Opini  

Demokrasi Religius: Kaum Muda Mengukir Peradaban

Prof. Dr. Muhammad Azhar, MA.

Prof. Dr. Muhammad Azhar, MA.

(Dosen FAI-Pascasarjana UMY dan LARI (Lingkar Akademisi Reformasi Indonesia)

Istilah sejarah sendiri berakar pada kata syajarah yang berarti pohon. Secara historis-filosofis, sebuah pohon dimulai dari bibit yang tumbuh menjadi batang, dahan, ranting, daun, bahkan ada yang menghasilkan buah. Demikian gambaran siklus kehidupan manusia serta seisi alam semesta yang mengitarinya. Proses dinamika kesejarahan manusia dan alam ada yang bersifat linier, namun ada pula yang sirkular, sesuai dengan perspektif yang dipilih.

Masing-masing makhluk di alam ini memiliki keunikan linieritas dan sirkularitasnya masing-masing, yang dapat dipahami dengan berbagai ruanglingkup dan pendekatan keilmuan, baik yang bersifat keagamaan (religious studies), social (social sciences), eksak (natural sciences) dan humaniora (humanities).

Sejarah memang umumnya terkait dengan kehidupan manusia dan alam di masa lalu. Namun khazanah masa lalu tersebut dapat dijadikan medium hikmah (wisdom) untuk dijadikan pelajaran (i’tibar) bagi upaya pembangunan peradaban manusia dan alam di masa kini, dan masa depan. Pemikir sejarah seperti at-Thabary, Ibnu Khaldun serta lainnya, telah banyak mengukir kajian teoritis tentang kesejarahan ini. Demikian pula oleh pakar sejarah yang lahir dari peradaban Barat, Timur, dll.

Para Generasi Z  dan milenialis lainnya mencoba memahami kesejarahan peradaban  Islam di masa lalu, yakni sejak era Nabi Muhammad SAW, Khulafaur rasyidin, hingga Bani Umayyah (tren peradaban politik) dan Bani ‘Abbasiyyah (tren peradaban filsafat, ilmu, sains dll). Para calon intelektual muda juga diharapkan dapat meneliti dan menuliskan tentang dinamika peradaban Islam di benua Afrika (Utara), Eropa  (Andalusia, Spanyol), hingga Asia Tenggara dan Indonesia tentunya.

Secara umum pengkajian dan penulisan terkait data tahun munculnya suatu kerajaan dan peradaban, kelahiran dan kemasyhuran serta berbagai kontribusi keilmuan para tokoh, kemajuan yang dicapai suatu peradaban di masing-masing wilayah,  hingga masa kemunduran. Periodeisasi peradaban sejak era klasik (abad 7 M), abad pertengahan hingga era modern dan kontemporer.

Peran generasi Z dan milenial dalam memahami sejarah merupakan suatu keharusan historis. Sebab, setiap generasi yang lahir tentu memiliki tanggungjawab yang sama – bahkan lebih dibanding –  dengan generasi sebelumnya, yakni secara etik berkewajiban untuk dapat memahami, menganalisis, mengkritisi dan mencermati dinamika peradaban yang terjadi sebelum mereka, juga tentang peradaban masa kini serta prediksi yang harus direncanakan dan dilakukan untuk progresivitas peradaban di masa depan.

Sebagaimana yang telah dialami generasi sebelumnya, maka generasi Z dan milenial juga dituntut untuk mengambil berbagai pelajaran atau hikmah (wisdom) dari semua kesejarahan peradaban manusia yang sudah dilewati sejak bumi terbentang, baik peradaban global (Timur-Barat, Utara-Selatan) terutama peradaban Islam global dan lokal, sebagaimana yang mereka pelajari seperti tercermin dalam berbagai literatur sejarah.

Sebagai calon generasi penerus peradaban Islam di masa yang akan datang, generasi Z dan milenial juga harus memahami dimensi sejarah Islam yang tekstual-normatif maupun historis kontekstual-operatif. Sejarah merupakan suatu kemestian bagi para calon ulul albab.

Sejarah Islam ada yang isinya normatif (teks Quran-Hadis) dan ada pula yang historis (dalam berbagai kitab/buku yang ditulis para ulama di berbagai bidang: tauhid/kalam, fikih/ushul fikih, akhlaq, dan ilmu-ilmu social serta saintifik lainnya). Pengetahuan yang ada dalam teks bersifat permanen hingga hari kiamat.

