Spirit  

Nilai Ekonomi dan Pemberdayaan Diri

Syahril Syam, ST., C.Ht., L.NLP

Oleh : Syahril Syam*)

Kita cenderung menjaga uang yang kita miliki karena secara ekonomi, nilai uang tersebut setara dengan sesuatu yang kita anggap juga bernilai. Bisa berupa makanan, benda-benda, ataupun tanah dan berbagai kandungan berharganya. Begitu pula halnya ketika kita melakukan transaksi, menggarap tanah, atau menambang hasil bumi, semuanya kita lakukan karena bagi kita semua itu bernilai.

Dapat kita simpulkan bahwa dalam bidang ekonomi, nilai digunakan untuk hal-hal yang diinginkan dari sisi ekonomi. Tidak peduli apakah ada sebagian ahli ekonomi yang menganggap ekonomi itu bebas nilai, tetapi ketika semua itu adalah hal-hal yang kita inginkan, maka pasti bernilai. Kita menggunakan “nilai” untuk hal-hal yang kita inginkan. Dengan kata lain, semua subjek yang kita inginkan akan kita sebut “bernilai”, dan yang tidak kita inginkan disebut “tidak bernilai”. Begitu juga, dalam hal yang tidak diinginkan, bila bertentangan dengan hal yang diinginkan, maka disebut dengan “anti-nilai”. Dan bila tidak bertentangan hanya disebut “tak bernilai”.

Saat kita perluas dan mengkonversi “nilai” dengan nilai positif, negatif, dan nol, maka hal yang bernilai memiliki nilai positif, anti-nilai mempunya nilai negatif, dan tanpa nilai memiliki nilai nol. Sehingga dari sisi ekonomi, tiadanya properti atau aktivitas-aktivitas ekonomi yang tidak merubah properti disebut tanpa nilai atau memiliki nilai nol. Memiliki utang atau aktivitas yang mengurangi properti disebut anti-nilai atau memiliki nilai negatif. Dan dalam semua tempat yang seluruh tingkatan subjeknya diinginkan disebut bernilai atau memiliki nilai positif.

Konteks “nilai” ini juga berlaku pada perilaku kita sehari-sehari. Semua perilaku yang kita pilih dan lakukan berdasarkan ikhtiyar, ada yang disukai dan ada yang tidak. Masing-masing dari kita atau berbagai komunitas berbeda pendapat mengenai disukai tidaknya perilaku-perilaku tertentu. Ada yang menyukai perilaku tertentu, sedangkan yang lain tidak menyukainya.

Berkaitan dengan suka atau tidak sukanya suatu perilaku, terdapat dua pendapat umum, yaitu pertama, semua perilaku yang disukai ataupun tidak, didasarkan pada keinginan pribadi, kesepakatan kelompok, atau adanya perintah lembaga/institusi. Kedua, disukai tidaknya suatu perilaku karena adanya karakteristik khas hakiki dan objektif yang dimiliki oleh perilaku itu sendiri.

Dengan kata lain, ada nilai khas yang melekat pada perilaku itu sehingga dengan itu kita bisa tahu bahwa perilaku itu bernilai ataukah tidak. Dimana kalau bernilai maka itulah perilaku yang mesti kita sukai, sedangkan jika tidak bernilai, maka layak untuk kita tidak sukai.

Pendapat pertama inilah yang paling banyak dipahami oleh banyak orang. “Suka-suka saya” adalah salah satu bentuk pernyataan yang mewakili pendapat ini. Dan jika pemahaman ini yang digunakan, maka baik atau buruk perilaku, semuanya bergantung pada masing-masing individu ataupun kelompok.

Namun, mustahil manusia diciptakan tanpa tujuan dan nilai. Setiap manusia, secara inheren menginginkan kesempurnaan, kebahagiaan, dan kebaikan hakiki. Dan ini adalah tujuan-tujuan yang bernilai bagi siapapun itu. Jika kita menggunakan pendapat pertama di atas, maka sesungguhnya kesempurnaan, kebahagiaan, dan kebaikan, tidak lagi memiliki nilai. Karena masing-masing individu atau kelompok akan mengklaim sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Padahal disaat yang sama, semua tujuan itu adalah bernilai bagi kita, karena memiliki keuntungan dan manfaat bagi kita, juga karena itu adalah hal-hal yang kita inginkan dan bersifat hakiki.

Maka yang tersisa hanyalah pendapat kedua, bahwa setiap perilaku memiliki nilai yang inheren pada perilaku tersebut. Dan karena memiliki nilai, maka perilaku itu ada yang bermanfaat dan menguntungkan bagi kesempurnaan, kebahagiaan, dan kebaikan kita, dan ada yang tidak. Dan ini terbukti benar berdasarkan penjelasan nilai ekonomi di atas.

Artinya, nilai suatu perilaku akan selalu berkorelasi pada diri kita, seperti halnya nilai suatu subjek yang kita inginkan secara ekonomi, memiliki korelasi nilai bagi diri kita. Karena setiap orang secara naluriah menginginkan yang terbaik bagi dirinya, dan apapun yang berkaitan dengan kebaikan kita akan disebut bernilai positif, baik, dan disukai. Korelasi ini samapersis dengan korelasi antara belajar akan menambah ilmu, makan akan menghilangkan rasa lapar, atau berobat akan menyembuhkan penyakit.

Penelitian neurosains telah menunjukkan kepada kita bahwa setiap pikiran, perasaan, dan perilaku destruktif akan berkorelasi (menyebabkan) seseorang menjadi terpuruk dan depresi. Pikiran, perasaan, dan perilaku seperti ini akan melahirkan penderitaan. Namun, ketika kita memfungsikan otak prefrontal korteks, kita akan berpikir, merasa, dan berperilaku yang konstruktif, sehingga bisa mengendalikan berbagai pikiran, perasaan, dan perilaku destruktif. Dengan kata lain, setiap pikiran, perasaan, dan perilaku memiliki nilai yang melekat padanya, dan nilai itu berdampak (berkorelasi) pada kesempurnaan, kebahagiaan, dan kebaikan diri kita yang hakiki.

Dengan demikian, walau pikiran, perasaan, dan perilaku itu adalah hal yang mungkin kita sukai hanya karena sesuai dengan kepentingan pribadi atau kelompok, tapi ternyata itu adalah sesuatu yang bernilai destruktif dan berdampak destruktif bagi diri kita, maka sesungguhnya tidak layak untuk disukai.

Sebaliknya, walau pikiran, perasaan, dan perilaku itu adalah hal yang mungkin kita tidak sukai, namun karena bernilai konstruktif dan berdampak konstruktif bagi kita, maka sangat layak untuk disukai. Karena pada hakikatnya, kita selalu menyukai segala hal yang dari sisi hakiki bernilai dan bermanfaat bagi kesempurnaan, kebahagiaan, dan kebaikan diri kita. Sebagaimana dari sisi ekonomi, kita menyukai segala sesuatu yang bernilai secara ekonomi.

@pakarpemberdayaandiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *