Opini  

Infrastruktur: Besar Pasak Daripada Tiang

Foto medcom.id

Oleh Achmad Nur Hidayat — Ekonom & Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta

Apa sebabnya banyak proyek infrastruktur gagal bayar? Pertanyaan ini muncul ketika publik membandingkan janji manfaat—kecepatan, efisiensi, kebanggaan—dengan okupansi yang rendah, arus kas minus, dan polemik hukum.

Rumus masalahnya begini: kita kerap menilai proyek publik hanya dari laba-rugi operator, padahal infrastruktur adalah mesin eksternalitas—ia menggerakkan nilai di luar tiket dan tarif.

Namun ketika mesin itu dibangun di lokasi salah, dibiayai mahal, dan dikelola tanpa disiplin, eksternalitas positif berubah menjadi beban fiskal dan reputasi.

Gagasan saya sederhana: bedakan tegas antara risiko pembangunan yang masih rasional dengan kegagalan tata kelola; yang pertama butuh perbaikan operasional dan waktu, yang kedua menuntut koreksi struktural dan, bila ada indikasi pidana, proses hukum yang tegas.

Bayangkan infrastruktur sebagai jembatan baru antara dua pulau ekonomi: pusat produksi dan pasar kerja.

Pada awalnya, lalu lintas belum ramai karena rumah tangga dan bisnis butuh waktu mengubah rute dan pola aktivitas.

Secara akuntansi, jembatan “rugi”; secara sosial, ia sudah menghemat waktu dan biaya.

Analogi ini hanya berlaku bila jembatan terhubung ke jaringan jalan pengumpan yang efisien, tarifnya wajar, dan pengelolanya adaptif.

Jika jembatan berujung di jalan buntu atau tarifnya tak kompetitif, kita bukan sedang menunggu permintaan “dewasa”, melainkan menunda pengakuan kesalahan desain.

Sepi Peminat Bukan Otomatis Gagal

Okupansi rendah di tahun-tahun awal bisa wajar: ada kurva adopsi, penyesuaian tarif, integrasi antarmoda, dan reposisi kegiatan ekonomi di sekitar simpul transportasi.

Proyek kereta, LRT, atau bandara baru sering memerlukan orkestrasi kebijakan tata ruang dan pelayanan yang konsisten sebelum penumpang datang.

Namun sinyal yang menetap—akses first/last mile mahal, jadwal tak sinkron, harga tak sepadan dengan nilai waktu yang dihemat, serta skema pembiayaan yang mencekik—adalah gejala struktural.

Pada fase ini, narasi “butuh waktu” harus diganti “butuh koreksi”.

Anatomi Kegagalan yang Berulang

Kegagalan biasanya lahir dari empat simpul.

Pertama, bias optimisme dalam proyeksi permintaan yang memicu kapasitas berlebih dan biaya tetap tinggi.

Kedua, desain jaringan yang parsial: proyek utama dibangun tanpa feeder yang andal sehingga perjalanan ujung-ke-ujung tetap tidak efisien.

Ketiga, struktur tarif dan layanan yang kalah dari alternatif yang sudah mapan; pengguna rasional kembali ke moda lama.

Keempat, pembiayaan yang tidak cocok dengan umur aset: tenor pendek, bunga tinggi, atau eksposur valas membuat beban bunga melahap pendapatan.

Kombinasi ini menjebak operator pada spiral rugi yang tidak bisa diselesaikan dengan promosi semata.

Bagaimana Pemerintah dan BUMN Harus Bertindak

Langkah pertama adalah audit independen yang memisahkan masalah operasional dari dugaan pelanggaran.

Audit operasional memeriksa desain layanan, integrasi moda, dan tata kelola data permintaan. Hasilnya harus segera ditindak: sinkronisasi jadwal lintas operator, tarif terusan antarmoda, perbaikan akses first/last mile, dan penyederhanaan kanal pembayaran.

Langkah kedua adalah terapi finansial yang menyelaraskan umur aset dengan umur pembiayaan: restrukturisasi tenor dan bunga, pengurangan eksposur valas, atau konversi sebagian kewajiban menjadi ekuitas secara terukur.

Publik tidak boleh menanggung kerugian dari kontrak buruk, namun negara juga tak boleh membiarkan aset strategis kolaps karena mismatch jatuh tempo.

Langkah ketiga adalah diversifikasi pendapatan non-tiket: pengembangan kawasan berorientasi transit, komersialisasi lahan stasiun, logistik dan MRO di bandara, serta pemanfaatan aset untuk kargo ketika segmen penumpang belum matang.

Dan bila setelah upaya ini manfaat sosial tetap tipis, opsi repurpose, mothball, atau divestasi harus dibuka—lebih baik jujur mengubah fungsi ketimbang mempertahankan simbol.

Dimensi Hukum yang Perlu Dijaga

Kerugian finansial tidak otomatis pidana.

Pembangunan mengandung risiko dan keputusan yang diambil dalam koridor aturan perlu dilindungi agar inovasi kebijakan tidak mati.

Ranah pidana baru relevan ketika audit menemukan indikasi korupsi, kolusi, mark-up, atau manipulasi pengadaan yang menimbulkan kerugian negara.

Pembedaan ini penting untuk melindungi pejabat yang bertindak rasional sekaligus memastikan penyelewengan dibawa ke meja hukum.

Transparansi asumsi, dokumentasi keputusan, dan pelaporan kinerja triwulanan yang mudah dipahami publik adalah tameng terbaik dari kriminalisasi kebijakan sekaligus prasyarat akuntabilitas.

Disiplin Mengakui Risiko, Tegas Mengoreksi Salah

Menilai infrastruktur hanya dari neraca laba-rugi sama kelirunya dengan menilai universitas dari kantin.

Namun berlindung di balik jargon “manfaat sosial” tanpa disiplin desain, pembiayaan, dan tata kelola hanya melahirkan gajah putih.

Jalan tengahnya jelas: akui kurva adopsi sebagai risiko wajar, tetapi koreksi cepat gejala struktural. Lakukan audit independen, benahi operasi, selaraskan pembiayaan, kembangkan pendapatan non-tiket, lalu ambil keputusan akhir yang berani.

Dan bila ada jejak pidana, biarkan hukum berjalan setegak rel yang baik. Hanya dengan cara itu infrastruktur menjadi mesin pemerataan yang sungguh menyala, bukan monumen kesia-siaan.

End

https://achmadnurhidayat.id/2025/10/infrastruktur-indonesia-10-tahun-terakhir-2014-2025-besar-pasak-daripada-tiang/

banner 400x130

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *