Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Apakah kita rela membiarkan tata kelola negara berjalan dengan rem tangan tertarik—ketika aparatur sipil yang seharusnya fokus melayani publik justru membagi perhatiannya untuk duduk di kursi komisaris BUMN? Pertanyaan ini bukan soal moralitas personal, melainkan arsitektur kelembagaan.
Rumusan masalahnya sederhana: rangkap jabatan komisaris oleh ASN menciptakan benturan kepentingan, menumpulkan akuntabilitas, dan menggerus profesionalisme baik di birokrasi maupun di BUMN. Gagasan saya jelas: Kementerian Keuangan dan Kementerian PAN-RB perlu mengambil posisi tegas—melarang jabatan ganda komisaris untuk ASN—seraya menyediakan transisi yang rapi dan skema talent pool yang membuka ruang bagi profesional independen.
Analogi yang Menggugah: Sopir, Navigator, dan Bengkel
Bayangkan sebuah perjalanan panjang. ASN adalah sopir yang memegang kemudi kebijakan, BUMN adalah kendaraan yang kita tumpangi, sementara kementerian teknis adalah navigator yang memastikan rute efisien.
Komisaris BUMN adalah mekanik senior di bengkel yang mengaudit kesehatan kendaraan, memeriksa rem, oli, dan sistem listrik agar tidak terjadi kecelakaan tata kelola. Jika sopir sekaligus menjadi mekanik yang mengaudit kendaraannya sendiri, adakah jaminan penilaian akan objektif?
Dalam kondisi terbaik pun, godaan pembenaran diri sulit dihindari. Di sinilah rangkap jabatan menyalakan lampu kuning: insentif yang bercampur, akuntabilitas yang kabur, dan standar kinerja yang tak lagi terukur secara mandiri.
Mengurai Kompleksitas: Bukan Soal Larangan Buta, Melainkan Desain Insentif
Mempermudah topik ini menuntut kita memisahkan dua hal yang sering tercampur: hak individu untuk berkarier dan kepentingan publik untuk memperoleh layanan yang tidak bias. Rangkap jabatan menciptakan tiga distorsi utama.
Pertama, konflik kepentingan laten. ASN yang merancang, mengawasi, atau mengevaluasi kebijakan dan anggaran bisa saja duduk di perusahaan yang terkena dampak kebijakannya sendiri. Bahkan jika tak ada intervensi langsung, ekspektasi dan loyalitasnya terbelah.
Kedua, beban kerja dan fokus. Pelayanan publik menuntut kehadiran penuh, terlebih ketika birokrasi dituntut cepat, gesit, dan responsif. Menambahkan tugas strategis komisaris—rapat, komite audit, manajemen risiko—nyaris pasti mengurangi jam dan energi untuk tugas utama. Ketiga, struktur remunerasi yang bertubrukan.
Gaji dari APBN dan honorarium komisaris sama-sama bersumber dari kekayaan negara. Publik bertanya: mengapa membayar dua kali untuk satu jam yang sama?
Kita sering mendengar pembelaan “penugasan” seolah-olah itu kartu bebas konflik. Argumen ini tidak memuaskan. Penugasan tidak menghapus konflik insentif yang lahir dari peran ganda. Penugasan juga tidak otomatis menghadirkan transparansi; bukti izin, risalah pengangkatan, dan mitigasi konflik sering tidak tersedia bagi publik. Bila tata kelola adalah pangkal kepercayaan, maka keruhnya dokumentasi justru menjadi alarm dini.
Kinerja BUMN Tidak Butuh Rangkap ASN
Agar tidak berkutat pada etika semata, mari turun ke wilayah kinerja. Komisaris adalah garda terakhir tata kelola korporasi—menagih strategi, risiko, dan kepatuhan.birokratik utama pada posisi ini adalah kompetensi industri, independensi penilaian, dan keberanian menegakkan rambu tata kelola.
Pengalaman menunjukkan, dewan yang diisi dengan talenta profesional lintas sektor—keuangandisrupsi pasar. Sebaliknya, rangkap jabatan rawan menghadirkan “comfort zone” regulatif: komisaris tidak cukup kritis pada isu efisiensi operasional karena terikat pada perspektif birokratikda isu efisiensi operasional karena terikat pada perspektif birokratik; direksi pun bisa cenderung defensif karena merasa “diawasi oleh orang dalam pemerintah” ketimbang oleh profesional independen yang benar-benar ‘acid test’ terhadap keputusan bisnis.
Lebih jauh, rangkap jabatan cenderung menyempitkan kesempatan bagi profesional muda.
Saat kursi komisaris disandera oleh rangkap, ekosistem talenta nasional kehilangan jalur regenerasi. Padahal, BUMN membutuhkan darah segar—ahli digital, energi terbarukan, transformasi logistik—yang berani menggugat kebiasaan lama dan menawarkan model bisnis baru.
Perspektif Fiskal: Menjaga Keutuhan Satu Dompet Negara
Kementerian Keuangan memikul amanat menjaga disiplin fiskal, termasuk memastikan setiap rupiah belanja publik menciptakan nilai tambah yang terukur. Jika ASN menerima remunerasi komisaris di perusahaan yang pada saat sama mendapat penugasan, penyertaan modal, jaminan, atau fasilitas fiskal dari negara, “satu dompet” itu menjadi kabur.
Kita dapat berdebat soal skala, tetapi akuntansi moral publik tidak mengenal diskon. Larangan rangkap jabatan mengirimkan sinyal kuat bahwa negara menutup celah persepsi “double dipping” dan menjaga jarak profesional antara regulator, pemilik kebijakan fiskal, dan organ korporasi negara.