Adapun pengetahuan yang kontekstual-historis-operatif yang ditulis para ulama dan ilmuan, semuanya sangat terbatas (limited) dan akan selalu mengalami perubahan sesuai dengan dinamika zaman dalam konteks wilayah masing-masing. Islam normatif itu tetap (TSAWABIT), sedangkan  Islam historis (MUTAGHAYYIRAT) atau selalu berubah sepanjang masa. Di sinilah posisi konsep ijtihad yang selalu menjembatani antara ketetapan Islam normatif dengan dinamika Islam historis-operatif.

Agama Islam yang normatif ada dalam Quran-Hadis, sedangkan  Islam historis tentu mengalami historisitas dan ideologisasi, hingga institusionalisasi, seperti: bangunan peradaban masjid, kampus, pesantren, madrasah, organisasi keagamaan, dunia seni, bangunan rumah sakit, peninggalan kuburan, taman, bendungan, jembatan, batu nisan, pasar ekonomi/saham, bangunan  perkotaan hingga sarana iptek dalam berbagi bentuknya seperti perkembangan dunia digital saat ini. Di masa depan, pradaban akan semakin berkembang, bahkan manusia sedang merintis untuk dapat berlibur bahkan bermukim di planet Mars, dll.

Warisan peradaban SYARIAT, sifatnya tetap tidak berubah, seperti kumpulan teks Quran hadis. Adapun penafsiran (interprtetation, hermeneutics) akan selalu berkembang menjadi ilmu. Itu sebabnya, kurikulum, buku teks, metode dan sarana pangajaran, selalu bekembang. Jika dulu ada al-jami’ah (universitas) Nizhomiyah, maka di era digital ini ada kampus ZOOMiyah, kuliah pake zoom.

Perlu dipahami, penulisan sejarah juga ada yang mainstream namun ada yang peripheral (marginal). Warisan kesejarahan juga sangat tergantung pada pewaris terutama para penulis sejarah. Setiap generasi akan memahami sejarah masa lalu dengan melihat karya tulis bidang sejarah serta barang-barang pe ninggalan peradaban dari masa lalu seperti bangunan masjid, universitas, dsb.

Secara spesifik, penulisan sejarah tentang era Posmodernisme Islam dimana Mohammed Arkoun, guru besar Sorbonne University, Prancis, juga layak ditampilkan. Arkoun yang berasal dari Aljazair ini dikenal sebagai tokoh pemikir Islam Posmodernis yang memiliki spektrum kajian kontemporer yang luas, tentang: studi Quran, warisan peradaban (turats) serta humanities.

Salahsatu pemikiran Arkoun yang terkenal adalah bahwa ada tiga koneksitas (al-‘alaqah as-tsalastiyyah ad-dairiyyah) antara: Tarikh (history), Fikr (thought) dan Lughah (language), di setiap periodeisasi kesejarahan. Juga ada pemikir kontemporer lainnya seperti: Fethullah Gulen, Tariq Ramadan, Jasser Auda, Abdullah Saeed, Omid Safi, Hassan Hanafi, M. Abed al-Jabiry, Aminah Wadud, Khalid Abou el-Fadl, Nidal Geussom, Bassam Tibi, Abdulkarim Soroush, dll.  Karya-karya mereka sudah banyak yang bisa digoogling.

Karya literasi historisitas peradaban tentu sebagai bahan awal untuk memahami lagi secara lebih kritis pada level jenjang kesarjanaan yang lebih tinggi terkait dengan analisis kritis sejarah dan kebudayaan Islam, Timur dan Barat, terutama pada jenjang Pascasarjana.

Generazi Z dan milenial masa kini yang akan hidup di masa depan, tentu akan mewariskan pula gaya dan model peradaban baru seperti: artefak sejarah, seni, syair, buku, manuskrip, bangunan dll, yang tidak kalah hebatnya dari contoh warisan masa lalu seperti: Borobudur, Prambanan, Candi Boko, masjid Demak, makam Lawang Sewu, menara Eifel (Paris, Prancis), jembatan Brooklyn (New York), taman-taman (garden, park), istana seperti IKN, bangunan masjid Solo dan Jawa Barat; perpustakaan modern dan digital, kota modern China, Dubai, Saudi, Mesir  (piramida), kuil di Thailand, seni tari tradisional dan kontemporer, sinema/film, olahraga, model Omah/kampung Jawa/Tembi, air mancur, dan taman baru, dll.

Peradaban Islam Indonesia masa depan juga perlu pengayaan tentang: decolonization, potensi obat tradisional, kuliner dan pusat-pusat wisata lokal, serta potensi produk local science lainnya.

Wallahu a’lam bisshawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *