Spirit  

Alasan Yang Tidak Obyektif

Syahril Syam

Oleh: Syahril Syam *)

Pada tahun 1977, Richard Nisbett dan Timothy Wilson melaporkan hasil penelitian mereka tentang proses mental kita dalam meyakini sesuatu. Orang-orang yang mengikuti eksperimen mereka ditempatkan dalam suatu situasi, dimana para subjek diminta untuk melakukan suatu hal dan kemudian mengatakan alasan mereka melakukan hal tersebut. Sesungguhnya penelitian ini membuktikan betapa pikiran dan keyakinan kita seringkali “menipu” diri kita, karena kurangnya informasi yang akurat terhadap suatu hal yang kita yakini. Sehingga pada akhirnya, keyakinan yang terbentuk hanya karena berdasarkan asumsi-asumsi semata.

Pada penelitian tersebut, Nisbett dan Wilson menata beberapa pasang kaus kaki di atas meja. Setelah itu, para subjeknya, semuanya perempuan, diminta untuk meneliti dan memerhatikan dengan seksama kaus kaki-kaus kaki tersebut, dan memilih satu di antaranya yang paling mereka suka. Saat para perempuan itu ditanya tentang alasan mereka memilih kaus kaki yang paling disukai, para perempuan tersebut secara menakjubkan memaparkan berbagai macam alasan mengenai tekstur dan kelembutan kaus kaki pilihannya. Tentunya semua jawaban mereka merupakan keyakinan mereka bahwa kaus kaki pilihannya-lah yang paling baik, sehingga itulah kaus kaki yang mereka suka untuk dipilih.

Tanpa disadari oleh semua subjek perempuan tersebut adalah bahwa ternyata semua kaus kaki yang ada, semuanya sama. Secara batin, para perempuan itu merasa bahwa kaus kaki pilihannya adalah kaus kaki yang berkualitas. Menurut Nisbett dan Wilson, yang didasarkan pada sekian banyak penelitian mereka, manusia seringkali tertipu menyangkut sebab-sebab mental mereka yang menjadi keyakinan manusia dalam merasakan suatu dorongan dan melakukan suatu tindakan. Nisbett dan Wilson meyakini bahwa meskipun para subjek selalu memberikan alasan atas keyakinan tindakan mereka (saya merasa yakin kaus kaki pilihan saya ini berkualitas), alasan tersebut tidak berasal dari akses khusus terhadap proses-proses yang melandasi keputusan-keputusan mereka, namun bersumber dari konvensi-konvensi sosial, atau gagasan-gagasan tentang cara benda-benda berfungsi secara normal dalam situasi semacam itu, atau semata-mata murni tebakan.

Betapa seringnya kebanyakan orang merasa yakin dan kemudian membuat-buat alasan mengapa ia belum sukses, atau kenapa sehingga ia berhenti di tengah jalan dalam mencapai tujuan dan impiannya. Ada bahkan yang untuk membuat langkah pertama saja sulitnya bukan kepalang karena telah muncul serangkaian alasan-alasan (yang didasari dari keyakinannya yang menghambat diri: keyakinan destruktif) mengapa ia tidak bisa mengambil langkah pertama. Dan kebanyakan alasan yang mereka buat hanyalah berupa asumsi-asumsi semata, suatu keyakinan yang hanya didasarkan pada anggapan-anggapan bahwa mereka merasa tak mampu dan tak bisa untuk mencapai impiannya.

Bisa juga dari beberapa peristiwa yang membuat mereka “gagal” sehingga tak mau lagi bangkit dan menggapai tujuan dan impiannya. Ada juga karena asumsi yang mereka buat berdasarkan keturunan dan keberuntungan (sebuah kata “beruntung” yang hanya didasari tanpa mengetahui apa sih itu makna keberuntungan). Alasan yang mereka buat cenderung parsial, tanpa melihat konteksnya secara utuh dan benar. Orang-orang yang sering-sering membuat alasan “tak bisa dan gagal” ini lahir dari keyakinan mereka yang bersifat destruktif.

@pakarpemberdayaandiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *