Opini  

Demokrasi Religius: Malaysia Tertinggal dari Indonesia

Prof. Dr. Muhammad Azhar, MA

Prof. Dr. Muhammad Azhar, MA., Dosen FAI-Pascasarjana UMY dan LARI (Lingkar Akademisi Reformis Indonesia).

Beberapa hari yang lalu, dua profesor dari salah satu kampus ternama di Malaysia, berkunjung ke Pascasarjana UMY. Satu dari dua gubes itu sebagai Dekan di Malaysia. Selain ke UMY, beliau berdua juga berkunjung ke Muallimin serta berziarah ke makam Buya Syafii Maarif.

Saat dialog dengan pimpinan Pascasarjana dan beberapa dosen bidang Islamic studies, pak Dekan yang juga gubes di Malaysia ini menyampaikan bahwa beberapa tahun yang lalu beliau ke Yogya, masih melalui bandara yang lama di Adisucipto. Hari ini, lanjut beliau, Yogya sudah punya bandara internasional yang indah: YIA. Bagi beliau ini menjadi simbol adanya akselerasi pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Pak Dekan ini mengakui, kini kami di Malaysia sudah tertinggal dari Indonesia dalam dua hal: tertinggal dalam kemajuan ekonomi dan politik demokrasi. Ekonomi Indonesia sekarang semakin cepat berkembang. Demokrasi di Indonesia juga berjalan lebih terbuka. Di Indonesia, kritik terhadap rezim lebih bebas di banding Malaysia. Beliau menyinggung salahsatu TV di Indonesia yang hampir setiap hari bebas melakukan kritik dan dialog terbuka.

Pak Dekan melanjutkan, kami sekarang di Malaysia masih hidup seperti zaman Orde Baru Indonesia dulu. Dengan nada kocak beliau menyinggung pula, walaupun Ahwar Ibrahim sudah terpilih menjadi pemimpin Malaysia. Mahatir Muhammad dkk masih saja berpikir bagaimana caranya menjatuhkan Anwar. Padahal pemilu raya baru saja selesai beberapa bulan lalu

Dalam dialog tersebut Penulis menyampaikan, Indonesia, Malaysia dan negara2 ASEAN wajib mencermati 3 peristiwa: 1. pidato Obama di forum parlemen Inggris dimana Obama menekankan pentingnya global networking di masa depan ( https://youtu.be/fp85zRg2cwg ); 2. Permohonan maaf PM Belanda tentang Slavery and Colonialism yg dilakukan Belanda di masa lalu; 3. Pidato Presiden Jokowi di forum ASEAN-Uni Eropa tentang pentingnya kesetaraan antarbangsa di masa depan. Uni Eropa dan negara di dunia lainnya tidak boleh lagi mendikte negara ASEAN serta negara lainnya. Kesetaraan global adalah sebuah keharusan.

Penulis melanjutkan, demokrasi di Indonesia, walau usianya masih muda (sejak reformasi 1998), dapat berjalan lebih baik di banding Malaysia, sebab Indonesia memiliki dua Ormas Islam terbesar di dunia (Muhammadiyah dan NU) yang mampu tampil sebagai kekuatan civil society yang dapat menjadi juru penengah antara rezim pemerintah dan rakyat bawah.

Pak Dekan tersebut mengakui bahwa saat ini di Malaysia, ormas, orpol, bahkan para ilmuan perguruan tinggi umumnya terbelah dua: pro kekuasaan dan yang berpihak ke opisisi. Penulis pun menyampaikan, perguruan tinggi di Malaysia perlu tampil menjadi duta moderasi dengan pola scientific approach, untuk mendamaikan perseteruan politik yang masih jadi perbincangan hangat di kalangan mayoritas publik di Malaysia.

Penulis juga menyampaikan bahwa Anwar Ibrahim dulu pernah melontarkan gagasan tentang Asia Renaissance. Malaysia bersama Indonesia dll bisa menggali kembali potensi Malay Values yg inklusif, yakni tentang: Humanity, Equality, Dialogue of civilization, Global peace and networking, yang dapat menjadi panduan etik, baik bagi Malaysia, Indonesia maupun negara Asia lainnya.

Penting juga dicatat, walaupun saat ini ekonomi dan demokrasi Malaysia tertinggal dari Indonesia, namun dari aspek pendidikan, Indonesia masih harus belajar dari beberapa success story beberapa kampus di Malaysia yang sudah masuk world rank.

Wallahu a’lam bisshawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *