Oleh : Syahril Syam *)
Penelitian ilmiah semakin menunjukkan dengan jelas bahwa merubah diri ke arah yang konstruktif dan positif cenderung bersifat kebaikan dan kenikmatan jangka panjang. Sedangkan godaan cenderung berupa kesenangan jangka pendek dan bersifat kesenangan sesaat. Fokus pada tugas-tugas penting bersifat kebaikan jangka panjang, tetapi membuka medsos terasa lebih menyenangkan.
Menahan emosi bisa berefek kebaikan jangka panjang, tapi mengamuk dan berteriak terasa lebih memuaskan dalam jangka pendek. Berhenti merokok untuk kesehatan jangka panjang, tapi dorongan godaan untuk segera merokok terasa lebih nikmat. Diet berakibat baik dalam jangka panjang, tapi makanan enak dan renyah terasa begitu menggoda.
Para ekonom menyebut kecenderungan untuk lebih memilih godaan yang memberi kepuasan instan dibandingkan imbalan jangka panjang yang lebih besar sebagai “bias saat kini”. Dan jika kita perluas imbalan jangka panjang ini hingga ke akhirat, maka betapa banyak “bias saat kini” yang seseorang hadapi. Shalat subuh adalah kebaikan jangka panjang, tapi bias saat kini berupa kenyamanan melanjutkan tidur. Memaafkan menyehatkan dalam jangka panjang dan juga memiliki imbalan jangka panjang di akhirat, tapi melampiaskan dendam terasa nikmat dalam jangka pendek.
Padahal Prof Antonio Damasio yang meneliti tentang emosi sudah membuktikan bahwa secara emosional otak kita dirancang untuk mau rela berkorban demi kebahagiaan yang akan datang. Secara emosional, otak kita dirancang untuk mau “merasa sakit” di saat ini demi sesuatu yang bermakna di masa yang akan datang. Artinya kita sebagai manusia memang diciptakan untuk bisa menaklukkan godaan. Namun betapa banyak dari kita yang justru tidak menggunakan potensi ini. Godaan selalu terasa lebih memikat (karena kenikmatannya dirasakan saat ini) dibandingkan mesti bersusah payah untuk melakukan perubahan positif yang kebaikan dan kenikmatannya dirasakan nanti.
Namun kita bisa menaklukkan godaan itu dengan melakukan rekayasa kenikmatan instan. Penelitian Katy Milkman menunjukkan bahwa membatasi diri untuk memanjakan diri dengan memperoleh kenikmatan godaan hanya pada hal-hal yang ingin kita ubah secara konstruktif dan positif, ternyata sangat ampuh untuk membantu kita melakukan perubahan tersebut. Misalnya membatasi diri hanya akan mendengarkan novel audio saat sedang berolahraga. Bahkan para siswa yang menikmati cemilan, musik, dan pena penanda sambil mengerjakan tugas matematika yang sulit, ternyata mereka bisa menyelesaikan lebih banyak tugas.
Merekayasa kenikmatan instan yang digabungkan ke dalam perubahan konstruktif dan positif, akan membuat tujuan-tujuan yang sulit menjadi tidak menakutkan lagi. Hanya saja tidak semua perubahan positif bisa digabungkan dengan kenikmatan instan. Sangat sulit menggabungkan makan cemilan atau minum teh tarik sambil berlari keliling taman. Tapi sesungguhnya kita bisa membuat godaan yang bersifat kepuasan instan bekerja untuk kita, alih-alih melawan kita. Riset berkali-kali membuktikan bahwa alih-alih melawan godaan, kita lebih mudah melakukan perubahan konstruktif dan positif dengan mencari cara untuk membuat perilaku yang baik lebih memuaskan dalam jangka pendek. Tentu saja perubahan ini juga akan berdampak positif dalam jangka panjang.
Kita bisa memikirkan cara untuk menjadikan perubahan positif untuk tujuan jangka panjang menjadi terasa langsung memuaskan. Karena ternyata penelitian seorang ekonom Jana Gallus menunjukkan bahwa kepedulian orang sebenarnya jauh lebih besar daripada imbalan uang.
Seiring kenikmatan dan kemungkinan untuk mendapat pengakuan dari rekan sejawat terbukti lebih memotivasi diri kita dibandingkan dengan gaji. Kita bisa membuat suatu perubahan menjadi mirip permainan yang menantang. Suatu tindakan perubahan yang bukan permainan, tetapi terasa menyenangkan dan tidak membosankan dengan menambah ciri-ciri mirip permainan, seperti hadiah simbolik, perasaan persaingan, perasaan dihargai, dan perasaan untuk menyelesaikan tugas.
Bagi orang tua yang kesulitan bangun shalat shubuh, bisa mengubah perilaku buruk ini dengan mengajak anak untuk ikut “bermain” shalat shubuh. Pertama-tama buat kesepakatan dimana kedua belah pihak akan setuju untuk konsisten bangun shalat shubuh. Karena perubahan akan terasa seperti permainan yang menyenangkan jika semuanya setuju untuk ikut bermain. Saat orang tua dan anak setuju untuk konsisten bangun shalat shubuh, maka ketika anak berhasil mengerjakan shalat shubuh tepat waktu, maka berilah ia perasaan dihargai dan perasaan menang karena berhasil shalat shubuh tepat waktu. Bisa dengan memeluknya sambil berkata, “Mantap usaha kamu nak.”.
Kita pun sebagai orang tua akan merasa tertantang untuk mesti bangun shalat shubuh. Karena akan malu jadinya jika kita kalah dalam “permainan” ini. Ibarat bermain video game, tantangan setiap level permainan justru menjadi motivasi sekaligus keseruan untuk terus bermain. Hal yang sama bisa kita lakukan untuk perubahan-perubahan konstruktif dan positif lainnya.
@pakarpemberdayaandiri













