Oleh: Syahril Syam *)
Perjuangan agar menjadi manusia (jiwa) yang tenang bisa dikatakan sebagai perjuangan seumur hidup. Betapa tidak, semenjak kita terlahir ke dunia, kita telah menjadi manusia yang resah dan gelisah. Saat seorang bayi kelaparan, ia pasti akan menangis. Lapar, haus, dan berbagai keinginan atas benda-benda adalah dorongan-dorongan jasmaniah. Artinya dorongan yang muncul dari karakter khas pada tubuh kita. Dorongan ini biasanya seperti magnet yang saling tertarik dengan segala sesuatu di luar diri kita. Lapar terkait dengan makanan, haus terkait dengan minuman, seks terkait dengan lawan jenis, dan keinginan apapun terkait dengan benda-benda di luar diri kita.
Jadi kegelisahan dan keresahan pertama justru hadir dari dalam diri kita sendiri berupa berbagai kecenderungan-kecenderungan jasmaniah. Belum lagi dengan adanya berbagai keinginan dan perasaan yang ingin dirasakan, selalu dikaitkan dengan segala hal di luar diri. Ingin dihormati dikaitkan dengan jabatan, ingin berkuasa dikaitkan dengan uang, kebanggan dikaitkan dengan prestasi, dan berbagai keinginan dan perasaan yang ingin dirasakan. Dimana ketika semua itu tidak tercapai menimbulkan keresahan, dan saat dicapai juga hanya melahirkan kesenangan sesaat bahkan ada yang menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran. Akhirnya akan kembali lagi ke dalam ketidaktenangan hidup.
Selain dari dalam diri, ketidaktenangan diri (jiwa) juga lahir dari berbagai stimulus lingkungan. Dengki, sakit hati, dan berbagai perasaan destruktif biasanya terpicu karena adanya stimulus dari luar diri (lingkungan). Ada juga keresahan yang lahir dari waktu, yaitu menyesali masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan. Ada banyak jenis kekhawatiran dan berbagai jenis kecemasan – fobia, gangguan stres pascatrauma, dan serangan panik. Namun di antara orang-orang yang paling menderita adalah mereka yang mengidap gangguan obsesif-kompulsif atau OCD, yang takut bahwa bahaya akan menimpa, atau telah menimpa, pada diri mereka atau orang yang mereka cintai. Meskipun mereka mungkin merasa cukup cemas ketika masih anak-anak, di kemudian hari, sering kali ketika mereka dewasa muda, mereka mengalami “serangan” yang membawa kekhawatiran mereka ke tingkat yang lebih tinggi.
Segera setelah kekhawatiran obsesif muncul, pasien OCD biasanya melakukan sesuatu untuk menghilangkan kekhawatiran tersebut, yaitu tindakan kompulsif. Jika mereka merasa telah terkontaminasi oleh kuman, mereka mencuci diri mereka sendiri; bila hal itu tidak menghilangkan rasa khawatirnya, mereka mencuci semua pakaian, lantai, dan dinding. Jika seorang wanita takut dia akan membunuh bayinya, dia membungkus pisau daging itu dengan kain, mengemasnya dalam sebuah kotak, menguncinya di ruang bawah tanah, lalu mengunci pintu ruang bawah tanah. Ada bahkan seorang pria yang takut terkontaminasi oleh asam baterai yang tumpah dalam kecelakaan mobil. Setiap malam dia berbaring di tempat tidur sambil mendengarkan sirene yang menandakan adanya kecelakaan di dekatnya. Ketika dia mendengarnya, dia akan bangun, tidak peduli jam berapa pun, mengenakan sepatu lari khusus, dan mengemudi sampai dia menemukan lokasinya. Setelah polisi pergi, dia menggosok aspal dengan sikat selama berjam-jam, lalu menyelinap pulang dan membuang sepatu yang dipakainya.
Inilah berbagai keresahan dan ketidaktenangan yang dialami oleh manusia dalam menjalani kehidupan yang sementara ini. Dan ini pulalah yang menjadikan kita sebagai manusia untuk berjuang mencapai ketenangan batin. Artinya perjalanan hidup kita adalah dari keresahan menuju ketenangan. Semua hal benar dan baik yang kita lakukan, pada hakikatnya adalah untuk mencapai derajat ketenangan diri (jiwa) yang sempurna. Maka wajar jika kita dikaruniai prefrontal korteks yang menjadi CEO otak atas berbagai dorongan-dorongan emosional yang seringkali muncul dan mengakibatkan ketidaktenangan hidup.
Prefrontal korteks adalah bagian otak yang paling unik pada manusia, karena paling berkembang pada manusia dibandingkan hewan lain. Prefrontal korteks mengembangkan kemampuan untuk menangkap dan menyimpan informasi dalam jangka waktu yang lebih lama, sehingga memungkinkan manusia untuk mengembangkan pandangan ke depan dan ingatan.
Pemindaian otak terbaru menunjukkan bahwa ketika kita bermimpi, bagian otak yang memproses emosi, naluri seksual, kelangsungan hidup, dan agresif kita, cukup aktif. Pada saat yang sama, sistem prefrontal korteks, yang bertanggung jawab untuk menghambat emosi dan naluri kita, menunjukkan aktivitas yang lebih rendah. Dengan naluri yang meningkat dan hambatan yang ditolak, otak yang bermimpi dapat mengungkapkan impuls yang biasanya terhalang dari kesadaran.
Karena menjadi diri (jiwa) yang tenang adalah perjuangan seumur hidup, maka sudah selayaknya kita benar-benar memfungsikan CEO otak agar bisa perlahan-lahan mencapai derajat ketenangan yang sempurna. Sehingga akhirnya saat kembali kepada-Nya, kita menjadi manusia yang benar-benar ridha atas segala ketentuan-Nya, dan Dia-pun ridha dengan hamba-Nya. Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai (89:27-28).
@pakarpemberdayaandiri