Perspektif Birokrasi: Mengembalikan Fokus dan Marwah ASN
KemenPAN-RB memimpin transformasi birokrasi menuju digital, lincah, dan berbasis hasil. Agenda besar ini mensyaratkan fokus penuh ASN pada outcome pelayanan. Larangan rangkap jabatan bukan stigmatisasi terhadap kapasitas ASN, melainkan penghormatan terhadap tugas utama mereka.
Ketika standar kinerja ditautkan ke peta jalan reformasi, setiap jam kerja harus dipertanggungjawabkan pada publik, bukan terbagi oleh rapat-rapat dewan yang bersifat korporasi dan sering berlokasi di luar jam atau kota. Dengan melarang rangkap, KemenPAN-RB menegaskan bahwa marwah ASN adalah pengabdian penuh, bukan portofolio jabatan.
Jalan Kebijakan: Tegas, Bertahap, dan Memberdayakan Talenta
Solusi tidak boleh berhenti pada larangan. Justru di sinilah desain kebijakan diuji. Pertama, nyatakan larangan prospektif yang jelas untuk ASN aktif duduk sebagai komisaris, dengan pengecualian sangat terbatas dan terukur—misalnya penugasan temporer maksimal satu kali masa jabatan singkat dalam situasi krisis khusus, disertai uji kepentingan dan publikasi dokumen izin. Kedua, tetapkan masa transisi yang wajar bagi mereka yang saat ini menjabat.
Transisi ini harus disertai audit konflik kepentingan, laporan kehadiran, serta evaluasi kinerja dewan untuk mencegah vacuum governance. Ketiga, bentuk talent pool komisaris independen skala nasional. Kemenkeu bersama KemenPAN-RB dan Kementerian BUMN dapat merancang basis data terbuka yang menampung profesional lintas bidang, diaspora, akademisi, serta pelaku industri, dengan proses seleksi berbasis kompetensi, rekam jejak integritas, dan tes konflik kepentingan.
Keempat, wujudkan transparansi. Semua surat pengangkatan, izin, dan mitigasi konflik kepentingan harus dipublikasikan proaktif.
Keterbukaan bukan sekadar akuntabilitas; ia adalah pagar yang mencegah prasangka publik dan menumbuhkan kepercayaan investor. Kelima, sinkronkan insentif.
Reformulasi honorarium komisaris agar berbasis kinerja dan indikator tata kelola, sekaligus melarang rangkap posisi komisaris di lebih dari satu BUMN untuk menjaga fokus. Keenam, dorong regenerasi. Tetapkan porsi kursi untuk talenta muda dan perempuan profesional, demi memperkaya perspektif dewan dan mengakselerasi inovasi.
Menjawab Keberatan: “Mengapa Tidak Dikelola Saja, Bukannya Dilarang?”
Keberatan lazim berbunyi demikian: “Jika konflik kepentingan bisa dikelola dengan izin berjenjang dan deklarasi, mengapa harus dilarang?” Jawaban saya—karena skala dan frekuensi benturan yang melekat pada struktur jabatan publik sulit dinetralisasi hanya dengan dokumen.
Kepentingan kebijakan fiskal, regulasi industri, dan keputusan korporasi saling beririsan rapat; pada titik ini, prinsip kehati-hatian menuntut pemisahan peran. Larangan adalah “rem tangan institusional” yang memastikan kendaraan tidak meluncur ke jurang abu-abu. Lagipula, kita tidak kekurangan talenta.
Negara yang serius memperbaiki tata kelola tidak boleh terjebak ilusi bahwa hanya rangkap ASN yang dapat menyelamatkan kualitas dewan.
Momentum Kebijakan: Saat Terbaik Adalah Sekarang
Keputusan yang tegas seringkali menimbulkan riak jangka pendek, tetapi melahirkan stabilitas jangka panjang. Melarang rangkap jabatan komisaris bagi ASN akan memurnikan peran, memperjelas jalur akuntabilitas, dan meningkatkan kualitas pengawasan BUMN.
Pada saat yang sama, kebijakan ini membebaskan energi birokrasi untuk fokus pada reformasi layanan, transformasi digital, dan hasil yang dirasakan warga. Bagi Kemenkeu, ini adalah investasi reputasi fiskal; bagi KemenPAN-RB, ini peneguhan standar etika dan profesionalisme; bagi BUMN, ini injeksi independensi yang selama ini dirindukan pasar.
Mengembalikan Kepercayaan Publik
Jika tata kelola adalah kontrak sosial, maka larangan rangkap jabatan komisaris bagi ASN adalah klausul yang mengembalikan kepercayaan. Publik berhak atas birokrasi yang hadir penuh dan BUMN yang diawasi secara objektif.
Kita ingin sopir yang fokus, navigator yang sigap, dan mekanik yang berani berkata “rem harus diganti, sekarang.” Kemenkeu dan KemenPAN-RB memegang kunci untuk memastikan kendaraan ini melaju selamat, efisien, dan sampai tujuan. Kebijakan yang tegas bukan tindakan anti-ASN, melainkan pro-publik.
Dengan melarang rangkap jabatan dan menata transisi yang adil, kita tidak hanya menutup celah konflik, tetapi juga membuka jalan bagi profesionalisasi BUMN dan pemulihan kepercayaan yang menjadi modal utama pertumbuhan.
Saatnya rem tangan institusional ditarik pada praktik rangkap yang menumpulkan akuntabilitas. Saatnya negara memilih kejernihan peran di atas kenyamanan status quo. Dan saatnya kita percaya bahwa dengan desain yang tepat, integritas dan kinerja tidak perlu dirangkap—cukup ditegakkan.
END











