Spirit  

Bangkitlah, Keyakinan Itu Bersifat Individualistik

Syahril Syam

Oleh: Syahril Syam *)

Elizabeth Loftus, seorang psikolog terkemuka, pernah melakukan percobaan dibantu para mahasiswa tentang betapa mudahnya menciptakan memori palsu dengan memasok informasi yang salah kepada subjek yang bersangkutan. Penciptaan memori palsu ini – yang kemudian menjadi suatu keyakinan – terjadi dengan menggabungkan emosi, situasi yang meragukan, dan informasi menyesatkan yang didapat lewat gosip, rumor, dan desas-desus.

Jadi, kalau kita cenderung terikat secara emosional dengan seseorang, maka kemungkinan besar apa yang disampaikan oleh orang tersebut akan membentuk keyakinan kita, tidak peduli apakah yang disampaikannya benar atau salah. Kita akan mudah memercayainya, bahkan mungkin kita rela mati untuk mempertahankan keyakinan yang sudah terbentuk itu.

Keyakinan kita terbentuk dan berkembang dengan cara yang paralel dengan perkembangan biologis otak sendiri. Selain itu, perolehan pengetahuan dan keterampilan sosial turut membentuk dan mengembangkan keyakinan. Dengan kata lain, informasi apapun yang kita peroleh dan bagaimana kita menafsirkan dan menyatukannya secara neurologis di otak kita, akan menentukan keyakinan yang kita pegang. Itulah mengapa sistem keyakinan kita sangat individualistik.

Riset juga menunjukkan bahwa keyakinan kita bisa berubah dari waktu ke waktu. Saat seorang anak menginjak usia 1 – 6 tahun, keyakinannya akan semakin terbentuk dan berkembang. Mereka mulai menggunakan simbol, bahasa, imajinasi, dan dialog untuk menyusun pengalaman indrawi menjadi sistem keyakinan yang bermakna. Mereka mulai mengerti prinsip sebab-akibat dan mereka juga mulai belajar bergaul dengan orang lain.

Pada bagian otak yang disebut lobus frontal – terletak di belakang dahi – terjadi banyak koneksi antar neuron sehingga membuat anak-anak memiliki keyakinan yang bersifat fantasi. Misalnya, monster, peri, tokoh kartun, atau makhluk imajinatif lainnya. Belum ada kepekaan pada anak usia ini untuk bisa membedakan antara realitas, fantasi, dan mimpi. Dalam dunia pikiran, hal ini terjadi karena critical factor (filter mental) pikiran sadar anak belum aktif sehingga semua informasi yang masuk melalui kelima indranya akan langsung tersimpan di pikiran bawah sadarnya dan membentuk sistem keyakinannya.

Di usia 6 – 10 tahun, anak-anak semakin memperlihatkan pemisahan antara fantasi dan realitas. Mereka menjadi semakin memerhatikan percakapan pribadi dan kisah yang berhubungan dengan suatu kelompok atau komunitas. Mereka mulai menyadari bahwa otoritas yang berbeda memiliki keyakinan dan peraturan yang berbeda. Sebagai contoh, anak pada rentang usia ini cenderung akan membawa keyakinannya yang dia peroleh dari gurunya. Dengan pertambahan usia pada tahap ini, anak juga akan semakin logis dan percaya akan keabsahan keyakinan mereka, walau masih belum mampu mempertanyakan keakuratan keyakinan tersebut. Mereka cenderung membuat generalisasi – semua atau tidak sama sekali − terhadap keyakinan mereka sendiri.

Dimulai dari sekitar usia 10 tahun, keyakinan para remaja ini perlahan-lahan mulai bergeser dari menyenangkan diri sendiri ke menyenangkan orang lain. Mereka ingin mencari persetujuan sosial dan menjadi bagian dari suatu kelompok. Itulah sebabnya keyakinan mereka terbentuk dari menjiplak teman-temannya. Terjadi pengaruh sosial yang cukup besar dalam membentuk keyakinan mereka. Makanya sering terjadi konflik emosional (mengikuti ekspektasi orang tua atau teman sepergaulan) dan pengaruh sosial membuat mereka sering kali berani mengambil suatu tindakan yang beresiko tinggi. Mereka cenderung membuang sebagian keyakinan yang mereka dapatkan dari orang tua, dan memegang keyakinan dari teman sebayanya.

Ketika otak matang pada usia pasca remaja (20 tahun ke atas), maka kemungkinan otak tidak lagi berjalan secara linier. Artinya, otak tak lagi mengikuti setiap tahapan perkembangan yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini sebenarnya mau menunjukkan kepada kita bahwa kita memiliki kehendak bebas atau kekuatan untuk mulai memilih keyakinan mana yang akan kita tempuh sesuai dengan kognisi kita. Sebagian ada yang menjadi semakin optimis dalam menjalani hidup. Sebagian lagi akan menjadi semakin terpuruk dan depresi.

Pada prinsipmya keyakinan selalu akan bernilai benar bagi setiap individu. Dan pada kebanyakan orang yang telah dewasa dari segi usia, keyakinan mereka justru lebih banyak bersifat fantasi, walau lahir dari hasil kognisi mereka sendiri. Itu karena mereka tidak mempertanyakan keyakinan mereka, apakah telah sesuai dengan realitas objektif eksternal ataukah tidak.

Apakah keyakinan mereka hanya sesuai sudut pandang dirinya sendiri sebagai penilai kehidupan atau mengikuti sudut pandang Sang Penilai kehidupan (menjadi manusia yang senantiasa dinilai dalam kehidupan ini oleh-Nya)? Dan karena keyakinannya hanya lahir dari kognisi yang tak objektif, maka keyakinan yang dianggap benar itu justru membuat mereka semakin terpuruk dalam menjalani hidup.

@pakarpemberdayaandiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *