Oleh: Syahril Syam*)
Ada satu pola menarik terkait emosi benci yang destruktif. Yaitu adanya kemungkinan kebencian yang intens melahirkan karakter atau perilaku baru pada diri sendiri. Dan karakter atau perilaku baru ini justru mirip bahkan kemungkinan samapersis dengan karakter atau perilaku seseorang yang dibenci. Jika pun seseorang yang dibenci tidak memiliki suatu sifat yang dibenci (orang yang dibenci ternyata orang yang berkarakter baik; bahkan mungkin tanpa cacat sedikitpun pada karakternya), maka yang membenci justru akan berkarakter sesuai dengan karakter benci yang ia ciptakan sendiri dalam pikirannya.
Kadang seseorang membenci orang lain karena suatu karakter atau perilaku pada diri orang yang dibenci. Misalkan saja orang yang dibenci adalah seorang pemarah. Ia membencinya karena orang itu dianggap (kata “anggap” dalam pengertian bahwa ia yang menciptakan makna tersebut dalam pikirannya sendiri) sebagai pemarah. Jika kebencian yang dirasakan ini sangat intens dan bersifat destruktif, maka kemungkinan ia pun akan memiliki karakter pemarah. Tanpa ia sadari, ia akan menjadi seorang pemarah yang mirip atau samapersis dengan pemarahnya orang yang dibencinya.
Karena benci adalah suatu emosi tidak suka terhadap seseorang, maka sesungguhnya benci itu justru mengarah pada satu atau beberapa sifat (bisa juga suatu perilaku) yang ada pada orang yang dibenci. Karena kebencian ini adalah suatu anggapan, dalam pengertian seseorang yang menciptakan makna benci dalam pikirannya; maka bisa saja anggapan kebencian yang ia rasakan memang benar-benar terjadi pada orang yang dibencinya; dan bisa juga tidak ada sifat atau perilaku buruk pada orang yang dibencinya.
Anggapan ini terjadi karena ia yang menciptakan makna dari kenyataan hidup yang alaminya. Jadi ketika ada seseorang yang berkarakter buruk, dan kemudian ia menciptakan makna buruk dalam pikirannya sehingga melahirkan perasaan benci; maka anggapannya memang benar terhadap orang tersebut. Dan biasanya anggapan yang benar ini justru melahirkan perasaan benci yang semakin intens.
Begitu juga ketika orang yang ia benci memiliki karakter yang baik. Ia membencinya karena ia sesungguhnya menciptakan makna (anggapan) terhadap orang tersebut. Dan walau anggapan ini tidak bernilai benar (karena orang yang dibenci justru memiliki karakter baik), akan tetapi perasaan bencinya justru lahir dari anggapan yang ada dalam pikirannya sendiri. Itulah sebabnya, kebencian destruktif yang intens cenderung melahirkan karakter atau perilaku buruk pada diri sendiri. Dan karakter atau perilaku buruk ini bisa jadi mirip atau samapersis dengan sifat orang yang dibenci; atau bisa jadi karakter atau perilaku buruk yang seseorang alami justru lahir dari anggapan yang ia buat sendiri; dikarenakan tidak adanya karakter atau perilaku buruk pada orang yang bencinya.
Oleh karena perasaan benci lahir dari makna (anggapan) yang ia buat sendiri (tidak peduli apakah anggapannya benar ataukah salah; dengan kata lain tidak peduli apakah orang yang dibenci memiliki karakter/perilaku buruk ataukah tidak samasekali); maka penting bagi kita untuk mampu menciptakan makna (anggapan) yang lebih konstruktif. Hal ini penting karena mengingat kebencian adalah penyakit rohani, maka tentu kita berharap diri kita tetap sehat secara rohani.
@pakarpemberdayaandiri