Opini  

Menata Ulang Rp200 Triliun: Dari Likuiditas Semu ke Mesin Pencipta Kerja

Ekonom Achmad Nur Hidayat

Oleh Achmad Nur Hidayat — Ekonom & Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta

Pertanyaan yang Harus Dijawab Sekarang

Apakah menempatkan Rp200 triliun pada bank-bank Himbara merupakan cara paling efektif menggerakkan ekonomi rakyat? Atau lebih tepat bila dana itu dievaluasi, ditarik kembali dari porsi yang tidak produktif, lalu disalurkan ulang hanya ke kredit yang terbukti menciptakan kerja dan mendorong formalisasi UMKM?

Saya memilih opsi kedua, karena uang publik harus “diborgol” pada keluaran nyata, bukan sekadar menambah bantalan neraca perbankan seperti saat ini.

Masalah Inti: Likuiditas Tanpa Pipa

Tujuan penempatan dana jelas: menurunkan biaya dana, mempercepat kredit, menghidupkan sektor riil.

Namun likuiditas melimpah tidak otomatis menjadi kredit berkualitas.

Dalam kalkulus perbankan, risiko UMKM kerap dinilai tinggi; tanpa perubahan desain, dana murah mudah “parkir” sebagai likuiditas pasif.

Fiskal pun kehilangan bantalan kas sementara, sementara manfaat riil lambat muncul.

Kebijakan besar harus memastikan uang mengalir ke kegiatan produktif yang terukur dampaknya bagi rakyat.

Analogi Irigasi: Air Ada, Sawah Tetap Kering

Bayangkan bendungan dibuka, tetapi saluran tersier ke sawah belum terpasang.

Air menggenang di hulu, lahan di hilir tetap kering. Begitu pula kebijakan likuiditas yang tidak disertai pipa kebijakan—target sektor, indikator pekerjaan, dan syarat formalisasi—akan menghasilkan kolam dana, bukan panen produksi.

Mengapa Pekerjaan dan Formalisasi UMKM?

UMKM menyerap mayoritas tenaga kerja dan menyumbang porsi besar PDB, namun formalisasi masih lemah.

Banyak pelaku belum memiliki NIB, NPWP, dan kepesertaan BPJS; akibatnya akses pembiayaan murah terbatas, produktivitas tertahan, dan data ekonomi kabur.

Setiap kredit yang memaksa formalisasi memberi “efek ganda”: menurunkan biaya modal ke depan, memperluas basis pajak, memperkuat jaring pengaman sosial, dan meningkatkan kualitas data untuk pengambilan keputusan.

Menimbang Kebijakan: Niat Tepat, Disiplin Eksekusi Kurang

Larangan penggunaan dana untuk pembelian valas dan pembiayaan konglomerat adalah pagar penting.

Namun pagar saja tidak cukup. Tanpa tenggat penyaluran, tanpa konsekuensi untuk dana yang pasif, dan tanpa kontrak kinerja yang menautkan kredit dengan penciptaan kerja formal, kebijakan berhenti pada headline, bukan hasil.

Gagasan Perbaikan: Tarik Bertahap, Salurkan Ulang dengan Kontrak Kinerja

Solusi bukan membatalkan skema, melainkan mendisiplinkannya.

Tarik kembali—secara bertahap—porsi dana yang tidak menjadi kredit produktif dalam 60–90 hari, lalu salurkan ulang melalui “Kredit Penciptaan Kerja & Formalisasi” (KPKF).

KPKF mensyaratkan debitur memiliki NIB/NPWP, mendaftarkan pekerja baru ke BPJS, serta—untuk pangan/kesehatan—memenuhi izin sederhana seperti PIRT.

Grace period bunga hanya berlaku jika paket formalisasi tuntas. Dengan begitu, subsidi likuiditas dikonversi menjadi investasi institusional yang menurunkan risiko dan mengangkat kelas usaha.

Arsitektur Pelaksana: Job-Linkage, Formalization-First, Risk-Sharing

Pertama, job-linkage: plafon kredit diikat pada komitmen perekrutan; rasio pekerja-baru-per-rupiah menjadi indikator utama yang dapat diverifikasi melalui integrasi data OSS dan ketenagakerjaan.

Bank dengan rasio tertinggi mendapat biaya dana lebih murah pada gelombang berikutnya.

Kedua, formalization-first: pencairan bertahap disertai kewajiban NIB, NPWP, BPJS, dan penggunaan faktur digital sederhana agar arus kas tercatat.

Ketiga, risk-sharing: penjaminan parsial untuk segmen mikro-kecil padat karya, dengan premi turun bagi portofolio berkualitas. Ini menekan potensi gagal bayar tanpa mematikan ekspansi kredit.

Menjawab Keberatan

Apakah syarat tambahan memperlambat penyaluran?

Standardisasi ringan justru mempercepat siklus berikutnya karena menurunkan biaya risiko dan memudahkan onboarding.

Apakah penarikan dana memberi sinyal negatif? Penarikan bertahap dengan parameter jelas adalah discipline device—bank berkinerja baik akan memperoleh tambahan kuota.

Apakah beban administrasi membebani UMKM? Sertakan helpdesk OSS, pelatihan singkat, dan onboarding digital agar proses mudah dan cepat diadopsi.

Transparansi dan Tenggat: Mengunci Akuntabilitas

Publikasikan dasbor mingguan: penyerapan per bank, jumlah pekerja baru, sebaran sektor/daerah, jumlah NIB baru, serta NPL 30/60/90 hari.

Terapkan use-it-or-lose-it dan clawback untuk dana yang pasif, serta bonus kuota bagi bank dengan penyaluran cepat-bermutu.

Ritme kebijakan harus dijaga dengan jam pasir yang nyata.

Dampak yang Diincar

Dalam beberapa kuartal, kita ingin melihat tiga hal: penciptaan kerja yang terukur, produktivitas UMKM yang meningkat berkat pembiayaan murah dan pencatatan arus kas, serta pelebaran basis pajak dan perlindungan sosial karena lebih banyak usaha masuk ekosistem formal.

Dampak ini lebih tahan lama daripada sekadar pelonggaran likuiditas jangka pendek seperti claim saat ini.

Uang Rakyat Kembali ke Rakyat

Rp200 triliun adalah daya ungkit langka. Agar tidak menguap sebagai kolam likuiditas, ia harus dipaksa menjadi mesin pencipta kerja dan eskalator formalisasi.

Evaluasi sekarang, tarik kembali porsi yang tidak produktif, dan salurkan ulang melalui skema yang mengikat setiap rupiah pada pekerjaan nyata dan legalitas usaha.

Dengan begitu, uang rakyat benar-benar kembali ke rakyat—sebagai upah yang layak, usaha yang naik kelas, dan masa depan ekonomi yang lebih pasti.

End

banner 400x130

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *