Oleh Achmad Nur Hidayat — Ekonom & Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta
Apakah adil sekaligus efektif bila bantuan sosial (bansos) difokuskan hanya untuk lansia dan difabel, sementara kelompok lain diarahkan ke program pemberdayaan?
Rumusan masalahnya begini: negara memang wajib menjaga martabat warga yang daya kerjanya terbatas, tetapi pada saat yang sama tidak boleh memutus investasi sosial pada anak dan keluarga miskin yang menentukan kualitas generasi mendatang.
Gagasan yang saya ajukan: tetapkan lansia dan difabel sebagai lantai perlindungan permanen, pertahankan pilar investasi manusia untuk anak dan keluarga miskin, dan bangun tangga pemberdayaan yang jelas agar warga usia produktif benar-benar mandiri.
Kemiskinan Menipis, Kerentanan Masih Tebal
Secara agregat, kemiskinan Indonesia menurun.
Namun jutaan rumah tangga tetap hidup di tepi garis: sekali terkena guncangan—harga pangan naik, sakit, atau kehilangan pekerjaan—mereka bisa jatuh kembali.
Di sinilah letak ujian kebijakan. Perdebatan tentang siapa yang menerima bansos tidak boleh hanya dilihat dari ruang fiskal, melainkan dari perspektif kerentanan dan mobilitas sosial.
Kita memerlukan rancangan perlindungan sosial yang mampu menahan kejatuhan sekaligus memberi kesempatan naik kelas, bukan sekadar menyalurkan bantuan musiman.
Lantai Perlindungan: Mengapa Lansia & Difabel Harus Diprioritaskan
Secara etika kebijakan dan praktik global, lansia serta difabel adalah kelompok yang paling wajar menerima dukungan permanen. Keterbatasan daya kerja dan kebutuhan dasar yang relatif lebih besar membuat jaminan tunai reguler menjadi instrumen yang adil dan efektif.
Banyak negara menempatkan pensiun sosial lansia dan tunjangan disabilitas sebagai “jaring terakhir” agar warga tidak terjun bebas ke jurang kemiskinan ekstrem hanya karena faktor usia atau hambatan fungsional.
Dalam konteks Indonesia, memperkuat manfaat, memperluas cakupan, dan memudahkan pembayaran adalah tiga tugas pokok bila prioritas ini hendak ditegakkan dengan sungguh-sungguh.
Pilar Investasi Manusia: Jangan Putus Bantalan untuk Anak & Keluarga Miskin
Kelemahan skenario “bansos hanya untuk lansia & difabel” adalah berisiko mengabaikan investasi manusia pada anak dari keluarga miskin.
Pengalaman internasional dan nasional menunjukkan, bantuan berorientasi anak—dengan komitmen pendidikan dan kesehatan—berdampak kuat pada pencegahan kemiskinan antar-generasi.
Menunda gizi, putus sekolah, dan minim stimulasi dini adalah ongkos sosial yang jauh lebih mahal di masa depan.
Karena itu, kebijakan apa pun yang menyasar efisiensi harus tetap menjaga bantalan keluarga miskin dengan anak sebagai pilar pembangunan manusia yang pengembaliannya berlangsung lintas dekade.
Tangga Pemberdayaan: Dari Bansos ke Mandiri, Bukan “Stop Mendadak”
Pemberdayaan efektif bukan slogan, melainkan jalur graduasi yang terstruktur.
Pendekatannya cash-plus: bantuan konsumsi sementara untuk menstabilkan dapur, lalu paket produktif berisi modal usaha mikro, pelatihan keterampilan, pendampingan intensif, akses pembiayaan yang hati-hati, serta penguatan literasi keuangan. Program seperti PENA, padat karya desa sebagai peredam kejut, dan pelatihan kerja yang link-and-match dapat dirangkai menjadi tangga yang nyata.
Ukuran kelulusan dari bansos tidak cukup administratif; ia harus berbasis pendapatan stabil dan ketahanan terhadap guncangan minimal 12 bulan agar keluarga tidak “naik sehari, jatuh esok hari”.
Integrasi data penerima, pembayaran digital, dan monitoring pasca-graduasi menjadi kunci agar tangga ini tidak licin.
Belajar dari Praktik Dunia: Dua Jalur, Satu Tujuan
Sejumlah negara memberi pelajaran yang relevan. Ada model dua jalur: bagi rumah tangga dengan anggota yang mampu bekerja, tersedia public works atau skema produktif bergaji yang membangun aset publik; bagi yang tidak mampu bekerja, ada dukungan tunai langsung.
Ada pula model yang menekankan bantuan keluarga dengan komitmen pendidikan dan kesehatan anak yang ketat.
Benang merahnya sama: lantai perlindungan untuk yang tak bisa bekerja harus kuat, sementara tangga pemberdayaan bagi yang mampu bekerja harus jelas dan terjangkau.
Kedua hal ini tidak saling meniadakan; justru saling menguatkan bila dirancang dengan data yang akurat dan koordinasi layanan yang rapi.
Rumah Sosial yang Adil dan Efektif
Kebijakan memfokuskan bansos pada lansia dan difabel patut diapresiasi sebagai penegasan mandat moral negara.
Tetapi kebijakan publik bukan perkara memilih satu dan meniadakan yang lain; ini perkara mengurutkan prioritas tanpa merobohkan bangunan.
Formulanya bagi Indonesia jelas. Pertama, jadikan lansia dan difabel sebagai penerima bansos permanen—lantai yang tak boleh retak.
Kedua, pertahankan bantuan berorientasi anak dan keluarga miskin sebagai pilar investasi manusia yang tak bisa digantikan.
Ketiga, percepat pemberdayaan produktif dengan jalur graduasi yang terukur, pendampingan yang serius, dan pengukuran hasil yang jujur.
Dengan lantai yang kokoh, pilar yang tegak, dan tangga yang bisa dinaiki, bansos bukan lagi sekadar biaya, melainkan modal sosial yang memastikan warga paling rentan tetap bermartabat sementara kelompok mampu benar-benar tumbuh, berkembang, dan mandiri.
End









