Prof. Dr. Muhammad Azhar, MA.
Dosen FAI-Pascasarjana UMY dan LARI (Lingkar Akademisi Reformis Indonesia)
Jumat, 27 Mei 2022, pukul 10.15 WIB, Buya Ahmad Syafii Maarif mengembuskan nafas terakhirnya, meninggalkan dunia yang fana menuju keharibaan Ilahi yang Maha Kekal dan Abadi. Sebagai mantan pemimpin PP Muhammadiyah, aktivis kemanusiaan, ulama, intelektual, negarawan, guru bangsa, pecinta perdamaian dan kemanusiaan, sosok Buya sudah tidak diragukan lagi, baik di kalangan umat beragama, warga bangsa bahkan dunia.
Selain di berbagai forum nasional, beberapa kali Buya Syafii – alumni Muallimin dan Chicago University – juga memberikan pencerahan peradaban di berbagai forum internasional. Gagasan Buya yang humanis dan pluralis, banyak dipengaruhi oleh filosof Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, Jalaludin Rumi, Ibnu Khaldun, Maxim Robinson, dan lain-lain.
Pada Juni 2008, Buya Syafii menerima Ramon Magsysay Award di Filipina, untuk kategori Peace and International Understanding. Carmencita T. Abella, Presiden RMAF, ketika itu, menyampaikan bahwa Buya Syafii menerima award ini karena komitmen dan kesungguhannya membimbing umat Islam untuk menyakini dan menerima toleransi dan pluralisme sebagai basis untuk keadilan dan harmoni di Indonesia bahkan di dunia.
Mendapatkan penghargaan bergengsi tersebut Buya menyatakan “Saya biasa-biasa saja. Malah terlintas di hati saya sebuah pertanyaan apakah saya layak menerima penghargaan itu.” Bagi Buya yang rendah hati, penghargaan itu terlalu tinggi.
Namun Buya Syafii berharap agar penghargaan yang ia terima ini dapat memberi inspirasi bagi kalangan muda untuk meneruskan perjuangan menegakkan moderasi, inklusivitas dan pluralisme.
“ Kalau boleh berharap, semoga generasi muda lebih serius memperjuangkan pluralisme dan moderasi. Tapi yang autentik. Tidak berpura-pura,” tegasnya.
Banyak jejak pemikiran Buya yang substantif dan humanis telah diwariskan kepada umat, bangsa Indonesia dan dunia, yang perlu menjadi pegangan moral dan intelektual, terutama bagi kaum muda penerus bangsa Indonesia di masa depan.
Umat Islam Tidur Seribu Tahun
Dalam beberapa ceramah dan wawancaranya, Buya menyampaikan betapa mandeknya pintu ijtihad di dunia Islam, termasuk Indonesia. Buya sering mengutip pandangan gurunya yakni Fazlur Rahman yang menyatakan bahwa “umat Islam sudah tidur seribu tahun.”
Shock therapy yang disampaikan gurunya tersebut tampaknya sangat membekas bagi Buya. Gagasan Sir. Muhammad Iqbal, filosof dan penulis puisi asal Pakistan juga tentu semakin memperkuat ghirah pemikiran Buya tentang pentingnya ijtihad dalam Islam.
Bagi Muhammad Iqbal, konsep ijtihad merupakan “The Principle Movement in Islam”. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Nabi sendiri bahwa orang yang berijtihad, walaupun hasilnya keliru, tetap diberi pahala, sepanjang dilaksanakan secara serius. Itu artinya, Nabi Muhammad SAW tidak pernah menutup pintu ijtihad.
Peluang ijtihad tetap terbuka sepanjang zaman, sebab Islam yang universal akan selalu menghadapi konteks sosial yang dinamis dan partikular (Islam shalihun li kulli zaman (time) wa makan (place). Itu sebabnya, khazanah pemikiran Islam sangat kaya dengan berbagai aliran dan mazhab (school of thought). Sikap tasamuh dan toleransi menjadi suatu keniscayaan di kalangan umat Islam.
Islam Pra Siffin
Terkait fakta historis tentang konflik umat Islam era awal, Buya menyatakan: “Jika Perang unta hanya melibatkan rakyat Kufah sebagai pendukung Ali dan lawannya penduduk Bashra, Perang Siffin telah melibatkan rakyat Suriah dan rakyat Irak. Radiusnya jauh lebih luas dan sifatnya kompleks sekali, korbannya pun puluhan ribu dari kedua belah pihak.”
Dalam bacaan Buya, sebelum Perang Siffin ini, kubu Suni, Syiah, dan Khawarij belum dikenal. Justeru, perang inilah yang memicu munculnya sekte-sekte yang merusak seluruh perjalanan sejarah umat Islam selama sekitar 14 abad. Akankah komunitas Muslim di seluruh dunia tidak juga mau belajar dari drama sejarah yang mengingkari pesan Alquran itu? Kapan umat Islam merasa muak dengan peperangan?
Karena kecewaan Buya dengan konflik Sunni-Syiah dll, maka Buya mengidealisasikan agar umat Islam segera kembali ke zaman Pra Siffin, yakni zaman Nabi, dimana umat Islam belum terpecah-belah.
Yang ideal itu, ujar Buya, umat kembali pada al-Qur’an: Waqala innani min al-muslimin (Dia berkata bahwa Aku seorang muslim), tanpa embel-embel Sunni, Syiah dll. Buya sendiri baru merasa sadar keluar dari kotak-kotak sektarianisme tersebut mulai tahun 1992.
Kesadaran Buya ini, berdasarkan pada kajian sejarah dan al-Quran, bahwa umat dilarang pecah berkeping-keping. Dalam konteks ini Buya mengoreksi sikap truth claim yang muncul di kalangan umat. Sebagaimana pernyataan al-Quran (li kulli hizbin bima ladayhim farihun); setiap kelompok cenderung mengklaim kebenaran dan kebaikan kelompoknya sendiri. Sikap truth claim melahirkan fanatisme glongan, organisasi, aliran, dan sejenisnya.
Lanjut Buya, jika umat betul-betul serius merujuk pada al-Qur’an, maka banyak masalah yang bisa diselesaikan. Namun, menurut Buya, ada dua syaratnya: umat harus mempunyai ‘aqlun shahih (akal yang waras), dan qalbun salim (hati yang bening). Kebeningan hati dan kewarasan berpikir tersebut akan terjaga jika kita jauh dari kepentingan dunia dan subjektivisme sejarah. Jika hal tersebut bisa dilakukan, maka kita bisa menjadi manusia merdeka.
Wujudkan Peta Keadilan Sosial
Buya juga sangat concern dengan konsep keadilan sosial. Untuk konteks Indonesia, menurut Buya, dari lima sila yang ada dalam Pancasila, sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan sila yang paling sial.
Dalam beberapa tulisannya, Buya mengangakat kisah-kisah inspiratif tentang perjuangan hidup kaum miskin. Bahkan Buya juga pernah menyampaikan dalam satu artikelnya tentang kesusahan warga kampungnya di Sumpur Kudus, Sumbar yang belum memiliki listrik.
Inspirasi tentang sila keadilan sosial ini sedikit banyaknya memang diilhami dari konsep al-Maun yang digagas KHA Dahlan, maupun etika sosial al-Quran tentang fenomena kemiskinan yang digagas oleh gurunya, Fazlur Rahman. Buya seringkali mengkritisi kehidupan politik modern yang serba konsumtif dan kapitalistik. Bahkan Buya juga beberapa kali mengoreksi para pemimpin dan politisi yang rabun senja karena lebih mementingkan kehidupan pribadi dan mengabaikan nasib rakyat jelata.
Berbicara tentang keadilan sosial, Buya seringkali tampil sebagai tokoh yang berkeluh kesah karena perhatiannya yang tinggi tentang hal tersebut. Boleh jadi ini juga akibat terpaan hidup yang serba kekurangan di masa mudanya, hingga harus terus berjuang keras menghidupi keluarga, bahkan setelah pulang dari studi di Amerika.
Menangkap Spirit al-Quran
Buya juga selalu mendorong umat Islam untuk terus menggali berbagai spirit dan pesan-pesan universal yang terkandung dalam al-Qur’an. Menurut Buya, umat Islam seringkali terpenjara dengan tafsiran-tafsiran produk sejarah yang temporer, dan partikular, namun mengabaikan pesan-pesan utama al-Qur’an.
Pesan transendental ilahiah, misi kemanusiaan, kajian kritis terhadap sejarah dengan menggunakan akal sehat dan kejernihan hati, menebarkan kedamaian, mempererat persaudaraan seagama dan sesama umat manusia, serta terus memperkaya diri dengan berbagai cabang ilmu sebagaimana yang banyak dicantumkan dalam al-Qur’an.
Buya juga selalu mengingatkan agar umat tidak terlena dengan kehidupan dunia yang serba singkat dan fana ini. Dalam satu kajian Majelis Tarjih, Buya juga mendorong para ilmuan Tarjih untuk terus mengikuti kajian-kajian kritis tentang hadis.
Preman Berjubah
Istilah preman berjubah ini dilontarkan oleh Buya Syafii tahun 2005, sebagai kritik Buya terhadap perilaku segelintir umat yang berpenampilan agamis, namun berjiwa preman dan cenderung “menghalalkan” kekerasan, baik kekerasan verbal maupun kekerasan fisik.
Buya pernah dikiritik karena bertemu mantan Presiden AS, George W. Bush dan dinilai akan menjadi corong AS di Indonesia. Namun Buya justeru mengkritisi balik kaum berjubah tersebut sebagai kumpulan orang yang hanya berani mengepalkan tinju dari kejauhan.
Bagi Buya akan lebih terhormat jika berani berhadapan langsung dengan Bush, dengan berkata santun namun tetap tajam mengkritik watak imprialisme Amerika.
Tidak Ada Konsep Negara Islam
Sebelum bertemu gurunya Fazlur Rahman, Buya dulunya termasuk orang yang meyakini pentingnya Islamic state ala Maududi, dll. Namun setelah banyak berdialektika dengan Prof. Fazlur Rahman, tokoh Neomodernisme Islam, belakangan Buya meyakini bahwa Islam tidak memiliki konsep dan format sistem pemerintahan tunggal dalam hal bernegara. Toh, kasus suksesi kepemimpinan sejak zaman Nabi, sahabat, dan dinasti Islam belakangan, juga memiliki varian model, pola dan sistem yang plural.
Sebagaimana Fazlur Rahman, Buya Syafii akhirnya berkeyakinan bahwa Islam dapat menerima model sistem pemerintahan yang mana saja sepanjang dapat menegakkan: nilai-nilai keadilan social, terbukanya forum musyawarah dan demokrasi yang bisa menerima berbagai pandangan individu maupun kelompok.
Sebagaimana pernayataan al-Quran yang mendorong umat untuk “mau mendengar berbagai pandangan, namun memilih yang terbaik dari berbagai gagasan yang ada.”
Tradisi musyawarah modern sebagimana yang sudah puluhan tahun diterapkan di Muhammadiyah, NU dan lain-lain, sudah cukup mewakili sistem pelaksanaan konsep syura dan demokrasi.
Dari Teologi Kematian ke Teologi Kehidupan
Dalam ceramah dan tulisannya, Buya juga mengkritisi sikap segelintir umat yang mengklaim jihad melalui jalan radikalisme hingga terorisme bom bunuh diri. Menurut Buya, mereka itu hanya kumpulan orang-orang yang berani mati tetapi tidak berani hidup. Bagi Buya, Islam justeru sangat mendorong umatnya untuk bekerja keras (jihad), berjuang mengatasi berbagai tantangan kehidupan di dunia, beriman dan beramal saleh sebagai bekal kehidupan di akhirat kelak.
Buya berpandangan bahwa pasukan bom bunuh diri merupakan pekerjaan para pengecut dan tidak bertanggungjawab. Pasukan berani mati merupakan pasukan bunuh diri yang pada hakikatnya menyalahi komitmen keimanan kepada Allah, anti kemanusiaan dan sebagai representasi segelintir umat yang bersumbu pendek.
Sekularisme dan Fundamentalisme Sama-sama Destruktif Tentang ini Buya menulis: “Sudah berapa kali saya lontarkan bahwa ujung sekularisme dan fundamentalisme hampir setali tiga uang. Sekularisme mengusir Tuhan dari lingkungan manusia karena dianggap sudah mati, sebagaimana Nietzsche pernah mengatakan, sementara fundamentalisme membajak Tuhan untuk kepentingan kekuasaan.
Bedanya, sekularisme memberhalakan manusia dalam mencapai tujuannya yang serba duniawi, fundamentalisme berlindung di belakang jargon-jargon religius untuk membunuh peradaban. Rezim Taliban di Afghanistan adalah contoh yang dekat dengan masa kita yang ingin memutar jarum jam ke belakang. Mereka ingin membangun sebuah dunia cita-cita yang akal sehat tidak dapat memahaminya. Perempuan misalnya tidak perlu sekolah dan harus tinggal di rumah.”
Misguided Arabism
Menurut Buya, umat Islam harus mau bersikap jujur dan terbuka bahwa “posisi Islam sekarang masih belum banyak beranjak dari posisinya yang lampau. Sudah hampir satu abad sepeninggal Al-Afghani dan Abduh, belum banyak yang berhasil kita sumbangkan dari segi pemikiran Islam fundamental, demi mengangkat umat ke posisi yang lebih layak. Tanpa adanya keberanian kita untuk menampilkan peta ajaran baru yang tidak sarat oleh “dosa-dosa” sejarah.
Buya selalu khawatir bahwa umat akan tetap berada di posisi buritan peradaban dalam masa yang agak lama. Bagi Buya, Islam dalam peta ajaran yang baru itu haruslah bercorak non-mazhab dan non-sektarian. Khazanah Islam klasik yang kaya raya itu memang perlu dibaca secara serius, tapi sekali-kali tidak untuk diberhalakan.
Buya juga mengkritisi sejarah Islam awal yang tumbuh di wilayah tanah Arab, penuh dengan konflik yakni dimulai dengan munculnya sektarianisme Islam: Sunni, Syiah, Khawarij, dan sejenisnya. Sunni, Syiah Khawarij ini dampak dari perang Siffin yakni konflik elit Arab Islam era awal dimana kader inti Nabi ikut terlibat.
Bahkan konflik sesama umat juga pernah terjadi di antara keluarga dekat Nabi yakni terjadinya perang Jamal antar pasukan Aisyah (isteri Nabi) dan pasukan Ali bin Abi Thalib (keponakan Nabi). Demikian pula, misguided Arabism diwarnai dengan terbunuhnya tiga khalifah Islam (Umar, Usman dan Ali), hingga Hasan-Husein. Misguided Arabism itu juga berlanjut pada dinasti Umayah.
Perbudakan Spiritual
Terkait hal ini, Buya mengoreksi sikap sebagian umat yang mendewa-dewakan keuturunan Nabi, sehingga menghilangkan akal kritis umat terhadap tokoh yang diidolakan. Sejalan dengan pandangan al-Qur’an, kemuliaan seseorang diukur sesuai kadar ketakwaannya, bukan karena garis keturunannya maupun berdasarkan simbol-simbol sosial dan kultural lainnya.
Muhammadiyah Sebagai Gerakan Ilmu
Perhatian Buya terhadap ilmu terutama terpusat pada bidang: agama, filsafat, sejarah, politik, demokrasi, dan kebudayaan. Kecintaannya terhadap ilmu ini mendorong Buya agar kelak Muhammadiyah menjadi pusat gerakan ilmu dan intelektualisme keislaman. Jika Amien Rais mengkritisi Muhammadiyah terkait isu Tauhid Sosial, maka Buya juga ikut mengkritisi Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang masih terjebak rutinitas keseharian kerja-kerja praktis kemanusiaan.
Menurut Buya, berbagai AUM yang ada harus ditingkatkan menuju kerja-kerja keilmuan, yang dalam jangka panjang berbagai AUM tersebut menjadi pusat-pusat pengembangan ilmu, sesuai bidang dan potensi daerah masing-masing.
Muhammadiyah NU Mengawal Indonesia
Pesan terakhir Buya kepada Prof Haedar Nashir, Ketum PP Muhammadiyah, beliau mengingatkan: agar selalu menjaga keutuhan bangsa, keutuhan Muhammadiyah, dan keutuhan umat Islam. Dalam salahsatu pernyataannya Buya juga sangat menekankan pentingnya menjaga kekompakan di kalangan Muhammadiyah dan NU.
Beberapa pernyataan beliau:
(1) Muhammadiyah-NU seharusnya tampil menjadi tenda besar bangsa dan negara;
(2) Muhammadiyah-NU harus berpikir besar, saling membantu dan saling berbagi;
(3) Muhammadiyah-NU mesti bergandengan tangan untuk menjaga keutuhan Indonesia dari segala macam tangan perusak, termasuk dari mereka yang memakai bendera agama;
(4) Muhammadiyah-NU yang mewakili arus utama Islam Indonesia harus semakin menancapkan jangkarnya di samudera Nusantara sedalam-dalamnya;
(5) Energi jangan lagi dikuras untuk memburu kepentingan pragmatisme jangka pendek. Islam terlalu besar dan mulia untuk hanya dijadikan kenderaan duniawi yang bernilai rendah;
(6) Kedua kubu santri ini dalam kaitannya dalam masalah kenegaraan mesti mengubah paradigma berpikirnya untuk tidak lagi terjebak “berebut lahan” dalam kementerian tertentu yang dapat mempersempit langkah besar ke depan;
(7) Sekiranya riak-riak kecil yang “agak aneh” yang menyusup ke dua jamaah santri ini harus cepat disadarkan agar tubuhnya menjadi aman dan kebal terhadap serbuan ideologi impor yang sedang terkapar di tanah asalnya;
(8) Apabila benteng Muhammadiyah-NU jebol ditembus infiltrasi ideologi impor dengan teologi kebenaran tunggal, maka integrasi nasional Indonesia, akan goyah dan oleng. Oleh sebab itu, kedua arus besar komunitas santri ini harus tetap awas dan siaga dalam menghadapi segala kemungkinan buruk itu;
(9) Pertanyaannya kemudian adalah apakah generasi baru Muhammadiyah-NU yang lebih terbuka dan relatif punya radius pergaulan yang lebih luas bersedia keluar dari kotak-kotak sempit selama ini? Semestinya tidak ada alasan lagi untuk terus terkurung dalam lingkaran terbatas yang bisa menyesakkan napas dan sia-sia;
(10) Muhammadiyah-NU adalah benteng utama untuk membendung infiltrasi ideologi yang telah kehilangan perspektif masa depan untuk Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan.
Politik Islam dan Pluralisme
Dalam kasus Ahok, Buya berani berbeda pendapat dengan mayoritas umat dan ulama saat itu. Menurut Buya, beliau tidak membela Ahok, tetapi beliau mengoreksi tuduhan bahwa Ahok menghina ulama dan al-Quran. Berdasarkan pembacaan Buya, secara semantik, pidato Ahok di Pulau Seribu, tidak menghina al-Maidah.
Buya pun mengkritik rumusan opini MUI tentang Ahok yg dia nilai kurang cermat. Dalam perjuangannya menegakkan kemanusiaan dan pluralisme, Buya juga termasuk tokoh – bersama Gus Dur – yang merintis keakraban antara Muhammadiyah dan NU.
Sebagaimana yang disebut Gus Dur dalam suatu seminar nasional di kampus UMY, bahwa di kalangan Muhammadiyah dan NU masing-masing memiliki kelompok A dan B. Kelompok A Muhammadiyah dan kelompok A di NU sulit bertemu. Namun, kelompok B di Muhammadiyah maupun NU lebih mudah berteman dan bekerjasama.
Buya juga mengkritik politisi yang rabun senja, yang berpikir jangka pendek dan tidak memiliki sikap kenegarawanan, selain hanya mementingkan pribadi dan kelompoknya saja. Buya juga sangat kritis terhadap kelompok agama yang memperalat simbol keagamaan (politik identitas) untuk meraih kekuasaan, namun melupakan pesan utama keagamaan itu sendiri.
Melalui forum dialog Maarif Institute, Buya juga telah ikut melahirkan gagasan tentang Fikih Kebinekaan, selain juga menerbitkan secara periodik Jurnal Maarif.
Manusia Pemberani dan Merdeka
Sebagian umat memang belum terbiasa menerima perbedaan pendapat. Tuduhan murtad dan liberal pun sering menghiasi media massa, terutama medsos. Buya yang tulus dan santun ini pun tak luput dari tuduhan negatif tersebut.
Sebagaian umat dan warga bangsa lebih menganut mazhab bullywood alias doyan membully, lebih senang personal judgement, sentimen plus ad hominem, daripada adu data dan argumen. Berbeda sedikit langsung baperan dan tidak mau lagi berdialog dengan santun. Bukankah lawan berpendapat merupakan teman akrab dalam berpikir.
Pesan Buya: “Kebenaran itu menyala karena ada yang berani menyatakannya. Kebenaran itu hidup karena ada yang berani menjalaninya.”
Hingga akhir hayatnya, Buya tetap setia mengawal perluasan pembangunan Muallimin, konsisten menakhodai majalah Suara Muhammadiyah, inspirator pengembangan Logmart, sebagai penasehat spiritual Presiden serta juga menolak tawaran sebagai komisaris BUMN. Masa awal reformasi, Buya juga menolak menjadi ketua PAN dan lebih memilih memimpin Muhammadiyah.
Kebegawanan Buya juga diwujudkan oleh Pascasarjana UMY dengan berdirinya Ahmad Syafii Maarif School Of Political Thought And Humanity.
Demikian beberapa jejak pemikiran Buya yang dapat menjadi bahan kajiab kritis bagi generasi pelanjut beliau. Beberapa riset skripsi, tesis hingga disertasi, dan jurnal, sudah banyak membedah pemikiran Buya Syafii Maarif.
Pemikiran Buya Syafii Maarif tentang Pluralisme Agama ditulis oleh Muhammad Qorib (Disertasi UIN Ciputat, 2012). Untuk lebih mendalami beberapa gagasan Buya dapat dibaca dalam beberapa karya beliau pada link google scholar berikut ini:
https://scholar.google.co.id/citations?hl=id&user=wbabRkMAAAAJ&view_op=list_wo rks&sortby=pubdate
Akhirnya kita ucapkan selamat jalan Buya, sudah barang tentu banyak pecinta kemanusiaan dan toleransi yang merasa kehilangan atas kepergian beliau. Seperti penggalan lirik lagu Rhoma Irama: “Kalau sudah tiada, baru terasa …..”.
Selamat menapaki tahapan ruang keabadian, Buya. Kaum muda yang tercerahkan akan terus melanjutkan perjuanganmu, untuk kejayaan peradaban Indonesia di masa depan.
Wallahu a’lam bisshawab.