intermiten adalah pada waktu asupan makanan, bukan membatasi makanan atau kalori tertentu. Idenya adalah membiarkan tubuh mengalami keadaan puasa dalam jangka waktu tertentu, yang dapat memberikan berbagai manfaat kesehatan.
Salah satu metode puasa intermiten adalah metode 16/8 (juga dikenal sebagai Lean-Gains), yang merupakan puasa selama 16 jam setiap hari dan mengonsumsi semua kalori harian dalam jangka waktu 8 jam. Metode ini mirip dengan puasa Ramadhan yang dimulai dari fajar shadiq hingga maghrib. Untuk di Indonesia rentang waktunya sekitar 13 jam berpuasa. Ada juga negara-negara lain yang rentang waktu puasanya sekitar 16 jam lebih.
Penelitian terkait puasa intermiten bahkan pada puasa yang dilakukan di bulan Ramadhan, menunjukkan hasil yang menggembirakan terkait fungsi otak selama penuaan dan kondisi kesehatan mental. Gangguan kognitif ringan yang merupakan tahapan sebelum demensia berupa masalah dengan ingatan atau pemikiran dan diketahui bersifat reversibel, bisa dihindari karena fungsi-fungsi otak meningkat akibat puasa intermiten.
Sebuah penelitian melibatkan tiga kelompok orang berusia 60 tahun ke atas dengan gangguan kognitif ringan. Satu kelompok melakukan puasa intermiten dua kali seminggu dari matahari terbit hingga terbenam sebagai bagian dari praktik keagamaan mereka. Kelompok lain lebih jarang berpuasa, sedangkan kelompok ketiga tidak berpuasa sama sekali.
Tindak lanjut tiga tahun setelah penelitian dimulai menemukan bahwa hampir 25% orang dalam kelompok yang berpuasa secara teratur kini tidak mengalami gangguan kognitif, dibandingkan dengan 14% pada kelompok yang berpuasa sesekali dan kurang dari 4% pada kelompok yang tidak berpuasa. Orang-orang dalam kelompok yang rutin mengikuti puasa intermiten juga memiliki kinerja tugas kognitif yang lebih baik. Peneliti juga menemukan bahwa peserta yang rutin berpuasa memiliki tingkat enzim yang lebih tinggi yang dapat melindungi terhadap kerusakan sel. Mereka juga menunjukkan peningkatan keton, bahan bakar yang dibakar tubuh dari simpanan lemak selama puasa.
Selain bahwa puasa intermiten memiliki korelasi dengan peningkatan kinerja otak, terdapat penelitian lain yang melihat hubungan antara puasa dengan kesehatan mental. Ada beberapa penelitian yang secara total melibatkan lebih dari 1.400 peserta, dimana sebagian besar penelitian didasarkan pada puasa antara fajar dan matahari terbenam selama bulan suci Ramadhan. Yang lainnya melibatkan puasa 5:2 dan 1 hari dalam seminggu, serta batasan waktu makan 14/10. Para ilmuwan menemukan bahwa puasa selama Ramadhan dikaitkan dengan perbaikan stres, kecemasan, dan gejala depresi.
Korelasi ini tentu saja membantu kita dalam pembentukan persepsi bahwa puasa Ramadhan tidak hanya memberikan efek spiritual terhadap jiwa kita, juga memberikan efek pada peningkatan fungsi otak dan kesehatan mental. Dengan melihat begitu banyaknya manfaat puasa Ramadhan bagi diri kita, maka sebenarnya tidak perlu ada keluhan lapar dan dahaga saat menjalaninya. Karena semua itu tidak sebanding dengan efek positif yang kita terima baik pada jiwa, otak, dan tubuh kita.
*@pakarpemberdayaandiri